Istishhab
Prolog
Segala sesuatu yang dilegalkan Allah pasti mengandung
kebaikan atau maslahah dan yang dilarang-Nya pasti mengandung keburukan atau
mafsadah, hanya saja baik-buruknya suatu perkara tersebut penilaiannya bukan
diserahkan terhadap kita. Meski secara kebanyakan tidak bertentangan dengan
nurani, namun Syari’ sendiri yang memegang otoritasnya. Oleh karena itu, kadang
kita merasa berat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan merasa sulit
untuk meninggalkan apa yang dilarang walaupun nantinya kita akan mendapatkan
kemaslahatan. Misalnya, minuman keras dan zina, keduanya sesuai dengan hasrat
kita sehingga sulit untuk ditinggalkan, namun syariat melarangnya dengan alasan
kemafsadahan yang dihasilkan oleh keduanya. Juga seperti, shalat lima waktu
yang berulang lima kali dalam sehari semalam, puasa yang harus menahan lapar
sehari penuh, haji dan zakat yang harus mengeluarkan sebagian dari kekayaan
kita, semua itu memberatkan kita, namun Syari’ memerintahkannya.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa setiap yang
manfaat hukumnya halal dan setiap yang berbahaya hukumnya haram. Oleh karena
itu, jika kita dihadapkan dengan suatu permasalahan, sementara kita tidak
menemukan hukumnya dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, maka kita harus
mengembalikannya pada kaidah umum, yaitu ”setiap yang manfaat itu Ibâhah
dan setiap yang berbahaya itu haram”. Pengembalian ini dalam istilah Ushul fikih
dinamakan Istishhab.
Definisi Istishhab
Istishhab menurut bahasa
adalah menuntut kebersamaan. Sedangkan menurut ulama Ushul fikih Istishhab
adalah menghukumi atas adanya ketetapan atau tidaknya sesuatu di zaman yang
sedang kita hadapi atau di zaman yang akan datang berdasarkan adanya ketetapan
atau tidaknya di masa yang lampau.
Dengan sebuah contoh, misalnya telah terjadi perkawinan
antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di
tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka si
B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini si B belum bisa kawin dengan C,
karena ia masih menjalin tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah
hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
Ruang lingkup Istishhab
Istishhab merupakan salah
satu dalil syara’ yang masih terjadi perbedaan akan ketetapannya. Walaupun kita
mengikuti ketetapan ulama yang mengatakannya sebagai dalil syara’, Istishhab
ini hanyalah sebagai alternatif terakhir untuk memutuskan sebuah masalah ketika
kita tidak menemukannya dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, artinya jika seorang
Mufti ditanya akan suatu permasalahan, maka langkah pertama yang harus ia
lakukan adalah kembali pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan yang terakhir Istishhab
ketika empat dalil di atas tidak dapat menjawab permasalahan yang diajukan
kepadanya, maka di sini seorang Mufti harus menetapkan sesuatu yang diragukan
akan tiadanya dan menafikan sesuatu yang diragukan akan ketetapannya.
Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa ruang lingkup Istishhab
tidak sampai mengenai pada sesuatu yang pasti dari setiap perkara yang setara
dengan i’tiqâd, seperti kenabian Nabi Muhammad, dan sesuatu yang sudah
ditetapkan berdasarkan dalil syara’ yang berbeda dengan Istishhab itu
sendiri.
Pembagian Istishhab
Ulama membagi Istishhab yang diantaranya ada yang
disepakati dan ada yang masih diperselisihkan, dan masing-masing dari keduanya
dibagi beberapa bagian lagi, yaitu:
1.
Menetapkan hukum Ibâhah atas setiap perkara yang
bermanfaat sebagai hukum asal dan hukum haram terhadap setiap perkara yang
berbahaya. Adapun dalilnya sebuah firman Allah:
(هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا
فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا)
Artinya: “Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Oleh karena itu, jika ada
seorang Fakih ditanya tentang keberadaan suatu hukum produksi alam dari
makanan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya, sementara ia tidak mendapati
dalil akan keberadaannya, maka ia boleh menghukumi Ibâhah atas perkara
di atas. Dan sebagaimana sabda Rasulullah:
(لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ)
Artinya: “Jangan sekali-kali menyakiti diri
sendiri dan diri orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa tidak
diperbolehkannya menyakiti secara mutlak, baik itu menyakiti diri sendiri
ataupun yang lainnya.
2.
Menetapkan tiada (‘adam) atau gugurnya tanggungan
dalam hukum-hukum syara’, seperti gugurnya tanggungan syara’ (at-Takâlif as-syar’iyah)
dan akibatnya atas manusia, hingga adanya dalil yang menunjukkan ketetapannya.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang menuduh orang
lain punya tanggungan hutang kepadanya, maka orang tersebut harus mendatangkan
bukti untuk menetapkan tuduhannya, karena jika ia tidak mendatangkannya, maka
tuduhannya dianggap sia-sia. Seperti halnya, shalat lima waktu yang telah ditetapkan
oleh syariat akan kewajibannya. Oleh karena itu, jika ada orang mengatakan
bahwa ada shalat wajib lain selain shalat di atas, seperti shalat pada bulan
Rajab misalnya, maka perkataan orang tersebut harus dikuatkan dengan bukti.
3.
Menetapkan apa yang ditetapkan oleh akal atau syara’ akan
ketetapannya atau keberlangsungannya secara terus menerus, seperti penetapan
milik setelah terjadinya akad.
Ulama sepakat akan keberadaan dua bagian Istishhab
di atas, begitu juga bagian yang ketiga sebagimana yang dikatakan oleh Ibnu
Qayyim, berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah. Sementara macam Istishhab
yang lain adalah menetapkan hukum umum hingga ada dalil yang mentakhshish
atau menetapkan Nash yang ada sebelum ada dalil yang menasakh, dua
bagian ini juga disepakati para ulama akan keberadaannya.
Adapun bagian dari Istishhab yang masih
diperselisihkan para ulama adalah Istishhab dengan menetapkan hukum yang
ditetapkan berdasarkan Ijma’ yang kemudian dipermasalahkan akibat adanya sifat
yang berubah. Misalnya adalah Ijma’ para Mujtahid akan keabsahan shalat dengan
tayammum ketika tidak ada air. Hal ini terjadi, jika air yang mau dipakai wudhu
tidak ada sampai seseorang menyelesaikan shalatnya. Sementara jika air itu ada
di tengah-tengah shalatnya, maka ulama berbeda pendapat. Syafi’iyah dan
Malikiyah mengatakan shalatnya harus diteruskan dan tidak batal, karena Ijma’
telah menetapkan keabsahan shalat tersebut sebelum adanya air, maka Ijma’ di
sini dipakai sebagai Istishhab sehingga ada dalil yang mengatakan bahwa
adanya air di tengah-tengah shalat dapat membatalkan shalat. Sementara Imam
Ahmad dan Abu Hanifah mengatakan bahwa shalat orang tersebut di atas hukumnya
batal dan Ijma’ sudah tidak dianggap lagi dikarenakan Ijma’ tersebut terjadi di
saat air itu tidak ada, bukan pada saat adanya air, sehingga tidak boleh
menganalogikan wujûd dengan ‘adam sehingga adanya dalil yang
memperbolehkan.
Kehujjiahan Istishhab
sebagai Dalil Syara’
Mayoritas ulama sepakat bahwa Istishhab bisa
dijadikan hujjah sebagai alernatif terakhir setelah Mujtahid tidak
mendapati dalil permasalahan yang sedang ia hadapi dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Dalam hal ini Istishhab berfungsi untuk menolak atau meniadakan
sesuatu yang tidak pasti adanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Muta’akhirul
Hanafiyah. Oleh karena itu, penetapan milik sebab terjadinya akad
bukanlah hujjah atas tetapnya kepemilikan, bahkan hujjah untuk
menolak orang yang mengatakan lepasnya kepemilikan tanpa bersandarkan dalil
yang kuat.
Sementara mayoritas kalangan Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwasanya Istishhab bisa dijadikan
hujjah secara mutlak, baik untuk menetapkan atau meniadakan.
Esensi Keberadaan Istishhab
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwasanya
ulama secara umum sepakat akan keberadaan Istishhab tersebut sebagai hujjah,
namun pandangan mereka berbeda-beda. Istishhab hanya menjadi hujjah
untuk menolak atau meniadakan, Istishhab hanya menetapkan hak-hak
negatif dan bukanlah menetapkan hukum baru karena hukum yang sebelumnya masih
ada dan tidak ada dalil yang menunjukkan akan perubahannya. Ini kalau mengkuti
pendapat yang pertama (Muta’akhirul Hanafiyah), sementara pendapat yang
kedua (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah) mengatakan
bahwa Istishhab bisa untuk menetapkan, menolak atau meniadakan, Istishhab
menetapkan hak-hak positif atau negatif dan juga merupakan penetapan hukum
baru.
Untuk lebih memperjelas perbedaan di atas misalnya, Mafqûd,
orang yang lama tinggal di negara asing dan tidak diketahui kabarnya, apakah
masih hidup atau sudah meninggal. Mafqûd di sini tidak bisa mendapatkan
hak-hak positif, seperti warisan atau wasiat dari orang lain, akan tetapi
hak-hak yang pernah ia miliki sebelum ada di negara orang lain tidak pindah
dari kepemilikannya. Oleh karena itu, tirkah-nya tidak boleh dibagi,
istrinya juga tetap ada di bawah tanggungannya sehingga ada dalil yang
menetapkan kalau saja ia telah meninggal. Ini kalau menurut kalangan Hanafiyah,
sementara Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah mengatakan
bahwa Mafqûd di atas bisa mendapatkan hak dari orang lain seperti, warisan
atau wasiat, karena asal-muasalnya ia itu hidup dan juga kepemilikannya pun
tetap berada dalam genggamannya.
Sehingga muncullah kaidah-kaidah Fikih yang dicanangkan
para ulama berdasarkan Istishhab ini. Adapun kaidah-kaidah Fikih
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Asal dari segala sesuatu adalah Ibâhah.
(الْأََصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ)
2.
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
(اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ)
3.
Yang asal adalah gugurnya tanggungan dari taklif atau
hak.
(الْأََصْلُ فِي الذِّمَّةِ البَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ
وَالْحُقُوْقِ)
4.
Yang asal adalah tetapnya sesuatu berdasarkan ketetapan
sebelumnya.
(الْأََصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ)