Wednesday, 13 August 2014

Istishhab




Istishhab

           Prolog
Segala sesuatu yang dilegalkan Allah pasti mengandung kebaikan atau maslahah dan yang dilarang-Nya pasti mengandung keburukan atau mafsadah, hanya saja baik-buruknya suatu perkara tersebut penilaiannya bukan diserahkan terhadap kita. Meski secara kebanyakan tidak bertentangan dengan nurani, namun Syari’ sendiri yang memegang otoritasnya. Oleh karena itu, kadang kita merasa berat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan merasa sulit untuk meninggalkan apa yang dilarang walaupun nantinya kita akan mendapatkan kemaslahatan. Misalnya, minuman keras dan zina, keduanya sesuai dengan hasrat kita sehingga sulit untuk ditinggalkan, namun syariat melarangnya dengan alasan kemafsadahan yang dihasilkan oleh keduanya. Juga seperti, shalat lima waktu yang berulang lima kali dalam sehari semalam, puasa yang harus menahan lapar sehari penuh, haji dan zakat yang harus mengeluarkan sebagian dari kekayaan kita, semua itu memberatkan kita, namun Syari’ memerintahkannya.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa setiap yang manfaat hukumnya halal dan setiap yang berbahaya hukumnya haram. Oleh karena itu, jika kita dihadapkan dengan suatu permasalahan, sementara kita tidak menemukan hukumnya dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, maka kita harus mengembalikannya pada kaidah umum, yaitu ”setiap yang manfaat itu Ibâhah dan setiap yang berbahaya itu haram”. Pengembalian ini dalam istilah Ushul fikih dinamakan Istishhab.

Definisi Istishhab
Istishhab menurut bahasa adalah menuntut kebersamaan. Sedangkan menurut ulama Ushul fikih Istishhab adalah menghukumi atas adanya ketetapan atau tidaknya sesuatu di zaman yang sedang kita hadapi atau di zaman yang akan datang berdasarkan adanya ketetapan atau tidaknya di masa yang lampau.
Dengan sebuah contoh, misalnya telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka si B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini si B belum bisa kawin dengan C, karena ia masih menjalin tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
          
Ruang lingkup Istishhab
Istishhab merupakan salah satu dalil syara’ yang masih terjadi perbedaan akan ketetapannya. Walaupun kita mengikuti ketetapan ulama yang mengatakannya sebagai dalil syara’, Istishhab ini hanyalah sebagai alternatif terakhir untuk memutuskan sebuah masalah ketika kita tidak menemukannya dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, artinya jika seorang Mufti ditanya akan suatu permasalahan, maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah kembali pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan yang terakhir Istishhab ketika empat dalil di atas tidak dapat menjawab permasalahan yang diajukan kepadanya, maka di sini seorang Mufti harus menetapkan sesuatu yang diragukan akan tiadanya dan menafikan sesuatu yang diragukan akan ketetapannya.
Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa ruang lingkup Istishhab tidak sampai mengenai pada sesuatu yang pasti dari setiap perkara yang setara dengan i’tiqâd, seperti kenabian Nabi Muhammad, dan sesuatu yang sudah ditetapkan berdasarkan dalil syara’ yang berbeda dengan Istishhab itu sendiri.

Pembagian Istishhab
Ulama membagi Istishhab yang diantaranya ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan, dan masing-masing dari keduanya dibagi beberapa bagian lagi, yaitu:
1.            Menetapkan hukum Ibâhah atas setiap perkara yang bermanfaat sebagai hukum asal dan hukum haram terhadap setiap perkara yang berbahaya. Adapun dalilnya sebuah firman Allah:
(هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا)
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Oleh karena itu, jika ada seorang Fakih ditanya tentang keberadaan suatu hukum produksi alam dari makanan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya, sementara ia tidak mendapati dalil akan keberadaannya, maka ia boleh menghukumi Ibâhah atas perkara di atas. Dan sebagaimana sabda Rasulullah:
            (لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ)
Artinya: “Jangan sekali-kali menyakiti diri sendiri dan diri orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa tidak diperbolehkannya menyakiti secara mutlak, baik itu menyakiti diri sendiri ataupun yang lainnya.

2.            Menetapkan tiada (‘adam) atau gugurnya tanggungan dalam hukum-hukum syara’, seperti gugurnya tanggungan syara’ (at-Takâlif as-syar’iyah) dan akibatnya atas manusia, hingga adanya dalil yang menunjukkan ketetapannya.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang menuduh orang lain punya tanggungan hutang kepadanya, maka orang tersebut harus mendatangkan bukti untuk menetapkan tuduhannya, karena jika ia tidak mendatangkannya, maka tuduhannya dianggap sia-sia. Seperti halnya, shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh syariat akan kewajibannya. Oleh karena itu, jika ada orang mengatakan bahwa ada shalat wajib lain selain shalat di atas, seperti shalat pada bulan Rajab misalnya, maka perkataan orang tersebut harus dikuatkan dengan bukti.
3.            Menetapkan apa yang ditetapkan oleh akal atau syara’ akan ketetapannya atau keberlangsungannya secara terus menerus, seperti penetapan milik setelah terjadinya akad.
Ulama sepakat akan keberadaan dua bagian Istishhab di atas, begitu juga bagian yang ketiga sebagimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim, berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah. Sementara macam Istishhab yang lain adalah menetapkan hukum umum hingga ada dalil yang mentakhshish atau menetapkan Nash yang ada sebelum ada dalil yang menasakh, dua bagian ini juga disepakati para ulama akan keberadaannya.
Adapun bagian dari Istishhab yang masih diperselisihkan para ulama adalah Istishhab dengan menetapkan hukum yang ditetapkan berdasarkan Ijma’ yang kemudian dipermasalahkan akibat adanya sifat yang berubah. Misalnya adalah Ijma’ para Mujtahid akan keabsahan shalat dengan tayammum ketika tidak ada air. Hal ini terjadi, jika air yang mau dipakai wudhu tidak ada sampai seseorang menyelesaikan shalatnya. Sementara jika air itu ada di tengah-tengah shalatnya, maka ulama berbeda pendapat. Syafi’iyah dan Malikiyah mengatakan shalatnya harus diteruskan dan tidak batal, karena Ijma’ telah menetapkan keabsahan shalat tersebut sebelum adanya air, maka Ijma’ di sini dipakai sebagai Istishhab sehingga ada dalil yang mengatakan bahwa adanya air di tengah-tengah shalat dapat membatalkan shalat. Sementara Imam Ahmad dan Abu Hanifah mengatakan bahwa shalat orang tersebut di atas hukumnya batal dan Ijma’ sudah tidak dianggap lagi dikarenakan Ijma’ tersebut terjadi di saat air itu tidak ada, bukan pada saat adanya air, sehingga tidak boleh menganalogikan wujûd dengan ‘adam sehingga adanya dalil yang memperbolehkan.
Kehujjiahan Istishhab sebagai Dalil Syara’
Mayoritas ulama sepakat bahwa Istishhab bisa dijadikan hujjah sebagai alernatif terakhir setelah Mujtahid tidak mendapati dalil permasalahan yang sedang ia hadapi dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam hal ini Istishhab berfungsi untuk menolak atau meniadakan sesuatu yang tidak pasti adanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Muta’akhirul Hanafiyah. Oleh karena itu, penetapan milik sebab terjadinya akad bukanlah hujjah atas tetapnya kepemilikan, bahkan hujjah untuk menolak orang yang mengatakan lepasnya kepemilikan tanpa bersandarkan dalil yang kuat.
Sementara mayoritas kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwasanya Istishhab bisa dijadikan hujjah secara mutlak, baik untuk menetapkan atau meniadakan.
Esensi Keberadaan Istishhab
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwasanya ulama secara umum sepakat akan keberadaan Istishhab tersebut sebagai hujjah, namun pandangan mereka berbeda-beda. Istishhab hanya menjadi hujjah untuk menolak atau meniadakan, Istishhab hanya menetapkan hak-hak negatif dan bukanlah menetapkan hukum baru karena hukum yang sebelumnya masih ada dan tidak ada dalil yang menunjukkan akan perubahannya. Ini kalau mengkuti pendapat yang pertama (Muta’akhirul Hanafiyah), sementara pendapat yang kedua (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah) mengatakan bahwa Istishhab bisa untuk menetapkan, menolak atau meniadakan, Istishhab menetapkan hak-hak positif atau negatif dan juga merupakan penetapan hukum baru.
Untuk lebih memperjelas perbedaan di atas misalnya, Mafqûd, orang yang lama tinggal di negara asing dan tidak diketahui kabarnya, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Mafqûd di sini tidak bisa mendapatkan hak-hak positif, seperti warisan atau wasiat dari orang lain, akan tetapi hak-hak yang pernah ia miliki sebelum ada di negara orang lain tidak pindah dari kepemilikannya. Oleh karena itu, tirkah-nya tidak boleh dibagi, istrinya juga tetap ada di bawah tanggungannya sehingga ada dalil yang menetapkan kalau saja ia telah meninggal. Ini kalau menurut kalangan Hanafiyah, sementara Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwa Mafqûd di atas bisa mendapatkan hak dari orang lain seperti, warisan atau wasiat, karena asal-muasalnya ia itu hidup dan juga kepemilikannya pun tetap berada dalam genggamannya.
Sehingga muncullah kaidah-kaidah Fikih yang dicanangkan para ulama berdasarkan Istishhab ini. Adapun kaidah-kaidah Fikih tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Asal dari segala sesuatu adalah Ibâhah.
(الْأََصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ)
2.      Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
(اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ)
3.      Yang asal adalah gugurnya tanggungan dari taklif atau hak.
(الْأََصْلُ فِي الذِّمَّةِ البَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ)
4.      Yang asal adalah tetapnya sesuatu berdasarkan ketetapan sebelumnya.
(الْأََصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ)

Istihsan



Istihsan
Prolog
Secara umum dalil-dalil  syara’ itu ada dua macam; Pertama, dalil-dalil yang disepakati oleh  semua kalangan ulama yaitu al-Qur’an dan Sunnah, termasuk pada bagian ini adalah Qiyas dan Ijma’, ini menurut kesepakatan mayoritas ulama (Jumhûr). Kedua, dalil-dalil yang masih terjadi kontroversi diantara kalangan ulama. Adapun banyaknya ada tujuh -yang masyhûr yang mana diantaranya adalah Istihsân.
Sebenarnya kalau kita cermati, dalil-dalil yang ada dari dalil-dalil yang masih terjadi perdebatan diantara kalangan ulama, maka kita akan menemukan bahwa antara madzhab dari madzhab empat yang kita ketahui mempunyai dalil tertentu yang membedakan antara satu sama lain dan bertentangan satu sama lain. Walaupun nantinya mereka sampai pada sebuah kesimpulan (Natîjah) yang sama. Malikiyah terkenal dengan ‘Amalu Ahli al-Madinahnya. Syafi’iyah terkenal dengan Saddu adz-Dzarâi’nya dan Hanafiyah yang terkenal dengan Istihsânnya.
Terlepas dari perbedaan tersebut, alangkah bijaknya kalau kita mengkaji kembali keberadaan dalil-dalil yang mereka pegang, bukan untuk menumbangkan, tapi sebagai bekal pengetahuan sehingga kita nantinya benar-benar tahu keberagaman syari’at kita, yaitu syari’at Islam dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata yang nantinya akan kita hadapi.
Definisi Istihsân
Istihsân adalah salah satu dalil kontroversial yang menjadi satu-satunya dalil yang membedakan madrasah Hanafiyah dengan madrasah lainnya. Apabila dilihat dari segi bahasa Istihsân adalah menganggap bagus suatu perkara. Sedangkan menurut istilah Ushûliyyin adalah mentarjih Qiyas Khofy (Qiyas yang mana antara fara’ dan ashal ada sisi perbedaan, hanya saja perbedaan tersebut tidak bisa dipastikan apakah punya pengaruh atau tidak) atas Qiyas Jaly (Qiyas yang mana antara fara’ dan ashal ada sisi perberdaan, tapi perbedaan tersebut tidak memberi pengaruh sama sekali), karena adanya dalil yang menuntut. Istihsân juga bisa diartikan dengan mengecualikan hukum tertentu dari Qiyas atau kaidah umum. 
Macam-macam Istihsân                                                                                             
Istihsân adalah salah satu dalil yang tidak bisa berdiri sendiri sebagaimana al-Qur’an dan Sunnah, bahkan masih membutuhkan dalil-dalil lain sebagai sandaran. Dari sini terciptalah pembagian Istihsân, yaitu Istihsân karena adanya Nash yang dalam hal ini adalah al-Qur’an dan Sunnah, Istihsân karena adanya keterpaksaan (dhorûrah), Qiyas Khafy, ‘Urf dan Istihsân karena adanya Mashôlih al-Mursalah. Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa macam Istihsân:
·               Istihsân karena adanya Nash
            Yang dimaksud Nash di sini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Istihsân karena adanya Nash berarti pengecualian hukum tertentu dari Qiyas atau kaidah umum karena adanya dalil, baik dari al-Qur’an atau Sunnah, misalnya; makan di siang hari Ramadhan karena adanya unsur lupa. Menurut Qiyas atau kaidah umum, masuknya sesuatu pada jalan terus itu dapat membatalkan puasa, hanya saja jika masuknya tersebut dikarenakan lupa, maka puasanya tidak batal. Sebagaimana sabda Rasulullah:
 (مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلْيَتِمُّ صَوْمَهُ)
Artinya: “barangsiapa yang makan atau minum di siang hari bulan puasa dalam keadaan lupa, maka sempurnakanlah puasanya.” (HR. Bukhari)
            Sementara contoh lain dari al-Qur’an adalah masalah wasiat. Menurut Qiyas atau kaidah umum wasiat ini tidak boleh karena adanya Tamlîk (pemindahan kepemilikan) yang masih menunggu sepeninggalnya Wâshîy (orang yang wasiat), namun karena adanya Nash al-Qur’an, maka hukum ini dikecualikan.
            Contoh lain adalah akad Salam. Dalam jual beli barang yang akan dibeli itu harus ada, maka tidak sah jika menjual barang yang belum ada (Ma’dûm). Oleh karena itu, akad Salam hukumnya tidak sah karena barang yang dipesan pada waktu itu masih ma’dûm (tiada), namun dikarenakan adanya dalil, maka akad Salam diatas hukumnya boleh sebagai pengecualian dari Qiyas atau kaidah umum.
·         Istihsân dengan menggunakan Ijma’                                                                    
            Ijma’ adalah kesepakatan yang dilakukan para mujtahid untuk mencetuskan suatu hukum tertentu yang dilakukan setelah Rasulullah wafat. Dalam Ijma’ ini membutuhkan sosok para mujtahid yang semuanya harus menyepakati suatu masalah yang akan diputuskan tersebut. Dan masalah yang diputuskan di atas, jika keluar dari Qiyas atau kaidah umum, maka dinamakan Istihsân dengan menggunakan Ijma’. Dengan istilah lain yaitu kesepakatan para mujtahid untuk mencetuskan hukum tertentu secara bersama, hanya saja hukum tersebut keluar dari Qiyas atau kaidah umum.  
·         Istihsân dengan menggunakan ‘Urf                                                                                  
            ‘Urf adalah suatu pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh masyarakat secara umum atau suatu pekerjaan yang sudah lumrah dikerjakan atau terjadi di kalangan masyarakat, akan tetapi tidak sampai menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan yang halal. Jika dikaitkan dengan Istihsân,  maka yang dimaksud Istihsân memakai ‘Urf adalah suatu pekerjaan yang biasa dikerjakan masyarakat secara umum, akan tetapi keluar dari Qiyas atau kaidah umum dikarenakan tuntutan kebutuhan (hâjah), seperti; menyewakan jamban umum dengan ongkos tertentu tanpa menyebutkan kadar ukuran air yang digunakan. Akad ini menurut Qiyas atau kaidah umum hukumnya tidak boleh karena termasuk akad sewa yang ada unsur jahâlah, yaitu kadar air yang tidak ditentukan. Namun karena tuntutan kebutuhan (hâjah) akhirnya diperbolehkan.
Contoh lain adalah mewakafkan benda yang dapat dipindah (manqûl). Qiyas atau kaidah umum menjelaskan bahwa benda yang diwakafkan harus mu’abbad (abadi), sementara benda yang dapat dipindah tersebut dikhawatirkan cepat rusak. Oleh karena itu, model wakaf di atas jika mengikuti Qiyas atau kaidah umum, hukumnya tidak sah, namun karena ada tuntutan kebutuhan dan ‘Urf masyarakat secara umum, maka wakaf di atas diperbolehkan.
·         Istihsân sebab adanya keterpaksaan (Dhorûrah)                                                     
Dhorûrah adalah keadaan genting yang menuntut seseorang untuk melanggar suatu hukum tertentu yang sebenarnya dilarang. Ulama Fikih mengatakan (الضَرُوْرَةُ تُبِيْــحُ الْمَحْظُوْرَةُ). Istihsân karena adanya keterpaksaan berarti penetapan suatu hukum tertentu yang memaksa seorang mujtahid untuk melegalkannya sebagai pengecualian dari Qiyas atau kaidah umum. Misalnya; sucinya sumur yang terkena najis setelah airnya dikosongkan. Apabila mengikuti kaidah umum, sumur tersebut tidak bisa dikatakan suci, karena pasti akan ada percampuran antara air yang najis dengan air sumbernya, namun karena adanya dhorûrah akhirnya sumur tersebut dianggap suci.
·         Istihsân sebab adanya Mashôlih al-Mursalah                                                                       
Mashôlih al-Mursalah adalah sifat yang selaras dengan maqâsid as-Syara’, akan tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang dapat melegalkan, hanya saja keterkaitannya dengan sebuah hukum dapat memberi dampak positif (جَلْبُ الْمَصْلَحَةِ وَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ) terhdadap manusia. Maka Istihsân dengan Mashôlih al-Mursalah, berarti Istihsân yang ada karena adanya mashlahah yang dituntut untuk mengeluarkan masalah dari Qiyas atau kaidah pada umumnya. Misalnya; tashorrufnya orang bodoh (mahjûr ‘alaih) dalam hal kebagusan. Qiyas atau kaidah umum menjelaskan bahwa orang bodoh tidak sah menbelanjakan hartanya secara mutlak, namun karena adanya mashlahah yang tidak bertentangan dengan maqâsid as-Syara’, maka tashorruf orang bodoh tersebut diperbolehkan.
Contoh lain adalah pemberian zakat pada Bani Hasyim. Menurut kaidah umum, Bani Hasyim hukumnya haram menerima zakat, namun karena adanya Mashlahah, maka Imam Abu Hanifah memperbolehkannya.

·         Istihsân dengan menggunakan Qiyas Khofy                                                          
Yang terakhir dari pembagian Istihsân ini adalah Istihsân dengan memakai Qiyas Khofy yang berarti Istihsân yang lebih mengunggulkan Qiyas Khofy atas Qiyas Jaly. Misalnya adalah mewakafkan bumi yang bisa untuk ditanam. Dalam pewakafan ini ada dua Qiyas yang bertentangan antara satu sama lain, yaitu Qiyas Khofy dan Qiyas Jaly. Qiyas Jaly-nya menunjukkan bahwa wakaf itu tidak ubahnya jual beli yang menghilangakan hak kepemilikan. Oleh karena itu, apabila ada orang mewakafkan tanah,  maka tanah tersebut tidak bisa menjadi hak umum yang bisa dibuat jalan, diambil airnya atau hak-hak umum lainnya. Sedangkan Qiyas Khofy-nya menunjukkan bahwa wakaf itu sama, seperti akad Ijârah -dalam segi bisa dimanfaatkan bersama-, sementara hakikat barangnya tidak bisa dimiliki. Oleh karena itu, jika ada seseorang mewakafkan tanah, maka tanah tersebut bisa  dimanfaatkan bersama, seperti; dijadikan jalan, bisa diambil airnya atau hak umum lainnya dengan batasan tidak keluar dari huqûqu al-Irtifâq.
Istihsân sebagai Dalil Syara’
Imam Syafi’i pernah ditanya masalah Istihsân, beliau menjawab, “Istihsân itu tidak boleh”. Beliau beralasan bahwa Istihsân itu bagian dari ijtihad, dan ijtihad harus punya sandaran dalil-dalil yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas. Sedangkan Istihsân tidak bersandar pada dalil-dalil tesebut. Beliau juga mengatakan seandainya Istihsân ini diperbolehkan, maka boleh untuk meninggalkan Qiyas atau mencetuskan hukum tanpa dalil dan hal ini tidak dibenarkan menurut al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Dari ungkapan Imam Syafi’i di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga pokok alasan kenapa ulama dari kalangan Syafi’i, Syi’ah dan Dhohiriyah tidak memperbolehkan Istihsân untuk dijadikan hujjah. Tiga pokok tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tidak boleh membuat hukum kecuali dengan memakai Nash, baik itu dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas karena orang yang membuat hukum selain dengan dalil di atas berarti telah menghukumi dengan menggunakan hawa nafsu dan ini dilarang dalam al-Qur’an.
2.      Asas dalam Istihsân adalah menggunakan akal dan di sini tidak ada perbedaan antara orang alim dan orang bodoh, maka jikalau Istihsân itu diperbolehkan, berarti siapapun diperbolehkan untuk membuat syari’at baru.
3.      Istihsân ini tidak pernah digunakan oleh Rasulullah.
Ketiga alasan tersebut mendapat tanggapan dari para ulama yang setuju akan kehujjiahan Istihsân dengan mengatakan bahwa ulama yang tidak memperbolehkan Istihsân pada dasarnya karena mereka tidak paham akan hakikat Istihsân itu sendiri. Mereka yang kontroversi beranggapan bahwa Istihsân itu tasyrî’ bi al-Hawâ tanpa dalil, padahal kenyataannya tidak begitu, karena Istihsân adalah tasyi’ dengan menggunakan satu di antara dua dalil yang lebih kuat, karena itu tidak sepantasnya Istihsân ini diperselisihkan. Akan tetapi pada dasarnya Isihsan itu sendiri bukan dalil yang mustaqil, bahkan masih membutuhkan sandaran pada dalil lain, yaitu Qiyas, Mashlahah, dll.
Jika kita lebih mencermati contoh-contoh yang ada dalam pembagian Istihsân, maka kita akan menemukan kesamaan antara keputusan yang dicetuskan dengan memakai Istihsân atau memakai dalil yang lain, hanya saja caranya yang berbeda. Terkait dengan yang mengatakan bahwa Istihsân itu berasaskan rasio belaka, itu juga tidak benar, karena kalau kita melihat sendiri manhaj Imam Hanafi, maka kita akan menemukan bahwa rasio yang dipakai beliau tetap dibatasi dengan keberadaan naql, artinya beliau akan memakai akal selagi tidak bertentangan dengan Nash. Dari sini terciptalah madrasah ahlu ar-Ra’yi.

Tuesday, 12 August 2014

Ijma'



Ijma'

Prolog
Obyek Ijma’ adalah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan Sunnah, berupa peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan urusan keagamaan, bidang mu’amalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Definisi Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang َجْـمَعَ اْلقَـوْمُ عَلَى كَــذَا) yang berati “kaum itu telah bersepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.” Sedangkan menurut istilah Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah wafat. Sebagai contoh, setelah Rasulullah wafat, diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan Khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang Khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan Ijma’.

Dasar hukum Ijma’
a.   Al-Qur'an
Allah berfirman:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُـــمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum, meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Sebagaimana firman AIlah:
(وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا)
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu padu dan jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu adalah ber-Ijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

b. Sunnah
Apabila para mujtahid telah melakukan Ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka Ijma’ tersebut hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah:
"لَا تَجْتَمِعُ أُمَتِى عَلَى الضَّلَالَةِ...."
Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

c. Akal pikiran
Setiap Ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’ harus dilakukan dan dibina atas dasar-dasar ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap mujtahid dalam berijtihad harus mengetahui dasar-dasar ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Apabila ia berijtihad dan dalam ijtihadnya itu ia menggunakan Nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang sudah dipahami dari Nash tersebut. Dan juga sebaliknya, jika dalam berijtihad ia tidak menemukan satu Nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum ajaran Islam. Oleh karena itu, ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan dari Nash, seperti Qiyas, Istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan Sunnah. Jika seorang mujtahid berijtihad seperti ketentuan di atas, maka pendapatnya boleh diamalkan, tentu hasil pendapat mujtahid yang banyak dan sama tentang hukum suatu peristiwa itu lebih utama diamalkan.

Rukun dan Syarat Ijma’
Dari definisi dan dasar hukum Ijma’ di atas, maka ulama Ushul fikih menetapkan rukun Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid. Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:
  • Harus ada beberapa orang mujtahid di kala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan) hukum peristiwa itu. Seandainya hanya ada satu orang mujtahid saja di waktu terjadinya suatu peristiwa, tentulah tidak akan terjadi Ijma’, karena Ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  • Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum bisa dikatakan Ijma’.
  • Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada satu kondisi sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain.
  • Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian itu tidak bisa dinamakan Ijma’ dan Ijma’ yang demikian itu belum dapat dijadikan sebagai hujjah syar'iyah.
Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Jika kita perhatikan kaum muslimin sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, maka Ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
  1. Periode Rasulullah;
  2. Periode Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab;
  3. Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukum dari al-Qur’an yang telah diturunkan dan Sunnah. Jika mereka tidak menemukannya dari kedua sumber tersebut, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Adakala Rasulullah langsung menjawabnya atau menunggu turunnya wahyu dari Allah. Oleh karena itu, kaum muslimin masih satu dan belum ada perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, akan tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah ber-Ijma’. kemungkinan Ijma’ terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini dikarenakan pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara mereka, di samping daerah Islam belum begitu luas yang masih memungkinkan untuk mengumpulkan para sahabat sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bagian kedua kekhalifahan Utsman, gejala-gejala perpecahan muncul di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat-pejabat penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin marak, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi’ah, golongan Mu’awiyah dan lain sebagainya. Di samping itu, daerah Islam semakin luas, dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai bagian tengah benua Afrika, dari ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad;
  2. Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman;
  3. Masa setelah enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi Ijma’ yang sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah Islam.
Pada era kini telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas atau minoritas beragama Islam. Pada negara tersebut sekali pun yang minoritas penduduknya beragama Islam,  ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Akan tetapi di sana telah diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai Ijma’, maka ada kemungkinan terjadinya Ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun Ijma’ belum bisa dikatakan Ijma’ yang sesuai dengan rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi Ijma’, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat Islam. Karena mereka dapat dikatakan sebagai ulil amri atau ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat. Hal yang demikian dibolehkan dalam Islam. Jika Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara pula boleh bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Hasil pendapat yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya daripada yang dilakukan oleh seorang saja.
Eksistensi Ijma’ menurut ulama
1)      Menurut sebagian ulama an-Nidzom dan Syi’ah
Kemungkinan Ijma’ sudah tidak relevan lagi untuk diadakan, karena sulit untuk menentukan rukun-rukunnya, serta tidak adanya ukuran seseorang bisa dikatakan sebagai mujtahid di dunia Islam pada zaman sekarang, dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut.   
2)      Pendapat Ibnu Hazm
Ia berpendapat dengan perkataan ayahnya yang mengatakan bahwa sesuatu yang diakui oleh seseorang sebagai Ijma’ adalah suatu kebohongan, karena manusia berselisih paham dengan apa yang mereka ketahui dan tidak akan ada habisnya.  
3)      Menurut mayoritas ulama
Mayoritas ulama mengatakan bahwa masih ada kemungkinan Ijma’ untuk diadakan. Orang yang mengingkari adanya Ijma’ tidak lain bahwa mereka berada dalam keraguan, karena semua itu telah dijelaskan dengan bukti yang memungkinkan terjadinya Ijma’, diantaranya adalah terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama, nenek yang mendapatkan 1/6 bagian dari harta warisan.
             
Macam-macam Ijma’
Sekalipun sulit membuktikan apakah Ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab Ushul fikih diterangkan beberapa macam Ijma’.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka Ijma’ terdiri atas:
  1. ljmâ' bayâni, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayâni disebut juga Ijma’ sharîh, Ijma’ qauli atau Ijma’ haqîqi.
  2. Ijmâ’ sukûti, yaitu para mujtahid -seluruh atau sebagian mereka- tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka diam atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan oleh mujtahid lain yang hidup pada masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga Ijma’ i’tibâri.
Ditinjau dari yakin atau tidaknya terjadi suatu Ijma’, maka Ijma’ dapat dibagi:
  1. Ijmâ’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan adalah qath'i yang diyakini kebenarannya dan tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
  2. Ijmâ’ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan adalah zhanni yang masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Terdapat pula beberapa macam Ijma’ yang dihubungkan dengan masa, tempat terjadinya atau orang yang melaksanakannya. Ijma’, antara lain:
  1. Ijma’ sahabat, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah;
  2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
  3. Ijmâ’ shaikhân, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  4. Ijmâ’ ahli al-Madînah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ini merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki.
  5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan Ijma’ ulama Kufah ini sebagai salah satu sumber hukum Islam.