TAFSIR TAH{LILI DIMENSI FIKIH;
Kajian Bab Wud{u’ Versi Ibnu Jari>r al-T{abari> Surat
al-Ma>idah Ayat 6
By: Muhammad
A-
PENDAHULUAN
Mengkaji al-Qur’a>n memang tidak akan ada habisnya,
melihat al-Qur’a>n bisa ditarik ulur di mana lokasi dan kapanpun waktunya.
Oleh karena itu, mempelajari al-Qur’a>n tidak akan ada bosan-bosannya hingga
akhir zaman. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dari kali perama al-Qur’a>n
diturunkan kepada Muhammad penjelasan (tafsir) al-Qur’a>n sudah mulai
bermunculan kendatipun pada saat itu hanya Muhammad yang mempunyai wewenang
dalam menjelaskan isi al-Qur’a>n.
Setelah Muhammad wafat turunlah pada masa sahabat,
ta>bi’i>n, dan ta>bi’ ta>bi’i>n yang berusaha untuk mengartikan
dan menjelaskan al-Qur’a>n pada semua umat Islam. Dari sini permulaan munculnya
perbedaan argumentasi tafsir. Pada semua masa yang telah pemakalah cantumkan,
al-Qur’a>n masih belum terbukukan dengan rapi, lengakap dan sampai pada
tangan kita, hingga datangnya sosok alim yang bernama Muhammad bin Jari>r
al-T{abari>> yang kitab tafsirnya dikenal dengan sebutan Tafsi>r
al-T{abari>>.
Penulis lebih memilih Tafsi>r al-T{abari>>,
sebab al-T{abari> termasuk salah satu ulama yang memilik madhhab tersendiri.
Memang tidak bisa dipungkiri, pada awalnya al-T{abari> mengikuti madhhab al-Shafi’i>,
namun dengan banyaknya ilmu yang telah ia palajari dan kuasai, ia mulai
memberanikan diri membangun madhhab yang dikenal dengan madhhab
al-Jari>riyah. Tokoh satu ini sangat cocok dibedah karya tafsirnya yang
dikonsentrasikan pada bidang fikih.
Karya tafsir inilah yang kita kaji pada pertemuan kali
ini. Dalam mengkaji Tafsi>r al-T{abari>> pada kali ini,
konsentrasi kita hanya melihat riwayat hidup penulis, gambaran umumnya, dan
pembahasan inti adalah wud{u’ versi al-T{abari>.
B-
TAFSI<R JA<MI’ AL-BAYA<N FI TAFSI<R
AL-QUR’A<N AL-‘AZ{I<M
1-
Riwayat Hidup dan Aktifitas Keilmuan Penulis Ja>mi’
al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m
Ibun Jari>r adalah seorang
mufasir terkenal, mujtahid, muhadith, dan sejarawan terkemuka pada masa itu. Ia
mempunyai nama lengkap Muhammad bin Jari>r bin Yazi>d bin Kathi>r bin
Gha>lib, kemudian dijuluki dengan Abu> Ja’far al-T}abari>. Ia dilahirkan
di Amul ibu kota T{abrasta>n, kota ini merupakan salah satu propinsi di
Persia dan terlerak sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin.[1]
Para sejarawan berbeda
pendapat akan tahun kelahiran al-T{abari>>, diantara mereka ada yang
mengatakan tahun 224 Hijriah dan ada pula yang magatakan 225 Hijriah. Bahkan
al-T{abari>> sendiri tidak mengetahui tahun kelahirannya. Konon, salah
satu muridnya yang bernama al-Qa>d}i> Ibnu Ka>mil bertanya pada
al-T{abari>> mengenai tahun kelahirannya:
Al-Qad}i> Ibnu Ka>mil: “Bagaimana kamu bisa
ragu-ragu akan tahun kelahiranmu sendiri?”
Al-T{abari>>: “Karena
sistem penanggalan di daerahku menggunakna kejadian-kejadian besar bukan dengan
angka. Dan ketika aku bertanya pada orang-orang sekitar, kabar yang aku tirima
masih singpang-siur, diantara mereka ada yang mengatakan akhir tahun 224 dan
ada juga yang mengatakan awal dari tahun 225 Hijriah.”[2]
Al-T{abari> hidup pada masa
Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim
seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil.
Al-T{abari> juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Mengkaji
dan menghafal al-Qur’a>n merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan
subur pada anak keturunan mereka termasuk al-T{abari>.
Berkata motivasi dan pengarahan
terutama dari ayahnya serta berbekal kecerdasan yang tinggi, pada usia 7 tahun,
al-T{abari> muda sudah hafal al-Qur’a>n, menjadi imam s}alat saat usia 8
tahun, dan menulis hadi>th pada usia 9 tahun. Isharat akan kebesaran
al-T{abari>> sebenarnya sudah dirasakan oleh ayahnya. Suatu ketika
ayahnya bermimpi bahwa Rasul menghampiri al-T{abari>> seraya memegang
tangannya dan memberikan segenggam kerikil padanya, kemudian mimpi itu dita’birkan
orang-orang bijak sebagai pertanda kesuksesan al-T{abari>> dikemudian
hari.[3]
Seperti kebiasaan ulama lain
pada waktu itu, al-T{abari>> dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan
beberapa perjalanan ke berbagai daerah Islam. Di samping itu, letak pusat
keilmuan yang dipadati ulama berada jauh dari tempat tinggalnya, akhirnya
setelah menempuh pendidikan di kota asalnya kemudian ia mengadakan perjalanan
ilmiah ke berbagai wilayah negara Islam.
Kali pertama kota yang
ditujunya adalah Ray Iran dan sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadi>th
dari tokoh yang bernama Muhammad Ibnu Humaidi> al-Ra>zi>. Dari daerah
ini pula, al-T{abari>> berkesempatan belajar sejarah dari Muhammad Ibnu
Ahamd Ibnu Hammad al-Daula>bi>. Dan belajar fikih pada Muqa>til.
Kemudian, ia menuju kota Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, namun
sesampainya ia di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat. Ia pun mengalihkan
perjalanannya ke Bas}rah, namun di tengah-tengah perjalanan ia mampir ke daerah
Wasit}. Setelah dari Bas}rah al-T{abari>> melanjutkan perjalanan ke kota
Ku>fah, di kota ini al-T{abari>> mempelajari qira>’a>t
dari Sulaiman al-Tulh}I dan hadi>th dari Ibra>him Abu> Kuraib Muhammad
Ibnu al-‘Ala>’ al-Hamda>ni> (salah seorang seorang ulama besar
hadi>th). Dan kemudian ia melanjutkan perjalanan pencarian ilmu di Mesir.[4]
Al-T{abari>> wafat pada
hari Minggu sore bulan Syawal tahun 310 Hijriah. Ia di makamkan di sebuah
permakaman yang bernama Rah}ah Ya’qu>b, Baghdad.[5] Seiring dengan wafatnya
al-T{abari>> banyak dari tokoh agama dan sastra membuat syair duka cita
untuk al-T{abari>>. Sebagai contoh Ratha>’ Ibnu Duraid:[6]
إِنَّ
المَنِيَّةَ لَمْ تُتْلِفْ بِهِ رَجُلاً ** بَلْ أَتْلَفَتْ عَلَماً لِلدِّينِ
مَنْصُوبَا
كانَ
الزَّمانُ بهِ تصفو مشاربهُ ** فالآنَ أصبحَ بالتَّكديرِ مقطوبا
كَلاَّ
وأَيَّامُهُ الغُرُّ الَّتِي جَعَلَتْ ** للعلمِ نوراً وللتَّقوى محاريبا
Dalam dunia ilmu pengetahuan,
ia terkenal tekun mendalami bidang-bidang ilmu yang dimilikinya, juga gigih
dalam menambah ilmu pengetahuan. Sehingga dengan itu, banyak bidang ilmu yang
dikuasainya, di samping itu, ia mampu menuangkan ilmu-ilmu yang dikuasainya ke
dalam bentuk tulisan. Kitab-kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu
seperti Tafsi>r, Hadi>th, Fikih, Tauh{i>d, Us}ul Fikih, ilmu bahasa
Arab, dan juga kedokteran.[7] Akan tetapi, tidak
diperoleh informasi yang pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya,
karena karya-karya al-T{abari>> tidak semuanya sampai pada tangan kita.
Bila diperkirakan banyak karyanya yang berkaitan dengan hukum lenyap bersamaan
dengan lenyapnya Madhhab Jari>ri>yah.
Adapun di antara karya-karya al-T{abari>> adalah:
a.
A<da>b al-Mana>sik.
b.
Tari>kh al-Umam wa al-Mulu>k (yang dikenal dengan Tari>kh al-T{abari>>).
c.
Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<y
al-Qur’a>n (dikenal juga
dengan Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Tafsi>r A<y al-Qur’a>n).
d.
Ahka>m Shara>’I’ al-Isla>m.
e.
Kita>b al-Tabs}i>r (karya ini ditulis berkisar 30 lembar yang dikhususkan
pada orang-orang daerah Amul T{abrasta>n yang menjelaskan madhha>b ahli
bid’ah)
f.
Al-Ja>mi’ fi al-Qira>’a>t. Dan masih banyak karya-karyanya yang lain.
2-
Gambaran Umum Kitab Ja>mi’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Tafsir al-T{abari>>
termasuk salah satu kitab tafsir ternama, bahkan bisa dikatakan tafsirnya
merupakan induk dari kitab-kitab tasfsir lainnya, kitab tafsi>r Ja>mi’
al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m merupakan pembuka
dari berkembangnya kitab-kitab tafsir. Bagaimana pemakalah tidak mengatakan
demikian? Sedangkan sejarawan mencatat bahwa pertama kali ilmu tafsir
terbukukan dan sampai pada tangan kita adalah tafsir karya al-T{abari>>.[8]
‘I<d Khid}ir Muhammad
Khid}ir komentar tentang tasfir al-T{abari>> ini dengan perkataannya:
ابن جرير الطبرى الذى تميز تفسيره
على هؤلاء بأنه تعرض لترجيح بعض الأقوال على بعض, وذكر الإعراب والإستنباط. وكان تفسيره من اجلّ التفاسير
بالمأثور وأصحها وأجمعها.
Yang
membuat beda dalam tafsir Ibu Jari>r al-T{abari>> dari tasfir-tafsir
yang lain ialah dalam karnyanya menyantumkan argumen-argumen yang ia unggulkan
dari argumen lainnya, menyinggung masalah I’ra>b kalimat dan dasar-dasar pengambilannya.
Dan tafsirnya merupakan karya tafsir paling agung dibanding kitab-kitab tafsir
bi al-Ma’su>r lainnya.[9]
Al-T{abari>>
menjelaskan dalam mukadimah kitabnya akan manha>j dan sebab pembuatan
kitab tafsirnya:
ونحن -في شرح تأويله، وبيان ما فيه من معانيه- منشئون إن
شاء الله ذلك، كتابًا مستوعِبًا لكل ما بالناس إليه الحاجة من علمه، جامعًا، ومن
سائر الكتب غيره في ذلك كافيًا. ومخبرون في كل ذلك بما انتهى إلينا من اتفاق الحجة
فيما اتفقت عليه منه (عليه الأمة) واختلافها فيما اختلفت فيه منهُ. ومُبيِّنو عِلَل
كل مذهب من مذاهبهم، ومُوَضِّحو الصحيح لدينا من ذلك، بأوجز ما أمكن من الإيجاز في
ذلك، وأخصر ما أمكن من الاختصار فيه.
والله نسألُ عونه
وتوفيقه لما يقرب من محَابِّهِ، ويبْعد من مَساخِطه. وصلى الله على صَفوته من خلقه
وعلى آله وسلم تسليمًا كثيرًا.
Dan
saya (dalam menjelaskan ta’wil kitab Allah dan menjelaskan makna-maknanya) akan
menciptakan dalam kitab ini (Insha> Allah) sebuah kitab yang mencakup
sesuatu yang dibutuhkan manusia dari setiap ilmu dan dari semua kitab-kitab
lainya, semua ada dalam kitab ini. Dan dalam kitab ini juga menjelaskan
kesepakatan dalil-dalil yang telah disepakati oleh umat, dan perbedaan yang
telah menjadi perbedaan antara mereka. Menjelaskan ‘Illat-‘Illat dari semua
madhhab, kemudian saya jelaskan pendapat yang s}ah}ih} menurut saya peribadi
dengan sesingkat dan sesingkas mungkin.[10]
C- Tafsir Tah}lili Bentuk Fikih Surat al-Ma>idah Ayat 6
Pembahasan kali ini akan meliputi
ayat yang akan dibahas, tarjamah, sebab turunnya ayat, arti kosa kata kalimat menurut
mufassi>r, penafsiran ayat menurut kacamata Fikih, dan lain-lain.
1- Ayat dan Tarjamahnya
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ
جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا
ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ ما يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونًَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
malaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu
junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air besar (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh air, maka berayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak Membersihkan kamu dan Menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar
kamu bersyukur.”[11]
2- Sebab Turunnya Ayat
Dalam
sebuah riwayat yang datangnya dari ‘Alqamah menjelaskan sebab turunnya surat
al-Ma>idah ayat ke 6 sebagaimana berikut:
وقال علقمة بن الفعواء
وهو من الصحابة : إنها نزلت رخصة للرسول لأنه كان لا يعمل عملاً إلا على وضوء ،
ولا يكلم أحداً ولا يرد سلاماً على غير ذلك ، فأعلمه الله أنّ الوضوء إنما هو عند
القيام إلى الصلاة فقط دون سائر الأعمال.[12]
“Dan ‘Alqamah bin al-Fa’wa>’ berkata, beliau tergolong
sahabat: ‘Ayat tersebut diturunkan menjadi sebuah dispensasi bagi Rasul, karena
sesungguhnya Rasul tidak akan mengerjakan satu pekerjaan pun kecuali beliau
berwud}u’ terlebih dahulu, tidak berbica dengan seorang pun, tidak menjawab
salam, dan lain-lain. Kemudia Allah memberi tahu bahwa sesungguhnya wud}u’
(dibutuhkan) saat hendak mengerjakan s}alat saja, tidak untuk semua
pekerjaan.’”
Riwayat yang datangnya dari
al-T{abari> menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut dengan:
حدثني عبد الله بن أبي
زياد القطواني، قال، حدثنا يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا أبي، عن ابن إسحاق قال،
حدثني محمد بن يحيى بن حبان الأنصاري =ثم المازني، مازن بني النجار= فقال لعبيد
الله بن عبد الله بن عمر: أخبرني عن وضوء عبد الله لكل صلاة، طاهرا كان أو غير
طاهر، عمن هو؟ قال: حدثتنيه أسماء ابنة زيد بن الخطاب: أن عبد الله بن حنظلة بن
أبي عامر، الغسيل حدثها: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالوضوء عند كل صلاة،
فشق ذلك عليه، فأمر بالسواك، ورفع عنه الوضوء إلا من حدث.[13]
“Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk berwud}u’
setiap kali hendak mengerjakan s}alat, lantas Nabi merasa kesulitan, kemudian
Allah memerintahkannya untuk bersiwak dan mencabut perintah berwud}u’ kecuali
pada saat h}adath.”
3- Muna>sbah Dengan Ayat Sebalumnya
Setiap
ayat yang ada dalam al-Qur’a>n pasti ada kesamaan dan keserasian, itu versi
mayoritas ulama tafsir. Oleh Karena itu, sekian banyak dari mufassi>r selalu
menyebutkan muna>sabah dalam karya-karya tafsirnya. Meski demikan, tidak
menafikan jika ada sebagian mufassi>r beranggapan muna>sabah antar satu
ayat pada ayat yang lain atau satu surat dengan surat lain tidak penting dan
tidak perlu dicantum dalam karya tafsir, sebab dengan adanya muna>sabah para
mufassi>r terlalu memaksakan diri mencari kesamaan padahal kesamaan tersebut
tidak ada.
Namun
pada kalin ini, pemakalah lebih condong pada pendapat mayoritas mufassi>r
yang menyatakan muna>sabah penting, sebab dengan adanya muna>sabah
merupakan salah satu indikasi akan kehebatan kata-kata yang ada dalam
al-Qur’a>n. Oleh karena itu, makalah ini dilengkapi dengan muna>sabah
ayat 6 dari surat al-Ma>idah dengan ayat sebelumnya.
Terdapat
muna>sabah yang sangat jelas antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, yang
mana pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang kewajiban menepati janji,
menjelaskan sesuatu yang halal dan haram dalam makanan dan pernikahan yang mana
keduanya adalah urusan yang pekat dengan dunia, Allah melanjutkan firman dengan
turunnya ayat ke 6 yang menjelaskan akhirat dan hubungan antara hamab dan
Tuhannya.
Dikala
s}alat menjadi media paling agungnya taat kepada Allah setelah seseorang
beriman, sedangkan s}alat sendiri tidak akan sah bila tidak dalam keadaan suci,
dari sini Allah memulai dengan sharat-sharat bersuci (wud}u’), meruntut dengan
tayammum bagi orang yang tidak menemukan air atau ada udhur. Dari ayat ini dan
ayat sebelumnya bisa disimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh meninggalkan dua
hal yaitu ingat urusan dunia dan diimbangi dengan urusan akhirat.
4- Penafsiran Ayat Menurut Kacamata Fikih
Sebelum
al-T{abari> masuk dalam pembahasan wud}u’ dalam kitab tafsirnya, ia terlebih
dahulu menjelaskan tentang arti dari susunan kalim يا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِِ. Al-T{abari> mencantumkan beragam riwayat demi mencari
hakikat arti dari kalim tersebut. Al-T{abari> berkata “Para ahli ta’wi>l
berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah إِذا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِِ. Apakah
yang dimaksud itu setiap kali hendak mengerjakan s}alat ataukah hanya sebagian
saja? Langkah seperti apa yang harus melaksanakan wud}u’ terlebih dahulu?.”
Sebagian ahli
ta’wi>l berpendapat bahwa wud}u’ tidak harus dalam setiap kali mengerjakan
s}alat, akan tetapi hanya sebagian saja. Kewajiban wud{u’ tersebut hanya bagi
orang yang hendak mengerjakan s}alat, namun ia tidak dalam keadaan suci
(h}adath). Adapun tendensi yang mereka gunakan dari riwayat-riwayat sebagaimana
berikut:
a-
Hadi>th yang datangnya dari
Ibnu H{umaid
حدثنا ابن حميد قال:
حدثنا يحيى بن واضح قال: حدثنا عبيد الله قال: سئل عكرمة عن قول الله:"إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق"، فكل ساعة يتوضأ؟
فقال: قال ابن عباس: لا وضوء إلا من حدث.
“Ikram ditanya tentang firman Allah “إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق” apakah setiap waktu harus
berwud}u’? (Ikrimah menjawab) Ibnu ‘Abba>s berkata ‘tidak ada kewajiban wud}u’,
kecuali bagi orang yang h}adath.”
b-
Hadi>th yang datangnya dari H{ami>d
bin Masa’adah
حدثنا حميد بن مسعدة
قال، حدثنا سفيان بن حبيب، عن مسعود بن علي، عن عكرمة قال: كان سعد بن أبي وقاص
يقول: صل بطهورك ما لم تحدث.
“Dari Ikrimah, ia berkata: Sa’d bin Abi> Waqqa>s} berkata
‘s}alatlah dengan wud}u’mu selagi kamu belum h}adath.’”
c-
Hadi>th yang datangnya dari
Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال،
حدثنا ابن أبي عدي، عن سعيد، عن قتادة، عن طريف بن زياد= أو: زياد بن طريف= عن
واقع بن سحبان: أنه شهد أبا موسى صلى بأصحابه الظهر، ثم جلسوا حلقا على شاطئ دجلة،
فنودي بالعصر، فقام رجال يتوضأون، فقال أبو موسى: لا وضوء إلا على من أحدث.
“Dari Wa>qi’ bin Suh}ba>n: Sesungguhnya ia
melihat Abu Mu>sa> dan para sahabatnya mengerjakan s}alat dhuhur, kemudia
mereka membuat h}alaqah ditepi sungai Tigris (di Iraq). Adhan ‘As}ar pun
terkumandangkan, para sahabatnya berdiri dan bergegas untuk berwud}u’.Abu
Mu>sa> berkata ‘Tidak wajib wud}u’ kecuali bagi orang yang h}adath.’”
Sebagian ahli
ta’wi>l lain menafsirkan ayat di atas akan kewajiban berwud}u’ dalam setiap
melaksanakan ibadah s}alat (Ia harus memperbarui wud}u’nya setiap kali hendak
mengerjakan s}alat). Adapaun dalil yang digunakan sebagaimana berikut:
a-
Riwayat yang datangnya dari Muhammad bin Mushna>
حدثنا محمد بن المثنى
قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة قال، سمعت مسعود بن علي الشيباني قال،
سمعت عكرمة يقول: كان علي رضي الله عنه يتوضأ عند كل صلاة، ويقرأ هذه
الآية:"يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم"
“Ikrimah berkata: ‘Sesungguhnya Ali berwud{u’
setiap kali hendak mengerjakan s}alat dan membaca ayat ini يا أيها الذين آمنوا
إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم.
b-
Riwayat yang datangnya dari Zakariya> bin
Yah}ya>
حدثنا زكريا بن يحيى
بن أبي زائدة قال، حدثنا أزهر، عن ابن عون، عن ابن سيرين: أن الخلفاء كانوا
يتوضأون لكل صلاة.
“Dari Ibnu Si>ri>n: Sesungguhnya para
Khalifah mengerjakan wud}u’ pada setiap kali hendak melaksanakan s}alat.”
c-
Riwayat yang datangnya dari Ibnu Muthna>
حدثنا ابن المثنى قال،
حدثني وهب بن جرير قال، أخبرنا شعبة، عن عبد الملك بن ميسرة، عن النزال، قال، رأيت
عليا صلى الظهر ثم قعد للناس في الرحبة، ثم أتي بماء فغسل وجهه ويديه، ثم مسح
برأسه ورجليه، وقال: هذا وضوء من لم يحدث.
“Dari Nazza>l, ia berkata: Aku melihat Ali
s}alat dhuhur, kemudia ia duduk bersama jama’ah di tanah lapang, kemudia ia
mengambil air lantas membasuh wajah dan kedua tangannya, mengusap kepala dan
kedua kakinya. Ali pun berkata ‘Ini wud}u’nya orang yang tidak h}adath.’”
Sebagian lagi ada
yang berpendapat bahwa perintah wud}u’ pada awal mulanya diwajibkan pada setiap
kali mengerjakan s}alat, namun kewajiban itu dihapus untuk meringankan umat
Islam. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah:
a-
Riwayat yang datangnya dari Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال،
حدثنا يحيى وعبد الرحمن قالا حدثنا سفيان، عن علقمة بن مرثد، عن سليمان بن بريدة،
عن أبيه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ لكل صلاة. فلما كان عام
الفتح، صلى الصلوات بوضوء واحد، ومسح على خفيه، فقال عمر: إنك فعلت شيئا لم تكن
تفعله! قال،"عمدا فعلته.
“Dari Bari>dah, ia berkata: pada awalnya Nabi
Muhammad melakukan wud{u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat. Ketika ‘A<m
al-Fath{ Nabi Muhammad mengerjakan beberapa s}alat dengan menggunakan satu kali
wud}u’ dan mengusap selop. ‘Umar berkata pada Rasullah: sesungguhnya kamu
melakukan pekerjaan yang tidak pernah kamu kerjakan sebelumnya. Rasul menjawab:
Aku sengaja mengerjakan ini.”
b-
Riwayat yang datangnya dari Abdullah bin Abi>
Ziya>d
حدثني عبد الله بن أبي
زياد القطواني، قال، حدثنا يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا أبي، عن ابن إسحاق قال،
حدثني محمد بن يحيى بن حبان الأنصاري =ثم المازني، مازن بني النجار= فقال لعبيد
الله بن عبد الله بن عمر: أخبرني عن وضوء عبد الله لكل صلاة، طاهرا كان أو غير
طاهر، عمن هو؟ قال: حدثتنيه أسماء ابنة زيد بن الخطاب: أن عبد الله بن حنظلة بن
أبي عامر، الغسيل حدثها: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالوضوء عند كل صلاة،
فشق ذلك عليه، فأمر بالسواك، ورفع عنه الوضوء إلا من حدث.
“Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad
diperintahkan untuk berwud}u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat, lantas
Nabi merasa kesulitan, kemudian Allah memerintahkannya untuk bersiwak dan
mencabut perintah berwud}u’ kecuali pada saat h}adath.”
Sebagaimana lumrahnya dalam kitab
tafsir karya al-T{abari>, setelah ia mencantumkan riwayat-riwayat yang
bersangkutan dengan masalah, ia tidak hanya diam dan membiarkan riwayat itu
tanpa ditarji>h}. Pada pembahasan kali ini, al-T{abari> lebih condong
pada riwayat yang menyatakan wud}u’ diwajibkan bagi semua umat Islam yang
hendak mengerjakan s}alat, namun ia dalam keadaan h}adath. Dan jika tidak dalam
keadaan h}adath, maka wud}u’ tidak dijawibkan baginya, melainkan hukumnya hanya
sunnah. Lantas bagiamana tanggapan al-T{abari> prihal riwayat yang
menyatakan wajib berwud{u’ setiap kali mengerjakan s}alat sebagaiman riwayat
yang datangnya dari Bari>dah (pada awalnya Nabi
Muhammad melakukan wud{u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat. Ketika ‘A<m
al-Fath{ Nabi Muhammad mengerjakan beberapa s}alat dengan menggunakan satu kali
wud}u’)? al-T{abari> menjawab “Nabi Muhammad melakukan semua itu
hanya untuk mengajarkan pada semua umatnya agar memperbarui wud}u’ dalam setiap
kali mengerjakan s}alat bukan sebuah perintah kewajiban. Dan jika ada ada yang beranggapan
hadi>th yang menjelaskan akan kewajiban berwud}u’ pada setiap kali
mengerjakan s}alat, maka anggapan tersebut tidak benar.”[14]
Setelah panjang lebar membahas
masalah kewajiban berwud}u’, beralihlah pembahasan kita pada organ yang harus
dibasuh atau di usap saat berwud}u’. Terdapat beberapa organ tubuh yang harus
dikenahi air kala seseorang berwud}u’ seperti yang telah diancurkan oleh
al-Qur’a>n dalam surat al-Ma>idah di atas. Adapun organ tersebut
sebagaimana berikut:
a- Wajah, sebagaimana firman Allah فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
Dalam Tafsi>r
al-T{abari> menjelaskan
perbedaan batasan wajah yang harus dibasuh saat berwud{u dan dalam tafsir ini
juga mencantumkan dalil akan argument masing-masing pendapat. Pendapat Pertama
menjelaskan batasan wajah yang harus dikenai air ialah setiap yang tamapak
jelas dari kulit wajah, di mulai dari permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga
ujung dagu (ukuran panjang) dan di antara telinga kakan hingga telinga kiri
(ukuran lebar). Sedangkan telinga, dalam mulut, hidung, dan mata tidak masuk
katagori wajah dan tidak dijawibkan untuk membasuhnya. Mereka juga berpendapat,
setiap kulit yang tertutupi oleh rambut, seperti dagu yang tertutupi jenggot
tidak wajib untuk membasuhnya, akan tetapi cukup dari air yang mengalir saat
membasuh wajah, sebab wajah menurut mereka hanyalah setiap kulit yang bisa
dilihat oleh mata yang memandang. Adapun dalil yang digunakan oleh pendapat
pertama ini ialah:
1) Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب، قال،
حدثنا ابن إدريس، عن سعيد الزبيدي، عن إبراهيم، قال: يجزيك ما سال عليها من أن
تخللها.
“Dari Ibra>hi>m, ia berkata: Cukup bagimu air yang mengalir
padanya (dagu yang tertutupi jenggot) dari pada menyelah-nyelahinya.”
2) Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال،
حدثنا عمر بن عبيد، عن مغيرة، عن إبراهيم، قال، يجزئ اللحية ما سال عليها من الماء.
“Dari Ibra>hi>m, ia
berkata: Dicukupkan bagi jenggot sesuatu yang mengalir padanya dari air.”
Kedua menjelaskan batasan wajah yang harus dikenai air ialah di mulai dari
permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga ujung dagu (ukuran panjang) dan di
antara telinga kanan hingga telinga kiri (ukuran lebar) baik bagian itu bisa
dilihat oleh mata maupun tidak seperti mulut, hidung, dan permukaan telinga.
Menurut mereka semua itu termasuk bagian wajah yang harus dibasuh. Dan jika ada
bagian yang tidak terkena air atau tidak dibasuh, maka tidak sah s}alatnya
dengan wud}u’ yang telah ia lakukan. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah:
1) Riwayat dari H{ami>d
حدثنا حميد بن مسعدة
قال، حدثنا سفيان بن حبيب، عن ابن جريج قال، أخبرني نافع مولى ابن عمر: أن ابن عمر
كان يغلغل يديه في لحيته حتى يكثر منها القطران.
“Dari Ibnu Jari>j, ia berkata: Na>fi’ (budak yang
dimerdekakan) Ibnu ‘Umar, bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Umar memasuk-masukkan kedua
tangannya ke dalam jenggot, sehingga banyak tetesan air dari jenggot tersebut.”
2) Riwayat dari H}ami>d
حدثنا حميد قال، حدثنا
سفيان، عن شعبة، عن الحكم، عن مجاهد: أنه كان يخلل لحيته إذا توضأ.
“Dari Muja>hid, sesungguhnya ia menyela-nyelai jenggotnya dikala
berwud}u’.”
Adapun dalil yang menunjukkan bagian dalam baik itu mulut, hidung dan
lain-lainnya termasuk bagian yang harus dibasuh ialah:
1) Riwayat dari Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال،
حدثنا عبد الرحمن قال، حدثنا سفيان، عن ابن أبي نجيح قال، سمعت مجاهدا يقول:
الاستنشاق شطر الوضوء.
“Muja>hid berkata: Memasukkan air ke dalam hidung merupakan
sharatnya wud}u’.”
2) Riwayat dari Ibnu H{ami>d
حدثنا ابن حميد قال،
حدثنا الصباح، عن أبي سنان قال: قدمت الكوفة فأتيت حمادا فسألته عن ذلك= يعني: عمن
ترك المضمضة والاستنشاق وصلى= فقال: أرى عليه إعادة الصلاة.
“Dari Abu> Sina>n, ia berkata: Aku ke
Ku>fah, kemudian aku mendatangi Hamma>d, lantas aku bertanya hal itu
(orang yang meninggalkan kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian ia
mengerjakan s}alat), H{amma>d menjawab: Anggapan saya, wajib baginya untuk
mengulangi s}alat.”
Dari dalil-dalil yang telah
dipaparkan di atas, al-T{abari> lebih condong pada pendapat yang pertama.
Al-T{abari> berkata “Wajah yang harus dibasuh saat berwud}u’ bagi orang yang
hendak mengerjakan s}alat sebagaimana yang diprintahkan Allah adalah setiap
sesuatu yang terlihat oleh mata yang memandang yang di mulai dari permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga
ujung dagu (ukuran panjang) dan di antara telinga kanan hingga telinga kiri
(ukuran lebar). Bukan termasuk bagian yang harus di basuh bagian dalam dari
mulut, hidung, mata, dan telinga. Dan tidak wajib di basuh kulit yang tertutupi
oleh jenggot, dan kumis, sebab kulit tersebut tidak bisa dilihat mata yang
memandang.”
Adapun alasan al-T{abari>
mengunggulkan pendapat pertama kendatipun kulit yang tertutupi jenggot dan
kumis termasuk bagian wajah dan harus dibasuh sebelum tumbuhnya bulu dibagian
tersebut, sebab ulama sepakat bahwa kedua mata termasuk bagian wajah, namun
ulama berpendapat yang harus dibasuh hanyalah kelopak mata, tanpa membasuh
bagian bawah kelopak mata dan itu sudah dianggap cukup.
Ulama telah besepakat bahwa
mengalirkan air ke dalam mata bukan termasuk kewajiban wud}u’ dan hal itu
merupakan ajaran dari Nabi Muhammad. Adapun Alasan mata tidak harus dibasuh,
sebab sangat sukar dan butuh memaksakan diri agar air bisa masuk ke dalam mata,
maka bisa diambil kesimpulan setiap sesuatu yang tidak bisa terbasuh air
kecuali dengan memaksakan diri hukumnya tidak wajib tersentuh air. Dari sini,
hukum membasuh dagu yang tertutupi jenggot atau kulit yang tertutupi kumis
tidak wajib di Qiya>skan dengan ketidak wajiban membasuh mata. Sedangkan
kesamaan ‘Illatnya ialah sama-sama sulit terjangkau air dan butuh memaksakan
diri.[15]
b- Kedua tangan,
sebagaimana firman Allah وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ
Sebagaimana yang telah disepakati ulama, tangan termasuk anggota tubuh
yang harus dibasuh saat berwud{u’, namun ulama masih berselisih pendapat akan
arti yang terkandung dalam kalimat الْمَرافِقِ (siku). Apakah siku termasuk
anggota tangan yang harus dibasuh, ataukah tidak?
Ma>lik bin Anas berkata: (saat ia ditanya
tentang firman Allah فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرافِقِ. Apakah bagian belakang siku harus dibasuh? Ma>lik menjawab) yang
telah diperintahkan Allah untuk dibasuh hingga siku.” Dari ungkapan Ma>lik
di atas mengindikasikan bahwa siku termasuk bagian yang wajib dibasuh, maka
batas akhir adalah belakang siku. Demikian pula dengan pendapat al-Shafi’i>,
ia beranggapan bahwa siku tegolong bagian yang harus dibasuh saat berwud}u’.[16]
Ulama lain berpendapat, bahwa siku tidak harus dibasuh, sebab dalam
firman Allah menjelaskan perintah membasuh tangan hingga siku, dari sini
seakan-akan Allah membatasi bagian akhir tangan yang harus dibasuh adalah siku,
sedangkan batas akhir tidak masuk pada bagian yang diwajibkan (gha>yah tidak
masuk dalam katagori h}ad). Tidak jauh beda halnya dengan firman Allah yang
menjelaskan puasa, firman Allah (S.Q. al-Baqarah. 187)
ثم أتموا الصيام إلى
الليل
“Kemudian sempurnakanlah puasamu hingga tiba malam hari.”[17]
Malam hari yang tersebut dalam ayat di atas tidak
masuk katagori kewajiban untuk meneruskan puasanya bagi orang yang puas, sebab
batas akhir orang puasa adalah tibanya malam. Jika sudah sampai pada batas
akhir (malam), maka kewajiban sudah gugur. Demikan pula kontek yang terjadi
pada kewajiban membasuh tangan saat berwud}u’, siku tidak harus dibasuh sebab
siku batas akhir dari kewajiban membasuh tangan.
Al-T{abari> berpendapat bahwa membasuh
kedua tangan hingga kedua siku menjadi sebuah kewajiban bagai orang yang
berwud}u’. Jika meninggalkan sebagian saja maka wud{u’nya tidak sah dan secara
otomatis s}alatnya tidak sah pula. Apapun membasuh siku serta bagian belakang
siku hukumnya sunnah. Oleh karena itu, tetap sah s}alat seseorang yang ketika
berwud}u’ tidak membasuh kedua sikunya. Adapun alasan al-T{abari>
berpendapat demikian sebagaimana yang telah dipaparkan oleh pendapat kedua.[18]
c- Kepala, sebagaimana
firman Allah وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ
Dalam kitab tafsir karya al-T{abari> mencatat, perbedaan ulama prihal
metode mengusap kepala yang dimaksud ayat di atas. Sebagian ulama berpandangan
cukup dengan mengusap sebagian rambut yang ada pada kepala. Adapun dalil yang
mereka gunakan ialah:
1) Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال،
حدثنا زيد بن الحباب، عن سفيان، قال: إن مسح رأسه بأصبع واحدة أجزأه.
“Dari
Safya>n, ia berkata: Sesungguhnya mengusap kepala dengan (menggunakan) satu
jari sudah mencukupi.”
2) Riwayat dari Tami>m bin
al-Muntas}ir
حدثنا تميم بن المنتصر
قال، حدثنا إسحاق قال، أخبرنا شريك، عن يحيى بن سعيد الأنصاري، عن نافع، عن ابن
عمر: أنه كان إذا توضأ مسح مقدم رأسه.
“Dari Na>fi’, dari Ibnu ‘Umar: Sesungguhnya Ibnu ‘Umar jika
berwud}u’ ia mengusap ujung kepalanya.”
Ulama lain berpendapat harus mengusap keseluruah dari
kepala dan jika orang yang berwud}u’ tidak mengusap keseluruhan kepala dengan
air, maka dengan wud}u’ tersebut s}alatnya tidak sah. Adapun dalil yang
digunakan ialah riwayat dari Yu>nus bin ‘Abd al-A’la>
حدثني يونس بن عبد
الأعلى قال، حدثنا أشهب قال، قال مالك: من مسح بعض رأسه ولم يعم أعاد الصلاة
بمنزلة من غسل بعض وجهه أو بعض ذراعه. قال، وسئل مالك عن مسح الرأس، قال: يبدأ من
مقدم وجهه، فيدير يديه إلى قفاه، ثم يردهما إلى حيث بدأ منه.
“Ashhab berkata, Ma>lik berkata: Barang siapa
yang mengusap sebagian dari kepalanya dan tidak meratakan, maka s}alatnya harus
diulangi. (Hah demikian itu) sama saja orang yang membasuh sebagian wajah atau
sebagian tangannya. Ashhab berkata, Ma>lik ditanya cara mengusap kepala.
Ma>lik pun menjawab: di mulai dari ujung wajah, kemudian diputarkan hingga
akhir bagian kepala, kemudian dikembalikan pada tempat ia memulainya.”
Sebagian ulama berpendapat, tidak sah mengusap
kepala jika kurang dari tiga jari yang mengusapnya.
Al-T{abari> berpendapat, Allah memerintahkan
bagi setiap orang yang hendak mengerjakan s}alat untuk membasuh kepala. Dalam
perntah ini, Allah tidak memberikan batas bagian yang harus diusapa. Jika
demikan, maka setiap sesuatu yang diusap oleh orang yang wud}u’ walaupun
sedikit masuk dalam rana mengusap dan sudah dianggap mengerjakan kewajiban
dalam berwud}u’.
d- Kaki, sebagaimana
firman Allah وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى
الْكَعْبَيْنِ
Para ahli Qira>’ah berbeda
pendapat mengenai bacaan kalimat وَأَرْجُلَكُمْ. Ahli H}ija>z dan Iraq membacanya dengan Nas}ab,
maka maksud firman Allah di atas ialah, jika kamu hendak mengerjakan s}alat
basuhlah wajah, kedua tangan hingga siku, kedua kaki hingga mata kaki, dan
usaplah kepalamu. Jika kalimat وَأَرْجُلَكُمْ dibaca Nas}ab, maka posisi kalimat tersebut seperti
kalimat yang diakhirkan, namun memiliki arti yang didahulukan. Adapan dalil
yang menunjukkan kaki harus dibasuh sebagaimana berikut:
1)
Riwayat dari Ya’qu>b
حدثني يعقوب قال،
حدثنا ابن علية، عن خالد، عن أبي قلابة: أن عمر بن الخطاب رأى رجلا قد ترك على ظهر
قدمه مثل الظفر، فأمره أن يعيد وضوءه وصلاته.
“Dari Abu> Qila>bah: Sesungguhnya ‘Umar bin Khat}a>b
melihat seseorang yang tidak membasuh bagian dahir dari kakinya seperti kuku,
lantas ‘Umar memerintahnya untuk mengulangi wud}u’ dan s}alatnya.”
2)
Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب وابن
وكيع قالا حدثنا ابن إدريس قال: سمعت أبي، عن حماد، عن إبراهيم في
قوله:"فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى
الكعبين" قال: عاد الأمر إلى الغسل.
“Dari Ibra>hi>m: (kalimat وأرجلكم) perintah ini kemabali pada membasuh.”
حدثنا أبو كريب قال،
حدثنا ابن المبارك، عن قيس، عن عاصم، عن زر، عن عبد الله: أنه كان يقرأ:(وأرجلكم)
بالنصب.
“Dari Zar, dari Abdullah: bahwa sesungguhnya ia membaca kalimat وأرجلكم dengan bacaan Nas}ab.”
Sebagian ahli Qira>’ah dari H{ija>z dan Iraq membacanya dengan
Jair, maka arti yang terkandung dalam firman Allah di atas ialah: Allah
memerintah orang yang berwud}u’ untuk mengusap kedua kaki bukan membasuhnya.
Dalil yang mereka gunakan sebagaiman berikut:
1) Dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال،
حدثنا محمد بن قيس الخراساني، عن ابن جريج، عن عمرو بن دينار، عن عكرمة، عن ابن
عباس قال: الوضوء غسلتان ومسحتان.
“Ibnu Abba>s berkata: dalam wud}u’ (terdapat) dua yang harus
dibasuh dan dua yang harus diusap.”
2) Dari ‘Ali bin Sahl
حدثنا علي بن سهل قال،
حدثنا مؤمل قال، حدثنا حماد قال، حدثنا عاصم الأحول، عن أنس قال: نزل القرآن
بالمسح، والسنة الغسل.
“Anas berkata: al-Qur’a>n memerintahkan untuk
mengusap dan hadi>th memerintahkan untuk membasuh.”
Pendapat al-T{abari>: pada kali ini
al-T{abari> tidak mengunggulkan satu dari kedua pendapat di atas, melainkan
ia membenarkan kedua.
Setelah membahas anjuran
berwud}u’ sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah surat al-Ma>idah
ayat ke 6, beralihlah pembahasan kita pada permasalahan musa>fir yang Jana>bah
yang hendak mengerjakan s}alat, orang sakit, setelah Qadi al-H}ajah, dan orang
yang usai mengerjakan pekerjaan intim yang tidak mendapatkan air.
Ta’wi>l firman Allah وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً
فَاطَّهَّرُوا.
Al-T{abari> menafsirkan ayat وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً dengan jika kalian Jana>bah sebelum
mengerjakan s}alat, maka dirikanlah s}alat. فَاطَّهَّرُوا namun,
bersesucila dengan cara mandi sebelum mengerjakan s}alat tersebut.
Ta’wi>l firman Allah وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى dan jika
kalian tertimpa sakit seperti luka atau sakit cacar sedangkan kalian dalam
posisi Jana>bah.
Ketiga أَوْ عَلى سَفَرٍ atau kalian junub saat di tangah-tengah perjalanan
Ta’wi>l firman Allah أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ
الْغائِطِ atau jika kalian hendak mengerjakan s}alat setelah Qadi al-H}a>jah
sedangkan posisi kalian dalam perjalanan.
Ta’wi>l firman Allah أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ atau
setelah melakukan pekerjaan intim dan kalian di perjalanan.
Dalam surat al-Nisa>’,
al-T{abari> mencantumkan perbedaan pendapat perilah maskud dari kalimat لامَسْتُمُ, di situ tertera perbedaan
pendapat antara ulama. Di antara mereka ada yang menggartikan dengan Jima>’.
Adapun dalil yang mereka gunakan sebagaimana berikut:[19]
a- Riwayat dari Muhammad bin
al-Muthna>
حدثنا محمد بن المثنى
قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة، عن أبي إسحاق قال: سمعت سعيد بن جبير
يحدث عن ابن عباس: أنه قال:"أو لامستم النساء"، قال: هو الجماع.
“Dari Ibnu ‘Abba>s, ia berkata: maksud أو لامستم النساء adalah jima>’.”
b- Riwayat dari Abu Kuraib
حدثنا أبو كريب ويعقوب
بن إبراهيم قالا قال ابن عباس: اللمس، الجماع.
“Ibnu ‘Abba>s berkata: maksud kalimat al-Lams adalah
Jima>’.”
Ulama lain
beranggapan arti dari kalat al-Lams adalah segala jenis bersentuhan baik
dengan tangan maupun selainnya dari seluruh anggota badan. Dan jika orang telah
menyentuh wanita, maka ia harus berwud}u’. Adapun dalil yang mereka gunakan
ialah:
a- Riwayat dari Ya’qu>b bin
Ibra>hi>m
حدثني يعقوب بن إبراهيم
قال، حدثنا ابن علية، عن شعبة، عن المغيرة، عن إبراهيم قال، قال ابن مسعود: اللمس،
ما دون الجماع.
“Ibnu Mas’u>d berkata: al-Lams adalah selain
Jima>’.”
b- Riwayat dari Ibnu Waki>’
حدثنا ابن وكيع قال،
حدثنا أبي، عن سفيان، عن الأعمش، عن إبراهيم، عن أبي عبيدة، عن عبد الله قال:
القبلة، من اللمس.
“Dari Abddullah, ia berkata: Mengecup bibir masuk
katagori al-Lams.”
Setelah membandingkan kedua
pendapat dan melihat dalil yang digunakan, al-T{abari> lebih memilih
pendapat yang menyatakan arti kalimat al-Lams yang tertera dalam ayat di
atas dan yang bisa bisa mewajibkan wud}u’ bagi orang yang hendak mengerjakan
s}alat ialah pendapat pertama yakni Jima>’. Al-T{abari> juga menuangkan
beberapa hadi>th yang mendukung pendapatnya, di antara hadi>th yang
dipakai ialah:
a- Riwayat yang datangnya dari
Isma>i>l bin Mu>sa>
حدثني بذلك إسماعيل بن
موسى السدي قال، أخبرنا أبو بكر بن عياش، عن الأعمش، عن حبيب بن أبي ثابت، عن
عروة، عن عائشة قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل، ثم يصلي ولا
يتوضأ.
“Dari ‘A<ishah, ia berkata: suatu ketika Nabi Muhammad
berwud}u’, kemudia mengecup, kemudian s}alat tanpa berwud}u’ (lagi).”
b- Riwayat yang datangnya dari
Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال،
حدثنا وكيع، عن الأعمش، عن حبيب بن أبي ثابت، عن عروة، عن عائشة: أن النبي صلى
الله عليه وسلم قبل بعض نسائه، ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ.
“Dari ‘A<ishah, ia berkata: sesungguhnya Nabi Muhammad mengngecup
sebagian dari istrinya, kemudian baliau mengerjakan s}alat tanpa berwud}u
lagi.”
Ta’wi>l firman Allah فَلَمْ تَجِدُوا ماءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
Wahai orang-orang yang beriman,
jika kalian hendak mendirikan s}alat sedangkan kalian dalam keadaan sakit yang
bermukim, perjalanan dalam keadaan sehat, setelah Qa>di al-H}a>jah, atau
setelah mengerjakan pekerjaan intim dalam perjalanan dan pada saat itu kalian
tidak menemukan air, maka bergegaslah mencari debu yang suci, bersih, tidak
kotor, dan tidak najis. Hal demikian itu diperbolehkan bagi kalian.
Ta’wu#i>l firman Allah فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Ambillah dengan tangan kalian debu yang kalian tuju untuk digunakan
tayammum, kemudia usapkanlah debu yang ada ditangan pada wajah dan kedua tangan
kalian. Adapaun Teori tayammum versi al-T{abari> ialah orang yang
bertayammum menempelkan tangannya pada permukaan bumi atau sesamanya, kemudian
mengusapkan debu yang menempel pada tangan kewajah dan kedua tangan. Jika debu
yang menempel terlalu banyak, maka tingkah yang harus dilakukan oleh orang
tayammum meniup debu yang ada ditangan atau membersihkannya. Hal seperti itu
hukumnya boleh. Jika setelah memukulkan tangan pada bumi, namun tidak ada debu
yang menempel, kemudian ia mengusapkan pada wajah dan kedua tangan, maka
hukumnya sah, berdasarkan Ijma>’ (jika ada orang yang bertayammum sudah
memukulkan tangannya pada permukaan bumi yang dipenuhi oleh bebatuan dan tidak
ada sedikitpun dari debu yang menempel hukum tayammumnya sah).
Terdapat perbedaan antara para
ulama mengenai batasan tangan yang harus diusap dengan debu saat bertayammum.
Di antara mereka ada yang berpendapat hingga siku, dengan menggunakan dalil
riwayat dari Ayyu>b
حدثنا أبو كريب وأبو
السائب قالا حدثنا ابن إدريس، عن عبيد الله، عن نافع، عن ابن عمر قال: كان يقول في
المسح في التيمم: إلى المرفقين.
“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: bahwa batas mengusap (tangan) dalam
tayammum sampai siku.”
Sebgain ulama lain berpendapat
batas akhir hingga pergelangan tangan, adapun dalilnya ialah riwayat dari Abu
Ma>lik
حدثنا هناد قال، حدثنا
أبو الأحوص، عن حصين، عن أبي مالك قال: وضع عمار بن ياسر كفيه في التراب، ثم
رفعهما فنفخهما، فمسح وجهه وكفيه، ثم قال: هكذا التيمم
“Dari ‘Abu Ma>lik, ia berkata: Umma>r bin Ya>sir memukulkan
kedua telapak tangannya pada debu, kemudian mengangkatnya dan meniupnya,
kemudian mengusapkan pada wajah dan dan keuda telapak tangan. Lantas ia berkata
demikianlah (cara) tayammum.”
Ulama lain berpendapat batasnya
hingga ketiak dengan menggunakan dasar riwayat dari Ahmad bin Abdurrahman
حدثني أحمد بن عبد
الرحمن البرقي قال، حدثني عمرو بن أبي سلمة التنيسي، عن الأوزاعي، عن الزهري قال:
التيمم إلى الآباط.
“Dari al-Zuhri, ia berkata: tayammum hingga ketiak.”
Dari perbedaan di atas
al-T{abari> mengambil jalan tengah, ia berpendapat batasan yang tidak boleh
ditinggalkan bagi orang yang bertayammum hingga telapak tangan. Dan jika orang
yang bertayammum mengusap tangan tidak sampai pada batasan tersebut, maka
tayammumnya tidak sah. Sekarang bagaimana dengan orang yang mengusap tangan
hingga melebih telapak tangan? Al-T{abari> menjelaskan dalam karya tafsirnya
yang bernama Tafsi>r al-T{abari> hukum bagi orang mengusap melebih
telapak tangan tidak masalah, namun yang menjadi permasalahan apabila tidak
sampai pada kedua telapak tangan.
Ta’wi>l firman Allah ما يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Allah
tidak menginginkan terhadap kalian semua dalam segala sesuatu yang telah
diwajibkan baik itu berupa wud}u’ ketika hendak mengerjakan s}alat, mandi saat
Jana>bah, dan tayammum dengan menggunakan debu yang suci ketika tiada air,
kecuali hanya ingin mempermudah kalian dalam masalah agama.
Ta’wi>l firman Allah وَلكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
Akan
tetapi Allah menghendaki kewajiban seperti wud}u’ dari hadath, mandi bagi orang
yang junub, tayammum bagi yang tidak menemukan air, kecuali dengan tujuan agar
bisa membersihkan dan menyucikan raga kalian dari dosa-dosa. Sebagaimana yang
telah tertera dalam hadi>th dari Abu> Kuraib, Muhammad, dan Yahya> bin
Da>wud:
حدثنا أبو كريب، ومحمد
بن المثني ويحيى بن داود الواسطي، قالوا، حدثنا إبراهيم بن يزيد مردانبه القرشي
قال، أخبرنا رقبة بن مصقلة العبدي، عن شمر بن عطية، عن شهر بن حوشب، عن أبي إمامة
قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:"من توضأ فأحسن الوضوء ثم قام إلى
الصلاة، خرجت ذنوبه من سمعه وبصره ويديه ورجليه".
“Dari Abu> Uma>mah, ia berkata: Rasullah berkata, barang
siapa berwud}u’ dengan baik kemudian ia mengerjakan s}alat, maka keluarlah
dosa-dosa dari telinga, mata, kedua tangan, dan kedua kakinya.”
Ta’wi>l firman Allah وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
Dan Allah menghendaki untuk
menyempurnakan nikmat yang telah diberikan pada kalian akan kelegalan
bertayammum, menjadikan suci debu bagi kalian, dan lain-lain, semua itu
merupakan dispensasi bagi kalian dari Allah.
Ta’wi>l firman Allah لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونًَ
Semua itu, Allah berikan pada
kalian agar supaya kalian bershukur pada-Nya atas nikmat yang telah Allah
berikan dengan cara mentaati perintahnya dan meninggalkan larangan-Nya.
D- Intisari Penafsiran al-T{abari>
Dalam Surat al-Ma>idah Ayat 6
Dari penafsiran al-T{abari> di
atas bisa disimpulakan bahwa organ tubuh yang harus dibasuh atau diusap saat
berwud}u’ adalah wajah, tangan, kepala, dan kaki. Para ulama tidak
memperselisihkan soal organ tubuh yang harus dibasuh atau diusap, namun yang
menjadi perselisian antara mereka adalah batasan yang harus dibasuh atau
diusap, organ mana yang harus dibasuh dan organ mana yang harus diusap?
Pada pembahasan kali ini,
konsentrasi kita hanya pada pendapat Ibnu Jari>r al-T{abari>, agar kita
bisa mengetahui pendapatnya dan tidak hanya buta pada pendapat Sha>fi’i>.
Wud}u’ diwajibkan bagi semua
orang Islam yang hendak mengerjakan s}alat, namun kewajiban itu hanya bagi
orang yang sedang hadath. Adapun metode berwud}u’ yang harus dikerjakan pertama
kali ialah mengusap wajah yang dimulai dari tumbuhnya rambut hingga ujung dagu
dan dari telinga kanan hingga telinga kiri. Sedangkan mulut, hidung bagian
dalam, dagu yang warna kulitnya tertutupi oleh jenggot, dan kumis tidak termasuk
dari wajah yang wajib dibasuh, melainkan cukup dengan adanya air yang mengalir
dari basuhan wajah, hal itu disamakan dengan mata yang kewajibannya hanya
membasuh kelopak mata bukan mata bagian dalam.
Kedua kewajiban membasuh kedua
tangan, batas akhir dari tangan yang dibasuh sampai siku dan tidak harus
melebih siku. Sebab huruf “Ila” dalam al-Qur’a>n menunjukkan batas
akhir (Intiha>’ al-Gha>yah), maka bisa difahami membasuhnya hanya sampai
siku. Batasan dari al-T{abari> ini terlihat berbeda dengan pendapat
Sha>fi’i> yang mengatakan harus melebihi siku, sebab siku termasuk organ
yang diperintahkan untuk dibasuh.
Ketiga mengusap kepala, tidak
harus membasuh keseluruhan kepala bagi orang yang wud}u’, namun cukup baginya
membasuh sedikit dari bagian kepala. Ini adalah pendapat yang lebih diunggulkan
oleh al-T{abari>. Pendapat ini sama halnya dengan pendpat Sha>fi’i>.
Keempat membasuh atau mengusap
kaki hingga mata kaki. Al-T{abari> tidak condong pada satu pendapatpun dalam
masalah bacaan Nas}ab atau Jair. Ia berusaha menyatukan dan menganggap kedua
pendapat itu benar. Oleh karena itu, seseorang yang berwud}u’ boleh membasuh
dan boleh juga mengusap kaki.
Setelah kita mengetahui organ tubuh yang harus
dikenai air, beralih pembahasan tentang posisi orang yang tidak menemukan air
atau orang yang tidak bisa menyentuh air sebab sakit yang menimpanya. Dalam
masalah ini, terdapat sedikit perbedaan antara al-T{abari> dengan madhhab
asalahnya yaitu Sha>fi’i> dalam salah batasan yang harus diusap debu saat
bertayammum. Adapun praktek tayummum versi al-T{abari> ialah orang yang
bertayammum menempelkan tangannya pada permukaan bumi atau sesamanya, kemudian
mengusapkan debu yang menempel pada tangan kewajah dan kedua tangan. Jika debu
yang menempel terlalu banyak, maka tingkah yang harus dilakukan oleh orang
tayammum meniup debu yang ada ditangan atau membersihkannya. Hal seperti itu
hukumnya boleh. Jika setelah memukulkan tangan pada bumi, namun tidak ada debu
yang menempel, kemudian ia mengusapkan pada wajah dan kedua tangan, maka
hukumnya sah, berdasarkan Ijma>’ (jika ada orang yang bertayammum sudah
memukulkan tangannya pada permukaan bumi yang dipenuhi oleh bebatuan dan tidak
ada sedikitpun dari debu yang menempel hukum tayammumnya sah).
Al-T{abari> mengambil jalan
tengah dalam masalah batasan tangan yang harus diusap dengan debu, ia
berpendapat batasan yang tidak boleh ditinggalkan bagi orang yang bertayammum
hingga telapak tangan. Dan jika orang yang bertayammum mengusap tangan tidak
sampai pada batasan tersebut, maka tayammumnya tidak sah. Sekarang bagaimana
dengan orang yang mengusap tangan hingga melebih telapak tangan? Al-T{abari>
menjelaskan dalam karya tafsirnya yang bernama Tafsi>r al-T{abari>
hukum bagi orang mengusap melebih telapak tangan tidak masalah, namun yang
menjadi permasalahan apabila tidak sampai pada kedua telapak tangan.
E- Keunggulan dan Kekurangan
Tafsi>r al-T{abari>
Bila mengkaji beragam literature
tafsir mulai dari era klasik hingga kontemporer, maka kita bisa membandingkan
antara satu karya tafsir dangan karya tafsir lainnya. Dan dari situ pula kita
bisa menemukan keunggulan dan kekurangan tafsir yang telah kita baca. Seperti
yang telah penulis cantumkan di atas, kitab tafsir karya al-T{abari> ini
merupakan kitab tafsir tertua yang sampai pada tangan kita. Memang, tidak bisa
dipungkiri sebelum al-T{abari> menulis kitab tafsir sudah ada ulama yang
sukses membukukannya, namun sayangnya karya tersebut tidak sampai pada tangan
kita.
Mungkin tidak salah bila sebagian
ulama berpendapat tafsir karya al-T{abari> merupakan karya tafsir paling
lengkap dan mecakup segala ilmu, namun menurut pandangan penulis ungkapan
seperti ini layak dilontarkan pada masa silam sewaktu karya-karya tafsir belum
membumi.
Setelah mempelajari Tafsir
al-T}abari> ini, pemakalah menemukan keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh kitab tafsir lainnya yaitu dalam kitab ini mencantumkan banyak riwayat
yang bersangkutan dengan ayat yang dibahas, bahkan mayoritas dalam satu
permasalahan terdapat lebih dari 15 riwayat. Setelah menampilkan riwayat yang
ada al-T{abari> berusaha untuk mentarjih pendapat yang dianggapnya lebih
unggul dan jika perbedaan tersebut bisa dikumpulkan, maka ia tidak akan
menggunggulkan satu pendapat pun. Selain itu, yang membuat unik dari tafsir ini
al-T{abari> berani memaparkan pendapat yang berbeda dengan Sha>fi’i>
yang mana Sha>fi’i> sendiri imam madhhab yang ia anut pada awalnya.
Nemurut pandangan pemakalah,
kekurang dari kitab tafsir ini tidak menjelaskan (men-Sharah}i) hadi>th yang
dicantumkan sehingga karya tafsir ini hanya bisa dikonsumsi oleh kalangan
tertentu dan hanya bagi orang-orang yang mahir dalam bahasa Arab. Dan mungkin
bisa di masukkan dalam katagori kekurang, kaya tafsir ini telalu banyak
mencantumkan hadi>th yang penjelasannya sama. Hal seperti ini bisa membuat
pembaca merasa cepat bosen dan jenuh.
F- Kesimpulan
Para sejarawan sepakat bahwa Tafsi>r
al-T{abari> adalah satu-satunya
tafsir klasik yang sampai pada tangan kita sekarang. Memanga tidak bisa
dipungkir akan adanya kitab tafsir yang terbukukan selum al-T{abari> menulis
karyanya, namun karya tersebut tidak sampai pada tangan kita. Dari situlah para
sejarawan mencatat karya tafsir pertama adalah kitab Tafsi>r
al-T{abari>. Kitab tafsir yang dikarang oleh al-T{abari> terkenal
dengan Tafsi>r bi al-Ma’thu>r yang mana dalam kitab tersebut
menjadikan hadi>th dan riwayat sebagai sandaran utama dalam penafsiran
ayat-ayat al-Qur’a>n.
Pelajaran penting yang bisa
dipetik dari karya tafsir ini menurut ideology pemakalah ialah, al-T{abari>
mengajarkan kita untuk memberanikan diri dalam merumuskan hukum fikih tanpa
mengikuti satu pendapat dari ulama, melainkan sandaran utama hanya
al-Qur’a>n, Hadi>th Nabi Muhammad, dan terakhir adalah logika. Sebuah
bukti, pada awalnya al-T{abari> bermadhhabkan Sha>fi’i>, namun setelah
mempelajari sekian banyak leteratur ia mendirikan madhhab sendiri yang diberi
nama dengan madhhab al-Jari>riyah. Selain itu juga, banyak pendapat yang
telah dirumuskan oleh al-T{abari> berbeda dengan hukum yang telah dirumuskan
oleh Sha>fi’i>, contoh kecil menyentuh wanita dengan menggunakan anggota
tubuh tidak bisa membatalkan wud{u’, sebab maksud kalimat al-Lams dalam
al-Qur’a>n memiliki arti melakukan pekerjaan intim.
Pemakalah berfikir, bahwa madhhab
Jari>riyah lebih tepat diteranpakan di Negara Indonesia, melihat kondisi
zaman yang semakin berkembang dan percampuran anatar laki-laki dan perempuan
sudah tidak bisa dihindari lagi. Selain itu, fata>wa> al-T{abari>
seakan lebih memepermudahkan orang Islam yang hidup pada masa sekarang. Hal
seperti ini tidak bisa disalahkan, sebab sebagian ulama menyatakan “Fikih
terlahir di dunia hanya untuk mempermudah umat Islam.”
Referensi
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n
dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro, 2008.
‘I<d Khid}ir Muhammad
Khid}ir. Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo:
Mujalla>d al-Arabi, 2010.
Abu> H{ayya>n, Muhammad
bin Yu>suf al-Andalusi>. Tafsi>r al-Bah{r al-Muh}i>d}.
Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422.
Baghda>di> (al), Ahmad
bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b. Ta>rikh Baghda>d. Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422.
Dewan Redaksi Ensiklopedia
Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997.
Ru>mi> (al), Abu>
‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi>. Mu’jam al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b
il> Ma’rifah al-Adi>b. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
Subki> (al),
Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi>. T}aqa>t
al-Sha>fi’iyah al-Kubra>. Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa
al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413.
T{abari> (al), Abu> Ja’far
Muhammad bin Jari>r. Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An
Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n. Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa
al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422.
[1] Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b
al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d, (Bairut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1422), 2/162.
[2] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r
al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n,
(Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa
al-I’la>n, 1422 H), 12.
[3] Abu> ‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi> al-Ru>mi>, Mu’jam
al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b il> Ma’rifah al-Adi>b, (Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M), 242.
[4] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r
al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…,
13.
[6] Ta>juddi>n
bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi> al-Subki>, T}aqa>t al-Sha>fi’iyah
al-Kubra> (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa
al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413 H), 3/126.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Houve, 1997), 1126.
[8] ‘I<d
Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Mujalla>d
al-Arabi, 2010), 341.
[10] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r
al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…,
6.
[12] Muhammad bin Yu>suf Abu> H{ayya>n
al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah{r al-Muh}i>d}, (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1422), 3/449.
No comments:
Post a Comment