Saturday, 5 July 2014

al-Tabari



TAFSIR TAH{LILI DIMENSI FIKIH;
Kajian Bab Wud{u’ Versi Ibnu Jari>r al-T{abari> Surat al-Ma>idah Ayat 6
By: Muhammad
A-   PENDAHULUAN
Mengkaji al-Qur’a>n memang tidak akan ada habisnya, melihat al-Qur’a>n bisa ditarik ulur di mana lokasi dan kapanpun waktunya. Oleh karena itu, mempelajari al-Qur’a>n tidak akan ada bosan-bosannya hingga akhir zaman. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dari kali perama al-Qur’a>n diturunkan kepada Muhammad penjelasan (tafsir) al-Qur’a>n sudah mulai bermunculan kendatipun pada saat itu hanya Muhammad yang mempunyai wewenang dalam menjelaskan isi al-Qur’a>n.
Setelah Muhammad wafat turunlah pada masa sahabat, ta>bi’i>n, dan ta>bi’ ta>bi’i>n yang berusaha untuk mengartikan dan menjelaskan al-Qur’a>n pada semua umat Islam. Dari sini permulaan munculnya perbedaan argumentasi tafsir. Pada semua masa yang telah pemakalah cantumkan, al-Qur’a>n masih belum terbukukan dengan rapi, lengakap dan sampai pada tangan kita, hingga datangnya sosok alim yang bernama Muhammad bin Jari>r al-T{abari>> yang kitab tafsirnya dikenal dengan sebutan Tafsi>r al-T{abari>>.
Penulis lebih memilih Tafsi>r al-T{abari>>, sebab al-T{abari> termasuk salah satu ulama yang memilik madhhab tersendiri. Memang tidak bisa dipungkiri, pada awalnya al-T{abari> mengikuti madhhab al-Shafi’i>, namun dengan banyaknya ilmu yang telah ia palajari dan kuasai, ia mulai memberanikan diri membangun madhhab yang dikenal dengan madhhab al-Jari>riyah. Tokoh satu ini sangat cocok dibedah karya tafsirnya yang dikonsentrasikan pada bidang fikih.
Karya tafsir inilah yang kita kaji pada pertemuan kali ini. Dalam mengkaji Tafsi>r al-T{abari>> pada kali ini, konsentrasi kita hanya melihat riwayat hidup penulis, gambaran umumnya, dan pembahasan inti adalah wud{u’ versi al-T{abari>.
B-  TAFSI<R JA<MI’ AL-BAYA<N FI TAFSI<R AL-QUR’A<N AL-‘AZ{I<M
1-      Riwayat Hidup dan Aktifitas Keilmuan Penulis Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m
Ibun Jari>r adalah seorang mufasir terkenal, mujtahid, muhadith, dan sejarawan terkemuka pada masa itu. Ia mempunyai nama lengkap Muhammad bin Jari>r bin Yazi>d bin Kathi>r bin Gha>lib, kemudian dijuluki dengan Abu> Ja’far al-T}abari>. Ia dilahirkan di Amul ibu kota T{abrasta>n, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terlerak sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin.[1]
Para sejarawan berbeda pendapat akan tahun kelahiran al-T{abari>>, diantara mereka ada yang mengatakan tahun 224 Hijriah dan ada pula yang magatakan 225 Hijriah. Bahkan al-T{abari>> sendiri tidak mengetahui tahun kelahirannya. Konon, salah satu muridnya yang bernama al-Qa>d}i> Ibnu Ka>mil bertanya pada al-T{abari>> mengenai tahun kelahirannya:
Al-Qad}i> Ibnu Ka>mil: “Bagaimana kamu bisa ragu-ragu akan tahun kelahiranmu sendiri?”
Al-T{abari>>: “Karena sistem penanggalan di daerahku menggunakna kejadian-kejadian besar bukan dengan angka. Dan ketika aku bertanya pada orang-orang sekitar, kabar yang aku tirima masih singpang-siur, diantara mereka ada yang mengatakan akhir tahun 224 dan ada juga yang mengatakan awal dari tahun 225 Hijriah.”[2]
Al-T{abari> hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil. Al-T{abari> juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’a>n merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk al-T{abari>.
Berkata motivasi dan pengarahan terutama dari ayahnya serta berbekal kecerdasan yang tinggi, pada usia 7 tahun, al-T{abari> muda sudah hafal al-Qur’a>n, menjadi imam s}alat saat usia 8 tahun, dan menulis hadi>th pada usia 9 tahun. Isharat akan kebesaran al-T{abari>> sebenarnya sudah dirasakan oleh ayahnya. Suatu ketika ayahnya bermimpi bahwa Rasul menghampiri al-T{abari>> seraya memegang tangannya dan memberikan segenggam kerikil padanya, kemudian mimpi itu dita’birkan orang-orang bijak sebagai pertanda kesuksesan al-T{abari>> dikemudian hari.[3]
Seperti kebiasaan ulama lain pada waktu itu, al-T{abari>> dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan beberapa perjalanan ke berbagai daerah Islam. Di samping itu, letak pusat keilmuan yang dipadati ulama berada jauh dari tempat tinggalnya, akhirnya setelah menempuh pendidikan di kota asalnya kemudian ia mengadakan perjalanan ilmiah ke berbagai wilayah negara Islam.
Kali pertama kota yang ditujunya adalah Ray Iran dan sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadi>th dari tokoh yang bernama Muhammad Ibnu Humaidi> al-Ra>zi>. Dari daerah ini pula, al-T{abari>> berkesempatan belajar sejarah dari Muhammad Ibnu Ahamd Ibnu Hammad al-Daula>bi>. Dan belajar fikih pada Muqa>til. Kemudian, ia menuju kota Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, namun sesampainya ia di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat. Ia pun mengalihkan perjalanannya ke Bas}rah, namun di tengah-tengah perjalanan ia mampir ke daerah Wasit}. Setelah dari Bas}rah al-T{abari>> melanjutkan perjalanan ke kota Ku>fah, di kota ini al-T{abari>> mempelajari qira>’a>t dari Sulaiman al-Tulh}I dan hadi>th dari Ibra>him Abu> Kuraib Muhammad Ibnu al-‘Ala>’ al-Hamda>ni> (salah seorang seorang ulama besar hadi>th). Dan kemudian ia melanjutkan perjalanan pencarian ilmu di Mesir.[4]
Al-T{abari>> wafat pada hari Minggu sore bulan Syawal tahun 310 Hijriah. Ia di makamkan di sebuah permakaman yang bernama Rah}ah Ya’qu>b, Baghdad.[5] Seiring dengan wafatnya al-T{abari>> banyak dari tokoh agama dan sastra membuat syair duka cita untuk al-T{abari>>. Sebagai contoh Ratha>’ Ibnu Duraid:[6]
إِنَّ المَنِيَّةَ لَمْ تُتْلِفْ بِهِ رَجُلاً ** بَلْ أَتْلَفَتْ عَلَماً لِلدِّينِ مَنْصُوبَا
كانَ الزَّمانُ بهِ تصفو مشاربهُ ** فالآنَ أصبحَ بالتَّكديرِ مقطوبا
كَلاَّ وأَيَّامُهُ الغُرُّ الَّتِي جَعَلَتْ ** للعلمِ نوراً وللتَّقوى محاريبا
Dalam dunia ilmu pengetahuan, ia terkenal tekun mendalami bidang-bidang ilmu yang dimilikinya, juga gigih dalam menambah ilmu pengetahuan. Sehingga dengan itu, banyak bidang ilmu yang dikuasainya, di samping itu, ia mampu menuangkan ilmu-ilmu yang dikuasainya ke dalam bentuk tulisan. Kitab-kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu seperti Tafsi>r, Hadi>th, Fikih, Tauh{i>d, Us}ul Fikih, ilmu bahasa Arab,  dan juga kedokteran.[7] Akan tetapi, tidak diperoleh informasi yang pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya, karena karya-karya al-T{abari>> tidak semuanya sampai pada tangan kita. Bila diperkirakan banyak karyanya yang berkaitan dengan hukum lenyap bersamaan dengan lenyapnya Madhhab Jari>ri>yah.
Adapun di antara karya-karya al-T{abari>> adalah:
a.         A<da>b al-Mana>sik.
b.         Tari>kh al-Umam wa al-Mulu>k (yang dikenal dengan Tari>kh al-T{abari>>).
c.         Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n (dikenal juga dengan Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Tafsi>r A<y al-Qur’a>n).
d.         Ahka>m Shara>’I’ al-Isla>m.
e.         Kita>b al-Tabs}i>r (karya ini ditulis berkisar 30 lembar yang dikhususkan pada orang-orang daerah Amul T{abrasta>n yang menjelaskan madhha>b ahli bid’ah)
f.          Al-Ja>mi’ fi al-Qira>’a>t. Dan masih banyak karya-karyanya yang lain.
2-     Gambaran Umum Kitab Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Tafsir al-T{abari>> termasuk salah satu kitab tafsir ternama, bahkan bisa dikatakan tafsirnya merupakan induk dari kitab-kitab tasfsir lainnya, kitab tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m merupakan pembuka dari berkembangnya kitab-kitab tafsir. Bagaimana pemakalah tidak mengatakan demikian? Sedangkan sejarawan mencatat bahwa pertama kali ilmu tafsir terbukukan dan sampai pada tangan kita adalah tafsir karya al-T{abari>>.[8]
‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir komentar tentang tasfir al-T{abari>> ini dengan perkataannya:
ابن جرير الطبرى الذى تميز تفسيره على هؤلاء بأنه تعرض لترجيح بعض الأقوال على بعض, وذكر الإعراب  والإستنباط. وكان تفسيره من اجلّ التفاسير بالمأثور وأصحها وأجمعها.
Yang membuat beda dalam tafsir Ibu Jari>r al-T{abari>> dari tasfir-tafsir yang lain ialah dalam karnyanya menyantumkan argumen-argumen yang ia unggulkan dari argumen lainnya, menyinggung masalah I’ra>b kalimat dan dasar-dasar pengambilannya. Dan tafsirnya merupakan karya tafsir paling agung dibanding kitab-kitab tafsir bi al-Ma’su>r lainnya.[9]
Al-T{abari>> menjelaskan dalam mukadimah kitabnya akan manha>j dan sebab pembuatan kitab tafsirnya:
ونحن -في شرح تأويله، وبيان ما فيه من معانيه- منشئون إن شاء الله ذلك، كتابًا مستوعِبًا لكل ما بالناس إليه الحاجة من علمه، جامعًا، ومن سائر الكتب غيره في ذلك كافيًا. ومخبرون في كل ذلك بما انتهى إلينا من اتفاق الحجة فيما اتفقت عليه منه (عليه الأمة) واختلافها فيما اختلفت فيه منهُ. ومُبيِّنو عِلَل كل مذهب من مذاهبهم، ومُوَضِّحو الصحيح لدينا من ذلك، بأوجز ما أمكن من الإيجاز في ذلك، وأخصر ما أمكن من الاختصار فيه.
والله نسألُ عونه وتوفيقه لما يقرب من محَابِّهِ، ويبْعد من مَساخِطه. وصلى الله على صَفوته من خلقه وعلى آله وسلم تسليمًا كثيرًا.
Dan saya (dalam menjelaskan ta’wil kitab Allah dan menjelaskan makna-maknanya) akan menciptakan dalam kitab ini (Insha> Allah) sebuah kitab yang mencakup sesuatu yang dibutuhkan manusia dari setiap ilmu dan dari semua kitab-kitab lainya, semua ada dalam kitab ini. Dan dalam kitab ini juga menjelaskan kesepakatan dalil-dalil yang telah disepakati oleh umat, dan perbedaan yang telah menjadi perbedaan antara mereka. Menjelaskan ‘Illat-‘Illat dari semua madhhab, kemudian saya jelaskan pendapat yang s}ah}ih} menurut saya peribadi dengan sesingkat dan sesingkas mungkin.[10]
C-    Tafsir Tah}lili Bentuk Fikih Surat al-Ma>idah Ayat 6
Pembahasan kali ini akan meliputi ayat yang akan dibahas, tarjamah, sebab turunnya ayat, arti kosa kata kalimat menurut mufassi>r, penafsiran ayat menurut kacamata Fikih, dan lain-lain.
1-      Ayat dan Tarjamahnya
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ما يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونًَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak malaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air besar (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka berayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak Membersihkan kamu dan Menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”[11]
2-      Sebab Turunnya Ayat
Dalam sebuah riwayat yang datangnya dari ‘Alqamah menjelaskan sebab turunnya surat al-Ma>idah ayat ke 6 sebagaimana berikut:
وقال علقمة بن الفعواء وهو من الصحابة : إنها نزلت رخصة للرسول لأنه كان لا يعمل عملاً إلا على وضوء ، ولا يكلم أحداً ولا يرد سلاماً على غير ذلك ، فأعلمه الله أنّ الوضوء إنما هو عند القيام إلى الصلاة فقط دون سائر الأعمال.[12]
“Dan ‘Alqamah bin al-Fa’wa>’ berkata, beliau tergolong sahabat: ‘Ayat tersebut diturunkan menjadi sebuah dispensasi bagi Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidak akan mengerjakan satu pekerjaan pun kecuali beliau berwud}u’ terlebih dahulu, tidak berbica dengan seorang pun, tidak menjawab salam, dan lain-lain. Kemudia Allah memberi tahu bahwa sesungguhnya wud}u’ (dibutuhkan) saat hendak mengerjakan s}alat saja, tidak untuk semua pekerjaan.’”
Riwayat yang datangnya dari al-T{abari> menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut dengan:
حدثني عبد الله بن أبي زياد القطواني، قال، حدثنا يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا أبي، عن ابن إسحاق قال، حدثني محمد بن يحيى بن حبان الأنصاري =ثم المازني، مازن بني النجار= فقال لعبيد الله بن عبد الله بن عمر: أخبرني عن وضوء عبد الله لكل صلاة، طاهرا كان أو غير طاهر، عمن هو؟ قال: حدثتنيه أسماء ابنة زيد بن الخطاب: أن عبد الله بن حنظلة بن أبي عامر، الغسيل حدثها: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالوضوء عند كل صلاة، فشق ذلك عليه، فأمر بالسواك، ورفع عنه الوضوء إلا من حدث.[13]
“Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk berwud}u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat, lantas Nabi merasa kesulitan, kemudian Allah memerintahkannya untuk bersiwak dan mencabut perintah berwud}u’ kecuali pada saat h}adath.”
3-      Muna>sbah Dengan Ayat Sebalumnya
Setiap ayat yang ada dalam al-Qur’a>n pasti ada kesamaan dan keserasian, itu versi mayoritas ulama tafsir. Oleh Karena itu, sekian banyak dari mufassi>r selalu menyebutkan muna>sabah dalam karya-karya tafsirnya. Meski demikan, tidak menafikan jika ada sebagian mufassi>r beranggapan muna>sabah antar satu ayat pada ayat yang lain atau satu surat dengan surat lain tidak penting dan tidak perlu dicantum dalam karya tafsir, sebab dengan adanya muna>sabah para mufassi>r terlalu memaksakan diri mencari kesamaan padahal kesamaan tersebut tidak ada.
Namun pada kalin ini, pemakalah lebih condong pada pendapat mayoritas mufassi>r yang menyatakan muna>sabah penting, sebab dengan adanya muna>sabah merupakan salah satu indikasi akan kehebatan kata-kata yang ada dalam al-Qur’a>n. Oleh karena itu, makalah ini dilengkapi dengan muna>sabah ayat 6 dari surat al-Ma>idah dengan ayat sebelumnya.
Terdapat muna>sabah yang sangat jelas antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, yang mana pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang kewajiban menepati janji, menjelaskan sesuatu yang halal dan haram dalam makanan dan pernikahan yang mana keduanya adalah urusan yang pekat dengan dunia, Allah melanjutkan firman dengan turunnya ayat ke 6 yang menjelaskan akhirat dan hubungan antara hamab dan Tuhannya.
Dikala s}alat menjadi media paling agungnya taat kepada Allah setelah seseorang beriman, sedangkan s}alat sendiri tidak akan sah bila tidak dalam keadaan suci, dari sini Allah memulai dengan sharat-sharat bersuci (wud}u’), meruntut dengan tayammum bagi orang yang tidak menemukan air atau ada udhur. Dari ayat ini dan ayat sebelumnya bisa disimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh meninggalkan dua hal yaitu ingat urusan dunia dan diimbangi dengan urusan akhirat.
4-      Penafsiran Ayat Menurut Kacamata Fikih
Sebelum al-T{abari> masuk dalam pembahasan wud}u’ dalam kitab tafsirnya, ia terlebih dahulu menjelaskan tentang arti dari susunan kalim يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِِ. Al-T{abari> mencantumkan beragam riwayat demi mencari hakikat arti dari kalim tersebut. Al-T{abari> berkata “Para ahli ta’wi>l berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِِ. Apakah yang dimaksud itu setiap kali hendak mengerjakan s}alat ataukah hanya sebagian saja? Langkah seperti apa yang harus melaksanakan wud}u’ terlebih dahulu?.”
Sebagian ahli ta’wi>l berpendapat bahwa wud}u’ tidak harus dalam setiap kali mengerjakan s}alat, akan tetapi hanya sebagian saja. Kewajiban wud{u’ tersebut hanya bagi orang yang hendak mengerjakan s}alat, namun ia tidak dalam keadaan suci (h}adath). Adapun tendensi yang mereka gunakan dari riwayat-riwayat sebagaimana berikut:
a-      Hadi>th yang datangnya dari Ibnu H{umaid
حدثنا ابن حميد قال: حدثنا يحيى بن واضح قال: حدثنا عبيد الله قال: سئل عكرمة عن قول الله:"إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق"، فكل ساعة يتوضأ؟ فقال: قال ابن عباس: لا وضوء إلا من حدث.
“Ikram ditanya tentang firman Allah “إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق” apakah setiap waktu harus berwud}u’? (Ikrimah menjawab) Ibnu ‘Abba>s berkata ‘tidak ada kewajiban wud}u’, kecuali bagi orang yang h}adath.”
b-      Hadi>th yang datangnya dari H{ami>d bin Masa’adah
حدثنا حميد بن مسعدة قال، حدثنا سفيان بن حبيب، عن مسعود بن علي، عن عكرمة قال: كان سعد بن أبي وقاص يقول: صل بطهورك ما لم تحدث.
“Dari Ikrimah, ia berkata: Sa’d bin Abi> Waqqa>s} berkata ‘s}alatlah dengan wud}u’mu selagi kamu belum h}adath.’”
c-      Hadi>th yang datangnya dari Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال، حدثنا ابن أبي عدي، عن سعيد، عن قتادة، عن طريف بن زياد= أو: زياد بن طريف= عن واقع بن سحبان: أنه شهد أبا موسى صلى بأصحابه الظهر، ثم جلسوا حلقا على شاطئ دجلة، فنودي بالعصر، فقام رجال يتوضأون، فقال أبو موسى: لا وضوء إلا على من أحدث.
“Dari Wa>qi’ bin Suh}ba>n: Sesungguhnya ia melihat Abu Mu>sa> dan para sahabatnya mengerjakan s}alat dhuhur, kemudia mereka membuat h}alaqah ditepi sungai Tigris (di Iraq). Adhan ‘As}ar pun terkumandangkan, para sahabatnya berdiri dan bergegas untuk berwud}u’.Abu Mu>sa> berkata ‘Tidak wajib wud}u’ kecuali bagi orang yang h}adath.’”
Sebagian ahli ta’wi>l lain menafsirkan ayat di atas akan kewajiban berwud}u’ dalam setiap melaksanakan ibadah s}alat (Ia harus memperbarui wud}u’nya setiap kali hendak mengerjakan s}alat). Adapaun dalil yang digunakan sebagaimana berikut:
a-      Riwayat yang datangnya dari Muhammad bin Mushna>
حدثنا محمد بن المثنى قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة قال، سمعت مسعود بن علي الشيباني قال، سمعت عكرمة يقول: كان علي رضي الله عنه يتوضأ عند كل صلاة، ويقرأ هذه الآية:"يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم"
“Ikrimah berkata: ‘Sesungguhnya Ali berwud{u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat dan membaca ayat ini يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم.
b-      Riwayat yang datangnya dari Zakariya> bin Yah}ya>
حدثنا زكريا بن يحيى بن أبي زائدة قال، حدثنا أزهر، عن ابن عون، عن ابن سيرين: أن الخلفاء كانوا يتوضأون لكل صلاة.
“Dari Ibnu Si>ri>n: Sesungguhnya para Khalifah mengerjakan wud}u’ pada setiap kali hendak melaksanakan s}alat.”
c-      Riwayat yang datangnya dari Ibnu Muthna>
حدثنا ابن المثنى قال، حدثني وهب بن جرير قال، أخبرنا شعبة، عن عبد الملك بن ميسرة، عن النزال، قال، رأيت عليا صلى الظهر ثم قعد للناس في الرحبة، ثم أتي بماء فغسل وجهه ويديه، ثم مسح برأسه ورجليه، وقال: هذا وضوء من لم يحدث.
“Dari Nazza>l, ia berkata: Aku melihat Ali s}alat dhuhur, kemudia ia duduk bersama jama’ah di tanah lapang, kemudia ia mengambil air lantas membasuh wajah dan kedua tangannya, mengusap kepala dan kedua kakinya. Ali pun berkata ‘Ini wud}u’nya orang yang tidak h}adath.’”
Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa perintah wud}u’ pada awal mulanya diwajibkan pada setiap kali mengerjakan s}alat, namun kewajiban itu dihapus untuk meringankan umat Islam. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah:
a-      Riwayat yang datangnya dari Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال، حدثنا يحيى وعبد الرحمن قالا حدثنا سفيان، عن علقمة بن مرثد، عن سليمان بن بريدة، عن أبيه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ لكل صلاة. فلما كان عام الفتح، صلى الصلوات بوضوء واحد، ومسح على خفيه، فقال عمر: إنك فعلت شيئا لم تكن تفعله! قال،"عمدا فعلته.
“Dari Bari>dah, ia berkata: pada awalnya Nabi Muhammad melakukan wud{u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat. Ketika ‘A<m al-Fath{ Nabi Muhammad mengerjakan beberapa s}alat dengan menggunakan satu kali wud}u’ dan mengusap selop. ‘Umar berkata pada Rasullah: sesungguhnya kamu melakukan pekerjaan yang tidak pernah kamu kerjakan sebelumnya. Rasul menjawab: Aku sengaja mengerjakan ini.”
b-      Riwayat yang datangnya dari Abdullah bin Abi> Ziya>d
حدثني عبد الله بن أبي زياد القطواني، قال، حدثنا يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا أبي، عن ابن إسحاق قال، حدثني محمد بن يحيى بن حبان الأنصاري =ثم المازني، مازن بني النجار= فقال لعبيد الله بن عبد الله بن عمر: أخبرني عن وضوء عبد الله لكل صلاة، طاهرا كان أو غير طاهر، عمن هو؟ قال: حدثتنيه أسماء ابنة زيد بن الخطاب: أن عبد الله بن حنظلة بن أبي عامر، الغسيل حدثها: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالوضوء عند كل صلاة، فشق ذلك عليه، فأمر بالسواك، ورفع عنه الوضوء إلا من حدث.
Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad diperintahkan untuk berwud}u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat, lantas Nabi merasa kesulitan, kemudian Allah memerintahkannya untuk bersiwak dan mencabut perintah berwud}u’ kecuali pada saat h}adath.”
Sebagaimana lumrahnya dalam kitab tafsir karya al-T{abari>, setelah ia mencantumkan riwayat-riwayat yang bersangkutan dengan masalah, ia tidak hanya diam dan membiarkan riwayat itu tanpa ditarji>h}. Pada pembahasan kali ini, al-T{abari> lebih condong pada riwayat yang menyatakan wud}u’ diwajibkan bagi semua umat Islam yang hendak mengerjakan s}alat, namun ia dalam keadaan h}adath. Dan jika tidak dalam keadaan h}adath, maka wud}u’ tidak dijawibkan baginya, melainkan hukumnya hanya sunnah. Lantas bagiamana tanggapan al-T{abari> prihal riwayat yang menyatakan wajib berwud{u’ setiap kali mengerjakan s}alat sebagaiman riwayat yang datangnya dari Bari>dah (pada awalnya Nabi Muhammad melakukan wud{u’ setiap kali hendak mengerjakan s}alat. Ketika ‘A<m al-Fath{ Nabi Muhammad mengerjakan beberapa s}alat dengan menggunakan satu kali wud}u’)? al-T{abari> menjawab “Nabi Muhammad melakukan semua itu hanya untuk mengajarkan pada semua umatnya agar memperbarui wud}u’ dalam setiap kali mengerjakan s}alat bukan sebuah perintah kewajiban. Dan jika ada ada yang beranggapan hadi>th yang menjelaskan akan kewajiban berwud}u’ pada setiap kali mengerjakan s}alat, maka anggapan tersebut tidak benar.”[14]
Setelah panjang lebar membahas masalah kewajiban berwud}u’, beralihlah pembahasan kita pada organ yang harus dibasuh atau di usap saat berwud}u’. Terdapat beberapa organ tubuh yang harus dikenahi air kala seseorang berwud}u’ seperti yang telah diancurkan oleh al-Qur’a>n dalam surat al-Ma>idah di atas. Adapun organ tersebut sebagaimana berikut:
a-      Wajah, sebagaimana firman Allah فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
Dalam Tafsi>r al-T{abari> menjelaskan perbedaan batasan wajah yang harus dibasuh saat berwud{u dan dalam tafsir ini juga mencantumkan dalil akan argument masing-masing pendapat. Pendapat Pertama menjelaskan batasan wajah yang harus dikenai air ialah setiap yang tamapak jelas dari kulit wajah, di mulai dari permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga ujung dagu (ukuran panjang) dan di antara telinga kakan hingga telinga kiri (ukuran lebar). Sedangkan telinga, dalam mulut, hidung, dan mata tidak masuk katagori wajah dan tidak dijawibkan untuk membasuhnya. Mereka juga berpendapat, setiap kulit yang tertutupi oleh rambut, seperti dagu yang tertutupi jenggot tidak wajib untuk membasuhnya, akan tetapi cukup dari air yang mengalir saat membasuh wajah, sebab wajah menurut mereka hanyalah setiap kulit yang bisa dilihat oleh mata yang memandang. Adapun dalil yang digunakan oleh pendapat pertama ini ialah:
1)      Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب، قال، حدثنا ابن إدريس، عن سعيد الزبيدي، عن إبراهيم، قال: يجزيك ما سال عليها من أن تخللها.
“Dari Ibra>hi>m, ia berkata: Cukup bagimu air yang mengalir padanya (dagu yang tertutupi jenggot) dari pada menyelah-nyelahinya.”
2)      Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا عمر بن عبيد، عن مغيرة، عن إبراهيم، قال، يجزئ اللحية ما سال عليها من الماء.
 “Dari Ibra>hi>m, ia berkata: Dicukupkan bagi jenggot sesuatu yang mengalir padanya dari air.”
Kedua menjelaskan batasan wajah yang harus dikenai air ialah di mulai dari permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga ujung dagu (ukuran panjang) dan di antara telinga kanan hingga telinga kiri (ukuran lebar) baik bagian itu bisa dilihat oleh mata maupun tidak seperti mulut, hidung, dan permukaan telinga. Menurut mereka semua itu termasuk bagian wajah yang harus dibasuh. Dan jika ada bagian yang tidak terkena air atau tidak dibasuh, maka tidak sah s}alatnya dengan wud}u’ yang telah ia lakukan. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah:
1)      Riwayat dari H{ami>d
حدثنا حميد بن مسعدة قال، حدثنا سفيان بن حبيب، عن ابن جريج قال، أخبرني نافع مولى ابن عمر: أن ابن عمر كان يغلغل يديه في لحيته حتى يكثر منها القطران.
“Dari Ibnu Jari>j, ia berkata: Na>fi’ (budak yang dimerdekakan) Ibnu ‘Umar, bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Umar memasuk-masukkan kedua tangannya ke dalam jenggot, sehingga banyak tetesan air dari jenggot tersebut.”
2)      Riwayat dari H}ami>d
حدثنا حميد قال، حدثنا سفيان، عن شعبة، عن الحكم، عن مجاهد: أنه كان يخلل لحيته إذا توضأ.
“Dari Muja>hid, sesungguhnya ia menyela-nyelai jenggotnya dikala berwud}u’.”
Adapun dalil yang menunjukkan bagian dalam baik itu mulut, hidung dan lain-lainnya termasuk bagian yang harus dibasuh ialah:
1)      Riwayat dari Ibnu Basha>r
حدثنا ابن بشار قال، حدثنا عبد الرحمن قال، حدثنا سفيان، عن ابن أبي نجيح قال، سمعت مجاهدا يقول: الاستنشاق شطر الوضوء.
“Muja>hid berkata: Memasukkan air ke dalam hidung merupakan sharatnya wud}u’.”
2)      Riwayat dari Ibnu H{ami>d
حدثنا ابن حميد قال، حدثنا الصباح، عن أبي سنان قال: قدمت الكوفة فأتيت حمادا فسألته عن ذلك= يعني: عمن ترك المضمضة والاستنشاق وصلى= فقال: أرى عليه إعادة الصلاة.
“Dari Abu> Sina>n, ia berkata: Aku ke Ku>fah, kemudian aku mendatangi Hamma>d, lantas aku bertanya hal itu (orang yang meninggalkan kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian ia mengerjakan s}alat), H{amma>d menjawab: Anggapan saya, wajib baginya untuk mengulangi s}alat.”
Dari dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas, al-T{abari> lebih condong pada pendapat yang pertama. Al-T{abari> berkata “Wajah yang harus dibasuh saat berwud}u’ bagi orang yang hendak mengerjakan s}alat sebagaimana yang diprintahkan Allah adalah setiap sesuatu yang terlihat oleh mata yang memandang yang di mulai dari permulaan tumbuhnya ramput kepala hingga ujung dagu (ukuran panjang) dan di antara telinga kanan hingga telinga kiri (ukuran lebar). Bukan termasuk bagian yang harus di basuh bagian dalam dari mulut, hidung, mata, dan telinga. Dan tidak wajib di basuh kulit yang tertutupi oleh jenggot, dan kumis, sebab kulit tersebut tidak bisa dilihat mata yang memandang.”
Adapun alasan al-T{abari> mengunggulkan pendapat pertama kendatipun kulit yang tertutupi jenggot dan kumis termasuk bagian wajah dan harus dibasuh sebelum tumbuhnya bulu dibagian tersebut, sebab ulama sepakat bahwa kedua mata termasuk bagian wajah, namun ulama berpendapat yang harus dibasuh hanyalah kelopak mata, tanpa membasuh bagian bawah kelopak mata dan itu sudah dianggap cukup.
Ulama telah besepakat bahwa mengalirkan air ke dalam mata bukan termasuk kewajiban wud}u’ dan hal itu merupakan ajaran dari Nabi Muhammad. Adapun Alasan mata tidak harus dibasuh, sebab sangat sukar dan butuh memaksakan diri agar air bisa masuk ke dalam mata, maka bisa diambil kesimpulan setiap sesuatu yang tidak bisa terbasuh air kecuali dengan memaksakan diri hukumnya tidak wajib tersentuh air. Dari sini, hukum membasuh dagu yang tertutupi jenggot atau kulit yang tertutupi kumis tidak wajib di Qiya>skan dengan ketidak wajiban membasuh mata. Sedangkan kesamaan ‘Illatnya ialah sama-sama sulit terjangkau air dan butuh memaksakan diri.[15]
b-      Kedua tangan, sebagaimana firman Allah وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ
Sebagaimana yang telah disepakati ulama, tangan termasuk anggota tubuh yang harus dibasuh saat berwud{u’, namun ulama masih berselisih pendapat akan arti yang terkandung dalam kalimat الْمَرافِقِ (siku). Apakah siku termasuk anggota tangan yang harus dibasuh, ataukah tidak?
Ma>lik bin Anas berkata: (saat ia ditanya tentang firman Allah فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ. Apakah bagian belakang siku harus dibasuh? Ma>lik menjawab) yang telah diperintahkan Allah untuk dibasuh hingga siku.” Dari ungkapan Ma>lik di atas mengindikasikan bahwa siku termasuk bagian yang wajib dibasuh, maka batas akhir adalah belakang siku. Demikian pula dengan pendapat al-Shafi’i>, ia beranggapan bahwa siku tegolong bagian yang harus dibasuh saat berwud}u’.[16]
Ulama lain berpendapat, bahwa siku tidak harus dibasuh, sebab dalam firman Allah menjelaskan perintah membasuh tangan hingga siku, dari sini seakan-akan Allah membatasi bagian akhir tangan yang harus dibasuh adalah siku, sedangkan batas akhir tidak masuk pada bagian yang diwajibkan (gha>yah tidak masuk dalam katagori h}ad). Tidak jauh beda halnya dengan firman Allah yang menjelaskan puasa, firman Allah (S.Q. al-Baqarah. 187)
ثم أتموا الصيام إلى الليل
“Kemudian sempurnakanlah puasamu hingga tiba malam hari.”[17]
Malam hari yang tersebut dalam ayat di atas tidak masuk katagori kewajiban untuk meneruskan puasanya bagi orang yang puas, sebab batas akhir orang puasa adalah tibanya malam. Jika sudah sampai pada batas akhir (malam), maka kewajiban sudah gugur. Demikan pula kontek yang terjadi pada kewajiban membasuh tangan saat berwud}u’, siku tidak harus dibasuh sebab siku batas akhir dari kewajiban membasuh tangan.
 Al-T{abari> berpendapat bahwa membasuh kedua tangan hingga kedua siku menjadi sebuah kewajiban bagai orang yang berwud}u’. Jika meninggalkan sebagian saja maka wud{u’nya tidak sah dan secara otomatis s}alatnya tidak sah pula. Apapun membasuh siku serta bagian belakang siku hukumnya sunnah. Oleh karena itu, tetap sah s}alat seseorang yang ketika berwud}u’ tidak membasuh kedua sikunya. Adapun alasan al-T{abari> berpendapat demikian sebagaimana yang telah dipaparkan oleh pendapat kedua.[18]
c-      Kepala, sebagaimana firman Allah وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ
Dalam kitab tafsir karya al-T{abari> mencatat, perbedaan ulama prihal metode mengusap kepala yang dimaksud ayat di atas. Sebagian ulama berpandangan cukup dengan mengusap sebagian rambut yang ada pada kepala. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah:
1)      Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا زيد بن الحباب، عن سفيان، قال: إن مسح رأسه بأصبع واحدة أجزأه.

 “Dari Safya>n, ia berkata: Sesungguhnya mengusap kepala dengan (menggunakan) satu jari sudah mencukupi.”
2)      Riwayat dari Tami>m bin al-Muntas}ir
حدثنا تميم بن المنتصر قال، حدثنا إسحاق قال، أخبرنا شريك، عن يحيى بن سعيد الأنصاري، عن نافع، عن ابن عمر: أنه كان إذا توضأ مسح مقدم رأسه.
“Dari Na>fi’, dari Ibnu ‘Umar: Sesungguhnya Ibnu ‘Umar jika berwud}u’ ia mengusap ujung kepalanya.”
Ulama lain berpendapat harus mengusap keseluruah dari kepala dan jika orang yang berwud}u’ tidak mengusap keseluruhan kepala dengan air, maka dengan wud}u’ tersebut s}alatnya tidak sah. Adapun dalil yang digunakan ialah riwayat dari Yu>nus bin ‘Abd al-A’la>
حدثني يونس بن عبد الأعلى قال، حدثنا أشهب قال، قال مالك: من مسح بعض رأسه ولم يعم أعاد الصلاة بمنزلة من غسل بعض وجهه أو بعض ذراعه. قال، وسئل مالك عن مسح الرأس، قال: يبدأ من مقدم وجهه، فيدير يديه إلى قفاه، ثم يردهما إلى حيث بدأ منه.
“Ashhab berkata, Ma>lik berkata: Barang siapa yang mengusap sebagian dari kepalanya dan tidak meratakan, maka s}alatnya harus diulangi. (Hah demikian itu) sama saja orang yang membasuh sebagian wajah atau sebagian tangannya. Ashhab berkata, Ma>lik ditanya cara mengusap kepala. Ma>lik pun menjawab: di mulai dari ujung wajah, kemudian diputarkan hingga akhir bagian kepala, kemudian dikembalikan pada tempat ia memulainya.”
Sebagian ulama berpendapat, tidak sah mengusap kepala jika kurang dari tiga jari yang mengusapnya.
Al-T{abari> berpendapat, Allah memerintahkan bagi setiap orang yang hendak mengerjakan s}alat untuk membasuh kepala. Dalam perntah ini, Allah tidak memberikan batas bagian yang harus diusapa. Jika demikan, maka setiap sesuatu yang diusap oleh orang yang wud}u’ walaupun sedikit masuk dalam rana mengusap dan sudah dianggap mengerjakan kewajiban dalam berwud}u’.
d-      Kaki, sebagaimana firman Allah وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Para ahli Qira>’ah berbeda pendapat mengenai bacaan kalimat وَأَرْجُلَكُمْ. Ahli H}ija>z dan Iraq membacanya dengan Nas}ab, maka maksud firman Allah di atas ialah, jika kamu hendak mengerjakan s}alat basuhlah wajah, kedua tangan hingga siku, kedua kaki hingga mata kaki, dan usaplah kepalamu. Jika kalimat وَأَرْجُلَكُمْ dibaca Nas}ab, maka posisi kalimat tersebut seperti kalimat yang diakhirkan, namun memiliki arti yang didahulukan. Adapan dalil yang menunjukkan kaki harus dibasuh sebagaimana berikut:
1)      Riwayat dari Ya’qu>b
حدثني يعقوب قال، حدثنا ابن علية، عن خالد، عن أبي قلابة: أن عمر بن الخطاب رأى رجلا قد ترك على ظهر قدمه مثل الظفر، فأمره أن يعيد وضوءه وصلاته.
“Dari Abu> Qila>bah: Sesungguhnya ‘Umar bin Khat}a>b melihat seseorang yang tidak membasuh bagian dahir dari kakinya seperti kuku, lantas ‘Umar memerintahnya untuk mengulangi wud}u’ dan s}alatnya.”
2)      Riwayat dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب وابن وكيع قالا حدثنا ابن إدريس قال: سمعت أبي، عن حماد، عن إبراهيم في قوله:"فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين" قال: عاد الأمر إلى الغسل.
“Dari Ibra>hi>m: (kalimat وأرجلكم) perintah ini kemabali pada membasuh.”
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا ابن المبارك، عن قيس، عن عاصم، عن زر، عن عبد الله: أنه كان يقرأ:(وأرجلكم) بالنصب.
“Dari Zar, dari Abdullah: bahwa sesungguhnya ia membaca kalimat وأرجلكم dengan bacaan Nas}ab.”
Sebagian ahli Qira>’ah dari H{ija>z dan Iraq membacanya dengan Jair, maka arti yang terkandung dalam firman Allah di atas ialah: Allah memerintah orang yang berwud}u’ untuk mengusap kedua kaki bukan membasuhnya. Dalil yang mereka gunakan sebagaiman berikut:
1)      Dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا محمد بن قيس الخراساني، عن ابن جريج، عن عمرو بن دينار، عن عكرمة، عن ابن عباس قال: الوضوء غسلتان ومسحتان.
“Ibnu Abba>s berkata: dalam wud}u’ (terdapat) dua yang harus dibasuh dan dua yang harus diusap.”
2)      Dari ‘Ali bin Sahl
حدثنا علي بن سهل قال، حدثنا مؤمل قال، حدثنا حماد قال، حدثنا عاصم الأحول، عن أنس قال: نزل القرآن بالمسح، والسنة الغسل.
“Anas berkata: al-Qur’a>n memerintahkan untuk mengusap dan hadi>th memerintahkan untuk membasuh.”
Pendapat al-T{abari>: pada kali ini al-T{abari> tidak mengunggulkan satu dari kedua pendapat di atas, melainkan ia membenarkan kedua.
Setelah membahas anjuran berwud}u’ sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah surat al-Ma>idah ayat ke 6, beralihlah pembahasan kita pada permasalahan musa>fir yang Jana>bah yang hendak mengerjakan s}alat, orang sakit, setelah Qadi al-H}ajah, dan orang yang usai mengerjakan pekerjaan intim yang tidak mendapatkan air.
Ta’wi>l firman Allah وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا.
Al-T{abari> menafsirkan ayat وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً dengan jika kalian Jana>bah sebelum mengerjakan s}alat, maka dirikanlah s}alat. فَاطَّهَّرُوا namun, bersesucila dengan cara mandi sebelum mengerjakan s}alat tersebut.
Ta’wi>l firman Allah وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى dan jika kalian tertimpa sakit seperti luka atau sakit cacar sedangkan kalian dalam posisi Jana>bah.
Ketiga أَوْ عَلى سَفَرٍ atau kalian junub saat di tangah-tengah perjalanan
Ta’wi>l firman Allah أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ atau jika kalian hendak mengerjakan s}alat setelah Qadi al-H}a>jah sedangkan posisi kalian dalam perjalanan.
Ta’wi>l firman Allah أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ atau setelah melakukan pekerjaan intim dan kalian di perjalanan.
Dalam surat al-Nisa>’, al-T{abari> mencantumkan perbedaan pendapat perilah maskud dari kalimat لامَسْتُمُ, di situ tertera perbedaan pendapat antara ulama. Di antara mereka ada yang menggartikan dengan Jima>’. Adapun dalil yang mereka gunakan sebagaimana berikut:[19]
a-      Riwayat dari Muhammad bin al-Muthna>
حدثنا محمد بن المثنى قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة، عن أبي إسحاق قال: سمعت سعيد بن جبير يحدث عن ابن عباس: أنه قال:"أو لامستم النساء"، قال: هو الجماع.
“Dari Ibnu ‘Abba>s, ia berkata: maksud أو لامستم النساء adalah jima>’.”
b-      Riwayat dari  Abu Kuraib
حدثنا أبو كريب ويعقوب بن إبراهيم قالا قال ابن عباس: اللمس، الجماع.
“Ibnu ‘Abba>s berkata: maksud kalimat al-Lams adalah Jima>’.”
Ulama lain beranggapan arti dari kalat al-Lams adalah segala jenis bersentuhan baik dengan tangan maupun selainnya dari seluruh anggota badan. Dan jika orang telah menyentuh wanita, maka ia harus berwud}u’. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah:
a-      Riwayat dari Ya’qu>b bin Ibra>hi>m
حدثني يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا ابن علية، عن شعبة، عن المغيرة، عن إبراهيم قال، قال ابن مسعود: اللمس، ما دون الجماع.
“Ibnu Mas’u>d berkata: al-Lams adalah selain Jima>’.”
b-      Riwayat dari Ibnu Waki>’
حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا أبي، عن سفيان، عن الأعمش، عن إبراهيم، عن أبي عبيدة، عن عبد الله قال: القبلة، من اللمس.
“Dari Abddullah, ia berkata: Mengecup bibir masuk katagori al-Lams.”
Setelah membandingkan kedua pendapat dan melihat dalil yang digunakan, al-T{abari> lebih memilih pendapat yang menyatakan arti kalimat al-Lams yang tertera dalam ayat di atas dan yang bisa bisa mewajibkan wud}u’ bagi orang yang hendak mengerjakan s}alat ialah pendapat pertama yakni Jima>’. Al-T{abari> juga menuangkan beberapa hadi>th yang mendukung pendapatnya, di antara hadi>th yang dipakai ialah:
a-      Riwayat yang datangnya dari Isma>i>l bin Mu>sa>
حدثني بذلك إسماعيل بن موسى السدي قال، أخبرنا أبو بكر بن عياش، عن الأعمش، عن حبيب بن أبي ثابت، عن عروة، عن عائشة قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل، ثم يصلي ولا يتوضأ.
“Dari ‘A<ishah, ia berkata: suatu ketika Nabi Muhammad berwud}u’, kemudia mengecup, kemudian s}alat tanpa berwud}u’ (lagi).”
b-      Riwayat yang datangnya dari Abu> Kuraib
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا وكيع، عن الأعمش، عن حبيب بن أبي ثابت، عن عروة، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه، ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ.
“Dari ‘A<ishah, ia berkata: sesungguhnya Nabi Muhammad mengngecup sebagian dari istrinya, kemudian baliau mengerjakan s}alat tanpa berwud}u lagi.”
 Ta’wi>l firman Allah فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mendirikan s}alat sedangkan kalian dalam keadaan sakit yang bermukim, perjalanan dalam keadaan sehat, setelah Qa>di al-H}a>jah, atau setelah mengerjakan pekerjaan intim dalam perjalanan dan pada saat itu kalian tidak menemukan air, maka bergegaslah mencari debu yang suci, bersih, tidak kotor, dan tidak najis. Hal demikian itu diperbolehkan bagi kalian.
Ta’wu#i>l firman Allah فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
          Ambillah dengan tangan kalian debu yang kalian tuju untuk digunakan tayammum, kemudia usapkanlah debu yang ada ditangan pada wajah dan kedua tangan kalian. Adapaun Teori tayammum versi al-T{abari> ialah orang yang bertayammum menempelkan tangannya pada permukaan bumi atau sesamanya, kemudian mengusapkan debu yang menempel pada tangan kewajah dan kedua tangan. Jika debu yang menempel terlalu banyak, maka tingkah yang harus dilakukan oleh orang tayammum meniup debu yang ada ditangan atau membersihkannya. Hal seperti itu hukumnya boleh. Jika setelah memukulkan tangan pada bumi, namun tidak ada debu yang menempel, kemudian ia mengusapkan pada wajah dan kedua tangan, maka hukumnya sah, berdasarkan Ijma>’ (jika ada orang yang bertayammum sudah memukulkan tangannya pada permukaan bumi yang dipenuhi oleh bebatuan dan tidak ada sedikitpun dari debu yang menempel hukum tayammumnya sah).
Terdapat perbedaan antara para ulama mengenai batasan tangan yang harus diusap dengan debu saat bertayammum. Di antara mereka ada yang berpendapat hingga siku, dengan menggunakan dalil riwayat dari Ayyu>b
حدثنا أبو كريب وأبو السائب قالا حدثنا ابن إدريس، عن عبيد الله، عن نافع، عن ابن عمر قال: كان يقول في المسح في التيمم: إلى المرفقين.
“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: bahwa batas mengusap (tangan) dalam tayammum sampai siku.”
Sebgain ulama lain berpendapat batas akhir hingga pergelangan tangan, adapun dalilnya ialah riwayat dari Abu Ma>lik
حدثنا هناد قال، حدثنا أبو الأحوص، عن حصين، عن أبي مالك قال: وضع عمار بن ياسر كفيه في التراب، ثم رفعهما فنفخهما، فمسح وجهه وكفيه، ثم قال: هكذا التيمم
“Dari ‘Abu Ma>lik, ia berkata: Umma>r bin Ya>sir memukulkan kedua telapak tangannya pada debu, kemudian mengangkatnya dan meniupnya, kemudian mengusapkan pada wajah dan dan keuda telapak tangan. Lantas ia berkata demikianlah (cara) tayammum.”
Ulama lain berpendapat batasnya hingga ketiak dengan menggunakan dasar riwayat dari Ahmad bin Abdurrahman
حدثني أحمد بن عبد الرحمن البرقي قال، حدثني عمرو بن أبي سلمة التنيسي، عن الأوزاعي، عن الزهري قال: التيمم إلى الآباط.

“Dari al-Zuhri, ia berkata: tayammum hingga ketiak.”
Dari perbedaan di atas al-T{abari> mengambil jalan tengah, ia berpendapat batasan yang tidak boleh ditinggalkan bagi orang yang bertayammum hingga telapak tangan. Dan jika orang yang bertayammum mengusap tangan tidak sampai pada batasan tersebut, maka tayammumnya tidak sah. Sekarang bagaimana dengan orang yang mengusap tangan hingga melebih telapak tangan? Al-T{abari> menjelaskan dalam karya tafsirnya yang bernama Tafsi>r al-T{abari> hukum bagi orang mengusap melebih telapak tangan tidak masalah, namun yang menjadi permasalahan apabila tidak sampai pada kedua telapak tangan.
Ta’wi>l firman Allah ما يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
            Allah tidak menginginkan terhadap kalian semua dalam segala sesuatu yang telah diwajibkan baik itu berupa wud}u’ ketika hendak mengerjakan s}alat, mandi saat Jana>bah, dan tayammum dengan menggunakan debu yang suci ketika tiada air, kecuali hanya ingin mempermudah kalian dalam masalah agama.
Ta’wi>l firman Allah وَلكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
            Akan tetapi Allah menghendaki kewajiban seperti wud}u’ dari hadath, mandi bagi orang yang junub, tayammum bagi yang tidak menemukan air, kecuali dengan tujuan agar bisa membersihkan dan menyucikan raga kalian dari dosa-dosa. Sebagaimana yang telah tertera dalam hadi>th dari Abu> Kuraib, Muhammad, dan Yahya> bin Da>wud:
حدثنا أبو كريب، ومحمد بن المثني ويحيى بن داود الواسطي، قالوا، حدثنا إبراهيم بن يزيد مردانبه القرشي قال، أخبرنا رقبة بن مصقلة العبدي، عن شمر بن عطية، عن شهر بن حوشب، عن أبي إمامة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:"من توضأ فأحسن الوضوء ثم قام إلى الصلاة، خرجت ذنوبه من سمعه وبصره ويديه ورجليه".
“Dari Abu> Uma>mah, ia berkata: Rasullah berkata, barang siapa berwud}u’ dengan baik kemudian ia mengerjakan s}alat, maka keluarlah dosa-dosa dari telinga, mata, kedua tangan, dan kedua kakinya.”
Ta’wi>l firman Allah وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
Dan Allah menghendaki untuk menyempurnakan nikmat yang telah diberikan pada kalian akan kelegalan bertayammum, menjadikan suci debu bagi kalian, dan lain-lain, semua itu merupakan dispensasi bagi kalian dari Allah.
Ta’wi>l firman Allah لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونًَ
Semua itu, Allah berikan pada kalian agar supaya kalian bershukur pada-Nya atas nikmat yang telah Allah berikan dengan cara mentaati perintahnya dan meninggalkan larangan-Nya.
D-   Intisari Penafsiran al-T{abari> Dalam Surat al-Ma>idah Ayat 6
Dari penafsiran al-T{abari> di atas bisa disimpulakan bahwa organ tubuh yang harus dibasuh atau diusap saat berwud}u’ adalah wajah, tangan, kepala, dan kaki. Para ulama tidak memperselisihkan soal organ tubuh yang harus dibasuh atau diusap, namun yang menjadi perselisian antara mereka adalah batasan yang harus dibasuh atau diusap, organ mana yang harus dibasuh dan organ mana yang harus diusap?
Pada pembahasan kali ini, konsentrasi kita hanya pada pendapat Ibnu Jari>r al-T{abari>, agar kita bisa mengetahui pendapatnya dan tidak hanya buta pada pendapat Sha>fi’i>.
Wud}u’ diwajibkan bagi semua orang Islam yang hendak mengerjakan s}alat, namun kewajiban itu hanya bagi orang yang sedang hadath. Adapun metode berwud}u’ yang harus dikerjakan pertama kali ialah mengusap wajah yang dimulai dari tumbuhnya rambut hingga ujung dagu dan dari telinga kanan hingga telinga kiri. Sedangkan mulut, hidung bagian dalam, dagu yang warna kulitnya tertutupi oleh jenggot, dan kumis tidak termasuk dari wajah yang wajib dibasuh, melainkan cukup dengan adanya air yang mengalir dari basuhan wajah, hal itu disamakan dengan mata yang kewajibannya hanya membasuh kelopak mata bukan mata bagian dalam.
Kedua kewajiban membasuh kedua tangan, batas akhir dari tangan yang dibasuh sampai siku dan tidak harus melebih siku. Sebab huruf “Ila” dalam al-Qur’a>n menunjukkan batas akhir (Intiha>’ al-Gha>yah), maka bisa difahami membasuhnya hanya sampai siku. Batasan dari al-T{abari> ini terlihat berbeda dengan pendapat Sha>fi’i> yang mengatakan harus melebihi siku, sebab siku termasuk organ yang diperintahkan untuk dibasuh.
Ketiga mengusap kepala, tidak harus membasuh keseluruhan kepala bagi orang yang wud}u’, namun cukup baginya membasuh sedikit dari bagian kepala. Ini adalah pendapat yang lebih diunggulkan oleh al-T{abari>. Pendapat ini sama halnya dengan pendpat Sha>fi’i>.
Keempat membasuh atau mengusap kaki hingga mata kaki. Al-T{abari> tidak condong pada satu pendapatpun dalam masalah bacaan Nas}ab atau Jair. Ia berusaha menyatukan dan menganggap kedua pendapat itu benar. Oleh karena itu, seseorang yang berwud}u’ boleh membasuh dan boleh juga mengusap kaki.
 Setelah kita mengetahui organ tubuh yang harus dikenai air, beralih pembahasan tentang posisi orang yang tidak menemukan air atau orang yang tidak bisa menyentuh air sebab sakit yang menimpanya. Dalam masalah ini, terdapat sedikit perbedaan antara al-T{abari> dengan madhhab asalahnya yaitu Sha>fi’i> dalam salah batasan yang harus diusap debu saat bertayammum. Adapun praktek tayummum versi al-T{abari> ialah orang yang bertayammum menempelkan tangannya pada permukaan bumi atau sesamanya, kemudian mengusapkan debu yang menempel pada tangan kewajah dan kedua tangan. Jika debu yang menempel terlalu banyak, maka tingkah yang harus dilakukan oleh orang tayammum meniup debu yang ada ditangan atau membersihkannya. Hal seperti itu hukumnya boleh. Jika setelah memukulkan tangan pada bumi, namun tidak ada debu yang menempel, kemudian ia mengusapkan pada wajah dan kedua tangan, maka hukumnya sah, berdasarkan Ijma>’ (jika ada orang yang bertayammum sudah memukulkan tangannya pada permukaan bumi yang dipenuhi oleh bebatuan dan tidak ada sedikitpun dari debu yang menempel hukum tayammumnya sah).
Al-T{abari> mengambil jalan tengah dalam masalah batasan tangan yang harus diusap dengan debu, ia berpendapat batasan yang tidak boleh ditinggalkan bagi orang yang bertayammum hingga telapak tangan. Dan jika orang yang bertayammum mengusap tangan tidak sampai pada batasan tersebut, maka tayammumnya tidak sah. Sekarang bagaimana dengan orang yang mengusap tangan hingga melebih telapak tangan? Al-T{abari> menjelaskan dalam karya tafsirnya yang bernama Tafsi>r al-T{abari> hukum bagi orang mengusap melebih telapak tangan tidak masalah, namun yang menjadi permasalahan apabila tidak sampai pada kedua telapak tangan.
E-    Keunggulan dan Kekurangan Tafsi>r al-T{abari>
Bila mengkaji beragam literature tafsir mulai dari era klasik hingga kontemporer, maka kita bisa membandingkan antara satu karya tafsir dangan karya tafsir lainnya. Dan dari situ pula kita bisa menemukan keunggulan dan kekurangan tafsir yang telah kita baca. Seperti yang telah penulis cantumkan di atas, kitab tafsir karya al-T{abari> ini merupakan kitab tafsir tertua yang sampai pada tangan kita. Memang, tidak bisa dipungkiri sebelum al-T{abari> menulis kitab tafsir sudah ada ulama yang sukses membukukannya, namun sayangnya karya tersebut tidak sampai pada tangan kita.
Mungkin tidak salah bila sebagian ulama berpendapat tafsir karya al-T{abari> merupakan karya tafsir paling lengkap dan mecakup segala ilmu, namun menurut pandangan penulis ungkapan seperti ini layak dilontarkan pada masa silam sewaktu karya-karya tafsir belum membumi.
Setelah mempelajari Tafsir al-T}abari> ini, pemakalah menemukan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab tafsir lainnya yaitu dalam kitab ini mencantumkan banyak riwayat yang bersangkutan dengan ayat yang dibahas, bahkan mayoritas dalam satu permasalahan terdapat lebih dari 15 riwayat. Setelah menampilkan riwayat yang ada al-T{abari> berusaha untuk mentarjih pendapat yang dianggapnya lebih unggul dan jika perbedaan tersebut bisa dikumpulkan, maka ia tidak akan menggunggulkan satu pendapat pun. Selain itu, yang membuat unik dari tafsir ini al-T{abari> berani memaparkan pendapat yang berbeda dengan Sha>fi’i> yang mana Sha>fi’i> sendiri imam madhhab yang ia anut pada awalnya.
Nemurut pandangan pemakalah, kekurang dari kitab tafsir ini tidak menjelaskan (men-Sharah}i) hadi>th yang dicantumkan sehingga karya tafsir ini hanya bisa dikonsumsi oleh kalangan tertentu dan hanya bagi orang-orang yang mahir dalam bahasa Arab. Dan mungkin bisa di masukkan dalam katagori kekurang, kaya tafsir ini telalu banyak mencantumkan hadi>th yang penjelasannya sama. Hal seperti ini bisa membuat pembaca merasa cepat bosen dan jenuh.
F-    Kesimpulan
Para sejarawan sepakat bahwa Tafsi>r al-T{abari>  adalah satu-satunya tafsir klasik yang sampai pada tangan kita sekarang. Memanga tidak bisa dipungkir akan adanya kitab tafsir yang terbukukan selum al-T{abari> menulis karyanya, namun karya tersebut tidak sampai pada tangan kita. Dari situlah para sejarawan mencatat karya tafsir pertama adalah kitab Tafsi>r al-T{abari>. Kitab tafsir yang dikarang oleh al-T{abari> terkenal dengan Tafsi>r bi al-Ma’thu>r yang mana dalam kitab tersebut menjadikan hadi>th dan riwayat sebagai sandaran utama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’a>n.
Pelajaran penting yang bisa dipetik dari karya tafsir ini menurut ideology pemakalah ialah, al-T{abari> mengajarkan kita untuk memberanikan diri dalam merumuskan hukum fikih tanpa mengikuti satu pendapat dari ulama, melainkan sandaran utama hanya al-Qur’a>n, Hadi>th Nabi Muhammad, dan terakhir adalah logika. Sebuah bukti, pada awalnya al-T{abari> bermadhhabkan Sha>fi’i>, namun setelah mempelajari sekian banyak leteratur ia mendirikan madhhab sendiri yang diberi nama dengan madhhab al-Jari>riyah. Selain itu juga, banyak pendapat yang telah dirumuskan oleh al-T{abari> berbeda dengan hukum yang telah dirumuskan oleh Sha>fi’i>, contoh kecil menyentuh wanita dengan menggunakan anggota tubuh tidak bisa membatalkan wud{u’, sebab maksud kalimat al-Lams dalam al-Qur’a>n memiliki arti melakukan pekerjaan intim.
Pemakalah berfikir, bahwa madhhab Jari>riyah lebih tepat diteranpakan di Negara Indonesia, melihat kondisi zaman yang semakin berkembang dan percampuran anatar laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dihindari lagi. Selain itu, fata>wa> al-T{abari> seakan lebih memepermudahkan orang Islam yang hidup pada masa sekarang. Hal seperti ini tidak bisa disalahkan, sebab sebagian ulama menyatakan “Fikih terlahir di dunia hanya untuk mempermudah umat Islam.”






















Referensi
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro, 2008.
‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir. Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Mujalla>d al-Arabi, 2010.
Abu> H{ayya>n, Muhammad bin Yu>suf al-Andalusi>. Tafsi>r al-Bah{r al-Muh}i>d}. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422.
Baghda>di> (al), Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b. Ta>rikh Baghda>d. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997.
Ru>mi> (al), Abu> ‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi>. Mu’jam al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b il> Ma’rifah al-Adi>b. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
Subki> (al), Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi>. T}aqa>t al-Sha>fi’iyah al-Kubra>. Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413.
T{abari> (al), Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r. Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n. Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422.


[1] Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422), 2/162.
[2] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n, (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422 H), 12.
[3] Abu> ‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi> al-Ru>mi>, Mu’jam al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b il> Ma’rifah al-Adi>b, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M), 242.
[4] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…, 13.
[5] Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d…, 2/166.
[6] Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi> al-Subki>, T}aqa>t al-Sha>fi’iyah al-Kubra> (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413 H), 3/126.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997), 1126.
[8] ‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Mujalla>d al-Arabi, 2010), 341.
[9] Ibid. 341.
[10] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…, 6.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), 108.
[12] Muhammad bin Yu>suf Abu> H{ayya>n al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah{r al-Muh}i>d},  (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422),  3/449.
[13] Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>…, 10/14.
[14] Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>…, 10/19.
[15] Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>…, 10/45.
[16] Ibit., 10-47.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya…, 28.
[18] Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>…, 10/48.
[19] Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>…, 8/389.

No comments:

Post a Comment