Sunday, 20 July 2014

Respon Ulama Terhadap Mujtahid Kontemporer



Respon Ulama Terhadap Mujtahid Kontemporer
By: Muhammad
Apabila kita sudah mengetahui dan sepakat bahwa ijtihad merupakan sebuah kebutuhan pokok pada era modern dan sesungguhnya ijtihad itu sendiri hukumnya fardlu kifayah bagi semua umat Islam maka akan muncul pada benak pikiran kita apakah mudah untuk menjadi seorang mujtahid? Apakah mudah untuk memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid sebagaimana yang telah disyaratkan oleh ulama terdahulu?
Penulis beranggapan, untuk menjadi mujtahid yang bisa mengambil hukum dari dalil al-Qur’an dan Hadits pada era modern bukanlah hal yang mustahil dan sulit sebagaimana paradigma ulama yang ingin menyudutkan anugrah dari Allah serta ingin menutup pintu yang dibuka lebar oleh Allah yaitu ijtihad. Di bawah ini adalah perkataan ulama kontemporer mengenai kemudahan menjadi mujtahid era modern:
1-      Al-Hajwi al-Farisi menegaskan dalam kitabnya al-Fikru as-Sami fi Tarikhi al-Fiqhi al-Islami:Jika Allah memberikan hidayah pada seseorang maka untuk menjadi mujtahid pada masa sekarang lebih mudah dari pada masa-masa terdahulu. Dan untuk menjadi mujtahid pada abad ke 14 H lebih mudah dari pada masa Ubay, Ibnu Arafah, dan ulama sebelumnya, sebab pada saat itu sudah ada percetakan sehingga bisa mencetak buku-buku yang dibutuhkan oleh orang yang ingin menjadi mujtahid. Sedangkan pada masa terdahulu ulama sangat sulit mendapatkan buku-buku yang mereka butuhkan untuk menjadi mujtahid serta membutuhkan waktu dan bekal banyak untuk mendapatkannya. Semenjak paruh kedua dari abad 13 H menjadi mujtahid lebih mudah, sebab pada abad ini percetakan sudah ada, akan tetapi orang Islam mengalami kemerosotan ideologi, ilmu Fikih terkubur, dan berlarut dalam kefakuman seakan-akan umat Islam tidak mengambil faidah dari adanya fasilitas yang ada.” [1]
Dari ungkapan al-Hajwi di atas membuktikan dengan berkembangnya teknologi peluang menjadi mujtahid semakin mudah digapai. Hanya saja pada masa berkembangnya teknologi umat Islam tidak bisa mengambil manfaat sebaik-baiknya mereka lalai akan keasyikan yang ada dan menganaktirikan untuk mendalami ajaran Islam. Al-Hajwi menggambarkan adanya percetakan buku menjadi sarana yang paling mendukung untuk menjadi mutjahid, sebab dengan adanya percetakan semua karya-karya ulama bisa didapatkan dengan sangat mudah.
2-      Rasyid Ridla berkata perihal ijtihad pada era modern:“Bukanlah sesuatu yang sulit dan membutuhkan usaha yang lebih sebagaimana yang diperoleh oleh ulama zaman sekarang untuk menjadi mujtahid. Oleh karena itu, mayoritas ulama era sekarang melarang taklid, sebab dengan taklid para penimba ilmu tidak akan bisa menjadi mujtahid.” [2]
Tidak ada yang bisa disangsikan dari perkataan Rasyid Ridla menjadi mujtahid pada masa sekarang tidak sesukar masa terdahulu, untuk menjadi mujtahid pada masa sekarang tidak terlalu membutuhkan tenaga esktra seperti masa-masa terdahulu. Rasyid berpendapat demikian bukan tanpa alasan, akan tetapi ia melihat perkembangan zaman yang bisa mengumpulkan semua karya-karya ulama klasik dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui ideologi ulama. Tidak salah juga bila ulama pada saat ini melarang taklid buta, sebab sebagaimana yang telah diketahui bahwa taklid adalah mengambil perkataan seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Bagaimana tidak mendapatkan celaan orang-orang yang taklid pada masa sekarang, sedangkan semua fasilitas sudah ada, bahkan mudah didapatkan?
3-      Muhammad Mushtofa al-Maraghi (mantan guru besar al-Azhar Mesir) menjelaskan dalam kitabnya al-Buhus fi at-Tasyri’I al-Islami yang sengaja beliau tulis untuk menanggapi ideologi ulama yang melarang adanya ijtihad: “Praduga yang salah bila sekolah agama yang ada di Mesir yang mempelajari ilmu Bahasa, Mantik, Teologi, dan Ushul tidak bisa memahami literatur bahasa Arab, dalil-dalil, dan lain sebagainya. Jika memang mereka yang sekolah tidak bisa memahami maka tidak ada guna nafkah yang diberikan padanya dalam  pencarian ilmu.” Dan masih banyak  perkataan ulama yang beranggapan untuk menjadi mujtahid pada era sekarang (setelah adanya percetakan) sangat mudah seperti perkataan Ahmad Ibrahim, Yusuf al-Qordhowi, dan lain sebagainya.
Perkataan al-Maraghi ini hanya mencocoki pada pondok-pondok salaf yang ada di Indonesia, alumni pondok-pondok salaflah yang bisa menjadi pengganti ulama klasik sebagai mujtahid, sebab hanya di pondok-pondok salaf yang berkonsentrasi dalam mempelajari ilmu keislaman dan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan Islam seperti ilmu Alat, Teologi, Hadits, Tafsir, Fikih, dan lain-lain. Bila dengan adanya metode yang telah ditanamkan oleh pondok salaf santri masih belum bisa memahami literatur Arab maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang dzalim, sebab ia telah menghabiskan finansial orang tua dan menggunakan pada selain tempatnya.
Realita yang ada, terkadang bukan dari santri yang tidak mempunyai keinginan mendalami ilmu-ilmu Agama, akan tetapi pendidik yang kurang memberikan support, bahkan ada juga sebagian pendidik berkata: “Buat apa belajar Ilmu ini terlalu mendalam? Kalian tidak akan bisa menjadi mujtahid.” Semangat santri terkikis sedikit demi sedikit disebabkan omongan guru yang tidak membangun karakteristik santri.
Dengan adanya omongan guru seperti tadi tergolong salah satu penyebab tertutupnya pintu ijtihad. Jika difikir lagi, bagaimana santri bisa menjadi mujtahid bila sang guru berpandangan tidak akan bisa menjadi mujtahid? Apakah benar bila seorang guru hanya mengajarkan taklid buta pada muridnya? Sedangkan taklid buta  tergolong hal yang tercela dan mendapatkan celaan dari ulama klasik dan kontemporer. Dari sini sudah sangat jelas, yang menutup dan mempersempit pintu ijtihad baru adalah guru-guru yang kurang mengetahui sejarah dan ajaran agama Islam dengan sesungguhnya.
Jika ditinjau lagi ijtihad pada zaman sekarang merupakan sesuatu yang mungkin pada umumnya, bukan mungkin menurut logika saja. Sedangkan cara untuk menjadi mujtahid pada masa sekarang lebih mudah dari pada masa dahulu, sebab apabila kita melihat sejarah ulama terdahulu dalam mencari satu Hadits atau syair mereka harus bepergian jauh dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Akan tetapi pada saat ini semua kebutuhan menjadi mujtahid sangat mudah untuk diperoleh sebab semua sudah terbukukan rapi baik itu ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, Hadtis, Fikih, Bahas (Nahwu), Mantik, dan lain-lain.
Begitu pula dengan pembahasan ilmu Hadits, ulama terdahulu sudah membukukannya, membedakan antara Hadits shahih dan dlaif. Ada pula ulama yang membukukan semua biografi para rawi Hadits, karya-karya mereka sudah tersebar ke penjuru dunia serta mudah untuk didapatkan. Berbeda dengan ulama terdahulu, semua fasilitas masih belum tersedia. Jika memang benar untuk menjadi mujtahid seseorang harus menghafal semua ayat-ayat suci al-Qur’an, mengetahui keseluruhan Hadits, memahami dengan benar, mengetahui nasikh mansukh, dan mengetahui ijma’ maka semua itu tidak membutuhkan jerih payah yang banyak, sebab semua bisa diperoleh dengan mudah.
Beda halnya dengan kehidupan zaman dahulu seperti imam Bukhari (abad kedua Hijriyah), beliau harus mengembara dalam mencari satu Hadits pada ulama di negara lain dengan mengendarai kuda putih yang beliau miliki sehingga suatu saat beliau sampai pada tempat tinggal orang yang beliau cari lantas Bukhari bertanya pada seseorang dengan harapan bisa menunjukkan rumah orang yang ia tuju. Ia kaget setelah mendengarkan penjelasan dari orang yang ia tanya, sebab orang yang beliau cari sudah meninggal dunia tujuh hari sebelum beliau sampai pada lokasi tersebut.
Menjadi mujtahid sangat mudah itu adalah perkataan ulama abad ke 14 Hijriyah dengan alasan sebagaimana tercantum di atas maka penulis bisa menyimpulkan untuk menjadi mujtahid pada abad ke 15 ini lebih mudah lagi, sebab semua bekal untuk menjadi mujtahid lebih mudah didapatkan. Pada  abad sekarang mayoritas kitab-kitab klasik sudah ada tahkikannya baik kitab mengenai Tafsir, Hadits, Fikih, Ushul, dan lain-lain. Begitu juga tersedia fasilitas yang sangat canggih untuk menyimpan data-data penting dari karya-karya terdahulu seperti computer dan perpustakaan pun ada di mana-mana.
Bukanlah hal mustahil apabila pada masa sekarang ada ulama yang berposisi sebagai mujtahid mutlak, sebab semua adalah anugrah dari Allah dan tidak ada satupun yang bisa mencegah kenikmatan dari-Nya. Sebuah kesalahan nyata apabila kita beranggapan bahwa orang-orang terdahulu adalah orang paling benar dan kita yang hidup pada masa sekarang harus mengikuti orang terdahulu,  Rasul bersabda:
(مَثَلُ أُمَّتِى مَثَلُ الْمَطَرِ، لاَ يُدْرَى أَوَّلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ) (ابن حنبل في مسنده ج3/ص130)
Artinya: “Perumpamaan umatku seperti hujan yang tidak bisa diketahui apakah kebaikan ada pada awal atau akhirnya.” (Musnad Ibnu Hambanl 3/130)
Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi mengindikasikan bahwa belum tentu umat Islam yang hidup pada masa sebelum kita lebih baik dari pada masa kita sekarang. Oleh karena itu, tidak salah apabila madzahib al-Arba’ah melarang umat Islam untuk mengikuti pendapatnya tanpa melacak terlebih dahulu disebabkan pendapat mereka belum tentu benar dan mereka tidak menginginkan umat Islam final pada satu pendapat saja. Hadits ini juga bisa dijadikan support bagi semua orang yang ingin menjadi mujtahid pada era modern dengan alasan belum tentu mereka lebih baik dari pada kita.
Realita yang ada, siapa yang mengingkari kealiman Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Abdul Majid Salim, Mahmud Syaltut, Muhammad Khidlir Husen, Thahir bin ‘Asyur, Ahmad Ibrahim, Abdul Wahhad Khalaf, Muhmmad Abu Zahra’, Ali Khafif, asy-Sya’rawi, Sayyid Muhammad ath-Thantawi, dan Ali Jumah? Apabila  memang ijtihad bisa dipetak-petakkan maka menjadi mujtahid lebih mudah lagi. Sebagaimana karya-karya ulama modern yang membuat buku khusus membahas masalah nikah, ekonomi Islam, pidana, dan lain sebagainya.
Dengan adanya ulasan di atas, apakah kita masih tetap berpegang pada perkataan pintu ijtihad sudah tertutup, tidak ada kempatan lagi berijtihad, dan harus taklid pada madzahib al-Arba’ah? Semoga dengan ulasan ini bisa mengubah paradigma buruk yang mengakibatkan fakumnya keilmuan Islam. Dan semoga dengan ulasan ini, umat Islam bisa memberanikan diri untuk berijtihad sehingga tidak berada dalam lingkup klasik saja, akan tetapi bisa mengikuti perkembangan zaman yang ada dihadapannya.



[1]Al-Hajwi al-Farisi, Al-Fikru as-Sami, jld. 3, h. 439
[2]Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, cet. III, h. 205

No comments:

Post a Comment