Respon Ulama Terhadap Mujtahid Kontemporer
By: Muhammad
Apabila kita sudah mengetahui dan sepakat bahwa ijtihad merupakan
sebuah kebutuhan pokok pada era modern dan sesungguhnya ijtihad itu sendiri
hukumnya fardlu kifayah bagi semua umat Islam maka akan muncul pada benak
pikiran kita apakah mudah untuk menjadi seorang mujtahid? Apakah mudah untuk memenuhi
syarat-syarat menjadi mujtahid sebagaimana yang telah disyaratkan oleh ulama
terdahulu?
Penulis beranggapan, untuk menjadi mujtahid yang bisa mengambil
hukum dari dalil al-Qur’an dan Hadits pada era modern bukanlah hal yang
mustahil dan sulit sebagaimana paradigma ulama yang ingin menyudutkan anugrah
dari Allah serta ingin menutup pintu yang dibuka lebar oleh Allah yaitu
ijtihad. Di bawah ini adalah perkataan ulama kontemporer mengenai kemudahan
menjadi mujtahid era modern:
1-
Al-Hajwi al-Farisi menegaskan dalam kitabnya al-Fikru as-Sami fi
Tarikhi al-Fiqhi al-Islami: “Jika Allah memberikan hidayah pada seseorang
maka untuk menjadi mujtahid pada masa sekarang lebih mudah dari pada masa-masa
terdahulu. Dan untuk menjadi mujtahid pada abad ke 14 H lebih mudah dari pada
masa Ubay, Ibnu Arafah, dan ulama sebelumnya, sebab pada saat itu sudah ada
percetakan sehingga bisa mencetak buku-buku yang dibutuhkan oleh orang yang
ingin menjadi mujtahid. Sedangkan pada masa terdahulu ulama sangat sulit
mendapatkan buku-buku yang mereka butuhkan untuk menjadi mujtahid serta
membutuhkan waktu dan bekal banyak untuk mendapatkannya. Semenjak paruh kedua
dari abad 13 H menjadi mujtahid lebih mudah, sebab pada abad ini percetakan
sudah ada, akan tetapi orang Islam mengalami kemerosotan ideologi, ilmu Fikih
terkubur, dan berlarut dalam kefakuman seakan-akan umat Islam tidak mengambil
faidah dari adanya fasilitas yang ada.” [1]
Dari ungkapan al-Hajwi di atas membuktikan
dengan berkembangnya teknologi peluang menjadi mujtahid semakin mudah digapai.
Hanya saja pada masa berkembangnya teknologi umat Islam tidak bisa mengambil
manfaat sebaik-baiknya mereka lalai akan keasyikan yang ada dan menganaktirikan
untuk mendalami ajaran Islam. Al-Hajwi menggambarkan adanya percetakan buku
menjadi sarana yang paling mendukung untuk menjadi mutjahid, sebab dengan
adanya percetakan semua karya-karya ulama bisa didapatkan dengan sangat mudah.
2-
Rasyid Ridla berkata perihal ijtihad pada era modern:“Bukanlah
sesuatu yang sulit dan membutuhkan usaha yang lebih sebagaimana yang diperoleh
oleh ulama zaman sekarang untuk menjadi mujtahid. Oleh karena itu, mayoritas
ulama era sekarang melarang taklid, sebab dengan taklid para penimba ilmu tidak
akan bisa menjadi mujtahid.” [2]
Tidak ada yang bisa disangsikan dari perkataan Rasyid Ridla menjadi
mujtahid pada masa sekarang tidak sesukar masa terdahulu, untuk menjadi
mujtahid pada masa sekarang tidak terlalu membutuhkan tenaga esktra seperti
masa-masa terdahulu. Rasyid berpendapat demikian bukan tanpa alasan, akan
tetapi ia melihat perkembangan zaman yang bisa mengumpulkan semua karya-karya
ulama klasik dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui ideologi ulama.
Tidak salah juga bila ulama pada saat ini melarang taklid buta, sebab
sebagaimana yang telah diketahui bahwa taklid adalah mengambil perkataan
seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Bagaimana tidak mendapatkan celaan
orang-orang yang taklid pada masa sekarang, sedangkan semua fasilitas sudah
ada, bahkan mudah didapatkan?
3-
Muhammad Mushtofa al-Maraghi (mantan guru besar al-Azhar Mesir)
menjelaskan dalam kitabnya al-Buhus fi at-Tasyri’I al-Islami yang
sengaja beliau tulis untuk menanggapi ideologi ulama yang melarang adanya
ijtihad: “Praduga yang salah bila sekolah agama yang ada di Mesir yang
mempelajari ilmu Bahasa, Mantik, Teologi, dan Ushul tidak bisa memahami
literatur bahasa Arab, dalil-dalil, dan lain sebagainya. Jika memang mereka yang
sekolah tidak bisa memahami maka tidak ada guna nafkah yang diberikan padanya
dalam pencarian ilmu.” Dan masih
banyak perkataan ulama yang beranggapan
untuk menjadi mujtahid pada era sekarang (setelah adanya percetakan) sangat
mudah seperti perkataan Ahmad Ibrahim, Yusuf al-Qordhowi, dan lain sebagainya.
Perkataan al-Maraghi ini hanya mencocoki pada pondok-pondok salaf
yang ada di Indonesia, alumni pondok-pondok salaflah yang bisa menjadi
pengganti ulama klasik sebagai mujtahid, sebab hanya di pondok-pondok salaf
yang berkonsentrasi dalam mempelajari ilmu keislaman dan ilmu-ilmu yang
bersangkut-paut dengan Islam seperti ilmu Alat, Teologi, Hadits, Tafsir, Fikih,
dan lain-lain. Bila dengan adanya metode yang telah ditanamkan oleh pondok
salaf santri masih belum bisa memahami literatur Arab maka ia bisa dikatakan
sebagai orang yang dzalim, sebab ia telah menghabiskan finansial orang tua dan
menggunakan pada selain tempatnya.
Realita yang ada, terkadang bukan dari santri yang tidak mempunyai
keinginan mendalami ilmu-ilmu Agama, akan tetapi pendidik yang kurang
memberikan support, bahkan ada juga sebagian pendidik berkata: “Buat apa
belajar Ilmu ini terlalu mendalam? Kalian tidak akan bisa menjadi mujtahid.”
Semangat santri terkikis sedikit demi sedikit disebabkan omongan guru yang
tidak membangun karakteristik santri.
Dengan adanya omongan guru seperti tadi tergolong salah satu
penyebab tertutupnya pintu ijtihad. Jika difikir lagi, bagaimana santri bisa
menjadi mujtahid bila sang guru berpandangan tidak akan bisa menjadi mujtahid?
Apakah benar bila seorang guru hanya mengajarkan taklid buta pada muridnya?
Sedangkan taklid buta tergolong hal yang
tercela dan mendapatkan celaan dari ulama klasik dan kontemporer. Dari sini
sudah sangat jelas, yang menutup dan mempersempit pintu ijtihad baru adalah
guru-guru yang kurang mengetahui sejarah dan ajaran agama Islam dengan
sesungguhnya.
Jika ditinjau lagi ijtihad pada zaman sekarang merupakan sesuatu
yang mungkin pada umumnya, bukan mungkin menurut logika saja. Sedangkan cara
untuk menjadi mujtahid pada masa sekarang lebih mudah dari pada masa dahulu, sebab
apabila kita melihat sejarah ulama terdahulu dalam mencari satu Hadits atau
syair mereka harus bepergian jauh dan membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Akan tetapi pada saat ini semua kebutuhan menjadi mujtahid sangat mudah untuk
diperoleh sebab semua sudah terbukukan rapi baik itu ilmu yang berhubungan
dengan al-Qur’an, Hadtis, Fikih, Bahas (Nahwu), Mantik, dan lain-lain.
Begitu pula dengan pembahasan ilmu Hadits, ulama terdahulu sudah membukukannya,
membedakan antara Hadits shahih dan dlaif. Ada pula ulama yang membukukan semua
biografi para rawi Hadits, karya-karya mereka sudah tersebar ke penjuru dunia
serta mudah untuk didapatkan. Berbeda dengan ulama terdahulu, semua fasilitas
masih belum tersedia. Jika memang benar untuk menjadi mujtahid seseorang harus
menghafal semua ayat-ayat suci al-Qur’an, mengetahui keseluruhan Hadits,
memahami dengan benar, mengetahui nasikh mansukh, dan mengetahui ijma’ maka
semua itu tidak membutuhkan jerih payah yang banyak, sebab semua bisa diperoleh
dengan mudah.
Beda halnya dengan kehidupan zaman dahulu seperti imam Bukhari
(abad kedua Hijriyah), beliau harus mengembara dalam mencari satu Hadits pada
ulama di negara lain dengan mengendarai kuda putih yang beliau miliki sehingga
suatu saat beliau sampai pada tempat tinggal orang yang beliau cari lantas Bukhari
bertanya pada seseorang dengan harapan bisa menunjukkan rumah orang yang ia
tuju. Ia kaget setelah mendengarkan penjelasan dari orang yang ia tanya, sebab
orang yang beliau cari sudah meninggal dunia tujuh hari sebelum beliau sampai
pada lokasi tersebut.
Menjadi mujtahid sangat mudah itu adalah perkataan ulama abad ke 14
Hijriyah dengan alasan sebagaimana tercantum di atas maka penulis bisa
menyimpulkan untuk menjadi mujtahid pada abad ke 15 ini lebih mudah lagi, sebab
semua bekal untuk menjadi mujtahid lebih mudah didapatkan. Pada abad sekarang mayoritas kitab-kitab klasik
sudah ada tahkikannya baik kitab mengenai Tafsir, Hadits, Fikih, Ushul,
dan lain-lain. Begitu juga tersedia fasilitas yang sangat canggih untuk
menyimpan data-data penting dari karya-karya terdahulu seperti computer dan perpustakaan
pun ada di mana-mana.
Bukanlah hal mustahil apabila pada masa sekarang ada ulama yang
berposisi sebagai mujtahid mutlak, sebab semua adalah anugrah dari Allah dan
tidak ada satupun yang bisa mencegah kenikmatan dari-Nya. Sebuah kesalahan nyata
apabila kita beranggapan bahwa orang-orang terdahulu adalah orang paling benar
dan kita yang hidup pada masa sekarang harus mengikuti orang terdahulu, Rasul bersabda:
(مَثَلُ
أُمَّتِى مَثَلُ الْمَطَرِ، لاَ يُدْرَى أَوَّلُهُ
خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ) (ابن حنبل في مسنده
ج3/ص130)
Artinya: “Perumpamaan umatku seperti
hujan yang tidak bisa diketahui apakah kebaikan ada pada awal atau akhirnya.”
(Musnad
Ibnu Hambanl 3/130)
Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Tirmidzi mengindikasikan bahwa belum tentu umat Islam yang hidup pada masa sebelum
kita lebih baik dari pada masa kita sekarang. Oleh karena itu, tidak salah apabila
madzahib al-Arba’ah melarang umat Islam untuk mengikuti pendapatnya tanpa
melacak terlebih dahulu disebabkan pendapat mereka belum tentu benar dan mereka
tidak menginginkan umat Islam final pada satu pendapat saja. Hadits ini juga bisa dijadikan support bagi
semua orang yang ingin menjadi mujtahid pada era modern dengan alasan belum tentu mereka lebih baik dari pada
kita.
Realita yang ada, siapa yang
mengingkari kealiman Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Abdul Majid Salim, Mahmud
Syaltut, Muhammad Khidlir Husen, Thahir bin ‘Asyur, Ahmad Ibrahim, Abdul Wahhad
Khalaf, Muhmmad Abu Zahra’, Ali Khafif, asy-Sya’rawi, Sayyid Muhammad
ath-Thantawi, dan Ali Jumah? Apabila memang ijtihad bisa dipetak-petakkan maka
menjadi mujtahid lebih mudah lagi. Sebagaimana karya-karya ulama modern yang
membuat buku khusus membahas masalah nikah, ekonomi Islam, pidana, dan lain
sebagainya.
Dengan adanya ulasan di atas, apakah kita
masih tetap berpegang pada perkataan pintu ijtihad sudah tertutup, tidak ada
kempatan lagi berijtihad, dan harus taklid pada madzahib al-Arba’ah? Semoga
dengan ulasan ini bisa mengubah paradigma buruk yang mengakibatkan fakumnya
keilmuan Islam. Dan semoga dengan ulasan ini, umat Islam bisa memberanikan diri
untuk berijtihad sehingga tidak berada dalam lingkup klasik saja, akan tetapi
bisa mengikuti perkembangan zaman yang ada dihadapannya.
No comments:
Post a Comment