THE HISTORY OF ALQURANIC TEXT
By: Muhammad
“Maka tidakkah mereka menghayati Alquran? sekiranya Alquran itu bukan
dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (S.Q. Al-Nisa’ : 82)
BAB I
PENDAHULUAN
Alquran
adalah satu-satunya mukjizat
Nabi Muhammad saw yang tidak akan lenyap ditelan waktu, satu-satunya
kitab Allah yang menjadi penyempurna kitab-kitab nabi sebelumnya, dan
satu-satunya kitab yang solid dan valid hingga akhir zaman kelak. Dalam Alquran
menjelaskan setiap sesuatu yang sudah terjadi seperti cerita tentang nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad, menjelaskan sesuatu yang sedang terjadi seperti salat,
zakat, haji, dan lain-lain, dan menjelaskan sesuatu yang akan terjadi seperti
kedatangan Dajjal, hari kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya.
Tidak
bisa diragukan lagi, Alquran adalah produk Allah dan tidak ada satupun yang
mencampuri dalam pembuatan Alquran. Hal ini terbukti semenjak diturunkannya Alquran
hingga sekarang, Alquran selalu mengadakan sayembara pembuatan ayat penanding Alquran,
namun tidak ada satupun dari makhluk hidup yang bisa menandinginya sebagaimana
firman Allah (S.Q. al-Baqarah. 23)
(وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا
نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَداءَكُمْ
مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ)
“Dan
jika kalian meragukan (Alquran) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat semisal dengannya dan ajaklah
penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.”
Ayat di atas merupakan sebuah sayembara
pembuatan surat semisal dengan Alquran bagi pengingkar Alquran firman Allah.
Ayat 23 dari surat al-Baqarah ini diturunkan sebab banyaknya peragu Alquran.
Mereka beranggapan Alquran produk Nabi Muhammad saw, dan Alquran adalah sihir.
Dengan beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan pengingkar Alquran demi menepis
ketidak-kuasaan menandingi Alquran. Sebagian alasan pengingkar Alquran berkata
‘Orang-orang terdahulu sangat bisa menandingi Alquran, karena mereka memiliki
kemampuan bahasa Arab yang sangat tinggi, namun mereka tidak sempat membuat
satu ayat pun sebab mereka sibuk memerangi orang-orang Islam’.[1]
Di sisi lain, banyak dari golongan orientalis yang selalu berusaha menggoyah
keyakinan orang-orang Islam dengan cara menyebarkan ideologi bahwa Alquran
produk Nabi Muhammad saw, Alquran produk budaya, perlu diadakan renovasi Alquran,
perubahan susunan, Alquran tidak valid diterapkan pada masa sekarang, dan masih
banyak lagi alasan agar orang Islam tidak yakin lagi pada kitab sucinya.
Padahal Nabi Muhammad saw pernah bersabdah saat haji wada’ (RH. H{akim. 1/171)
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا
كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ)
“Wahai
Manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) telah mewariskan pada kalian, bila kalian
berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya
(warisan itu adalah) kitab Allah (Alquran) dan hadith Nabi-Nya.”
Dari sinilah, sangat diperlukan mempelajari sejarah Alquran baik dari
tulisan maupun perkebangan yang terdapat di dalamnya agar bisa menjadi tebeng
dari serangan orang-orang yang ingin menggoyahkan kesucian kitab agama Islam.
Dalam makalah ini, pemakalah akan menjelaskan sekilas tentang sejarah pembukuan Alquran dari masa ke masa dan perkembangan mus}h}af Uthmani.
BAB II
SEKILAS HISTORY
PEMBUKUAN ALQURAN
A- Penulisan Alquran pada Masa Nabi Muhammad
Perhatian penuh
terhadap Alquran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sabahatnya
dimulai semenjak Alquran diturunkan. Mereka berlomba-lomba menghafalkannya.
Mereka tidak mengcukupkan diri hanya dengan sekedar menghafal, namun mereka
juga menulisnya meski pada saat itu alat tulis menulis sangatlah terbatas.
Penulisan Alquran
merupakan perbuatan yang dilegalkan oleh Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdah Rasulullah
(RH. Ibnu Hibban dalam S{ahihnya)
(لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا
سِوَى الْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ)
H{adi>th yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan sebagian sahabat untuk menulis Alquran
ialah Riwayat dari Ibnu Abbas
(كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا نزلت عليه سورة ، دعا بعض من يكتب ، فقال :ضعوا
هذه السورة في الموضع الذي يذكر فيه كذا وكذا)
Penulisan Alquran
pada zaman Rasulullah saw menggunakan fasilitas seadanya, mereka menulis
kalam-kalam suci pada kulit hewan atau dedaunan (al-Riqa>’), tulang
unta atau kambing (al-Kat>af), pelapa kurma (al-‘Asb),
lempengan bebatuan (al-Likhaf), dan lain-lain. sejarah penulisan dengan
menggunakan fasilitas di atas berdasarkan perkataan Zaid bin Thabit.
(عن زيد بن ثابت قال كنا عند رسول الله
نؤلف القرآن في الرقاع)
Dari hadith di atas menunjukkan bahwa
penulisan Alquran masih menggunakan fasilitas seadanya, bahkan kulit hewan
menjadi sarana penulisan kalam Allah.
Meski penulisan Alquran
sudah berjalan mulus pada masa Rasulullah saw dan Rasulullah pun memiliki
sekertaris dalam penulisan Alquran, namun pada saat ini Alquran masih belum
tertuangkan dalam satu tulisan yang tersusun rapi dalam satu buku seperti Alquran
yang ada pada tangan kita sekarang. Sejarawan Islam pun juga menyatakan,
sebelum Rasulullah saw meninggal dunia Alquran telah tertulis semuanya, hanya
saja belum terkumpul dalam satu mus{haf dan tidak berada dalam satu tempat,
akan tetapi tulisan Alquran masih terpisah-pisah pada sahabat yang menulis
saja. Dan sahabat selalu melaporkan pada Rasulullah saw dari hafalan dan tulisannya
pada Rasulullah saw.[2]
Terdapat
beberapa alasan Alquran pada waktu itu tidak terbukukan dan Rasulullah saw
tidak memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkannya dalam satu mus}h}af di
antara alasan-alasannya ialah:
1- Konsentrasi para sahabat pada waktu itu terpusatkan
pada hafalan Alquran dan mereka berlomba-lomba menghafalkan Alquran di luar
kepala. Oleh karena itu, tidak heran bila pada saat itu banyak di antara
sahabat yang hafal Alquran.
2- Pada saat wahyu di turunkan pada Nabi Muhammad saw
sering terjadi penambahan atau
kerap terjadi penghapusan sebagian ayat Alquran (Na>sikh). Bila Alquran
telah dibukukan dalam satu mus}haf sedangkan posisi ayat Alquran masih ada
kemungkinan untuk disalin, maka Alquran harus selalu diperbarui setiap saat.
Oleh karena itu, pengumpulan Alquran terjadi setelah semua ayat-ayat Alquran di
turunkan (setelah wafatnya Nabi Muhammad saw).[3]
B- Penulisan dan Jam’ al-Qur’a>n Pertama (masa
Abu Bakar)
Sebagaimana yang telah kita ketahui di atas, Alquran belum terbukukan
dalam satu mus}h}af hingga
wafatnya Rasulullah saw dengan alasan-alasan yang telah diulas sebelumnya. Maka setelah wafatnya Rasulullah
saw Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pada tahun 11 Hijriah, pada saat
pemerintahan Abu Bakar inilah sering terjadi fenomena yang membuat resah umat
Islam di antaranya; banyaknya umat orang murtad dan banyak golongan yang tidak
mau mengeluarkan zakat. Melihat kondisi seperti ini, Abu Bakar tidak hanya diam
melainkan ia mengatur strategi untuk memerangi orang-orang murtad agar bisa
kembali pada agama Islam.
Usai menangani orang-orang murtad pada tahun 11 Hijriah, terjadilah
peperangan yang lebih membuat resah umat Islam yaitu peperangan Yamamah yang
terjadi pada permulaan tahun 12 Hijriah. Pada peperangan itu, agama Islam
mengalami kerugian teramat besar, karena banyak dari orang Islam meinggal dunia
dan banyak dari kalangan sahabat yang hafal Alquran gugur di medan perang. Bila
dikalkulasi 70 h}uffa>z} yang gugur pada peperangan tersebut.
Setelah mendengarkan kabar akan banyaknya h}uffa>z} gugur di medan
perang, Umar bin Khat}ab melapor pada Abu Bakar dan ia memberi usulan agar
membukukkan Alquran dalam satu mus}haf mengikuti susunan ayat dan surat. Usulan
Umar bin Khat}ab bukan tanpa alasan, melainkan ia berfikir lebih maju. Ia takut
Alquran lenyap dari muka bumi sebab banyaknya h}uffa>z} yang meninggal
dunia. Akan tetapi usulan Umar perihal Jam’ al-Qur’a>n, ditolak oleh
Abu Bakar dengan alasan pengumpulan Alquran dalam satu mus}haf belum pernah
dilakukkan oleh Rasulullah saw pada masa hidupnya. Umar tidak putus asa merayu
Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam satu mus}h}af, ia mengulang-ulang
alasannya dalam pembukuan hingga pada akhirnya hati Abu Bakar terbuka dan
menyetujui argumen Umar. Lantas Abu Bakar memerintah Zaid bin Thabit agar
mengumpulkan Alquran.
C- Penulisan dan Jam’ al-Qur’a>n Kedua (Uthman
bin Affan)
Turunnya Alquran dengan menggunakan tujuh huruf merupakan sesuatu yang
tidak asing bagi umat Islam, karena Alquran bisa dibaca dengan tujuh huruf
telah cercatat dalam hadi>th s}ah{ih{ yang mutawa>tir. Sejarah mencatat,
bahwa Rasulullah saw membacakan Alquran pada para sahabat dengan tujuh bacaan,
namun tidak semua sahabat serempak mahir dalam tujuh bacaan tersebut. Di antara
mereka ada yang hanya bisa membaca dengan satu bacaan,
ada juga yang dua bacaan, dan ada pula yang lebih dari itu. Dengan beranjaknya
waktu kekuasaan Islam melebar dan para sahabat pun menyebar kebelahan negara
yang telah ditakkukan, mereka menyebarkan dakwah-dakwah Islam sebagaiaman yang
telah ia pelajari saat bersama Rasulullah saw. Mereka juga mengajarkan bacaan Alquran
pada semua umat Islam, namun seperti yang telah kita ketahui di atas tidak
semua sahabat menguasai tujuh bacaan, melainkan mereka mengajarkan bacaan yang
mereka kuasai saja.
Pada awalnya, Alquran diturunkan dengan tujuh huruf agar bisa
mempermudah umat Islam dalam membaca Alquran, akan tetapi dengan bergesernya
waktu dan semakin banyaknya orang-orang non Islam masuk dalam agama Islam serta
minimnya pengetahuan dalam bacaan Alquran menjadi sebab pengunggulan dan
kefasehan dalam bacaan. Lebih parah dari itu, mereka beranggapan bahwa bacaannya paling benar dan bacaan orang lain salah.
Hal ini terjadi saat mereka berkumpul dalam medan perang. Inilah yang menjadi
salah satu sebab Uthman bin Affan mengambil keputusan untuk membukukan Alquran
dan menghapus semua Alquran yang beredar di setiap negara.
Perbedaan bacaan yang terjadi pada umat Islam saat memerangi orang Sha>m dalam penaklukan Armeniah dan Adhribaijan, membuat H{udaifah al-Yamani resah dan
langsung melaporkan pada Uthman khalifah pada saat itu untuk membukukan Alquran
dengan tujuan agar umat Islam tidak seperti umat Yahudi dan Nas}rani yang
selalu berbeda pendapat dalam masalah kitabnya. Tanpa berfikir panjang, Uthman
mengaimini pendapatnya dan ia langsung bermushawarah dengan pembesar sahabat
dalam masalah penulisan Alquran kedua kalinya (penulisan Alquran di masa Uthman
terjadi pada akhir dari tahun 14 hijriah atau awal dari tahun 15 hijriah).
Setelah para pembesar sahabat setuju, ia memerintah Zaid bin Thabit (wafat. 45
H), Abdullah bin Zubair (wafat. 73 H), Sa’id bin ‘A<s} (wafat. 58 H), dan
Abdurrahman bin al-H{arith bin Hisha>n (wafat. 43 H) untuk menulis ulang Alquran
dengan menggunakan pijakan Alquran Abu Bakar yang ada ditangan H{afs}ah.
Setelah Alquran Uthman siap diterbitkan, Alquran Abu Bakar dikembalikan pada
H{afs}ah. Alquran Uthman pun disebarkan keseluruh penjuru dan membakar semua Alquran
yang selain tulisan Uthman.
BAB III
PERKEMBANGAN
DALAM TULISAN MUS{H{AF UTHMANI
Setelah kita mengetahui sedikit tentang penulisan Alquran pada masa
Uthmani, maka yang perlu kita ketahui mus}h}af Uthmani hanyalah berbentuk
lukisan yang mana disitu tidak ada harakat dan titiknya (tidak sama dengan
Alquran yang kita pegang sekarang). Namun dengan bergesernya waktu, Alquran mengalami
perkembangan dan pelengkapan. Dan dengan bergesernya waktu Alquran dilengkapi
dengan harakat dan titik-titik agar tidak terdapat kesalahan dalam bacaan dan
bisa membedakan antara satu huruf dengan huruf yang lain.
Perkembangan dalam penulisan mus}h}af Uthmani tergolong sesuatu yang
penting diketahui, agar kita (sebagai orang
Islam) mengetahui betul tentang hal yang bersangkut-paut
dengan Alquran. Mungkin, kita tidak pernah menyangka bahwa penulisan Alquran
yang ada ditangan kita sekarang sudah mengalami perubahan berkali-kali dalam
penulisan, mulai dari penulisan di masa Nabi Muhammad saw, kemudia Abu Bakar
(wafat. 13 H), dilanjutkan oleh Uthman (wafat. 25 H), dilengkapi oleh Abu
al-Aswa>d al-Duali (wafat. 67 H),
disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad (wafat. 170 H), dan seterusnya. Untuk
mempersingkat pembahasan disini akan dibahas satu-persatu dari sejarah mencetus
harakat (Shakl/Nuqt}ah al-I’ra>b) dan titik (Nuqt}ah/Nuqt}ah
al-I’ja>m).
A- Sejarah Peletakan Harakat (Shakl/Nuqt}ah
al-I’ra>b)
Maksud dari harakat disini ialah sesuatu yang menunjukkan pada bacaan
huruf/menghilangkan kesamaran baik itu berupa huruf hidup (berharakat) atau
mati (sukun) tiada beda di awal, pertengahan, atau akhir kalimat. Maka, dari
sini bisa kita tarik sebuah kesimpulan arti dari kata harakat (Shakl)
adalah menghilangkan kesamaran dalam bacaan.
Para sejarawan telah bersepakat, bahwa pada permulaan munculnya Islam
(permulaan abad pertama hijriah) orang-orang Arab tidak ada yang mengetahui
harakat dengan istilah di atas. Meski mereka tidak mengetahui istilah harakat
dan titik, namun mereka berinteraksi dengan lafad-lafad yang seakan-akan
beharakat dan bertitik menurut kabiasaan dan fitrah mereka yang tidak terjadi
kepiluan dan kesalahan dalam berbicaan. Semua itu disebabkan mereka benar-benar
fasih dan menguasai balaghah. Mereka berbicara dengan menggunakan kalimat-kalimat
fasih walau tidak mengetahui kaidah-kaidah. Oleh karena itu, pada permulaan
penulisan Alquran dalam tiga tingkatan yang telah tertulis di atas tanpa
menggunakan harakat dan titik, karena dalam jiwa mereka sudah tertanam bahasa
Arab dan juga dalam pembacaan Alquran melalui talaqi dan periwayatan dari mulut
ke mulut. Dengan cara demikian, maka Alquran tidak membutuhkan harakat dan
titik.
Pada saat kekuasaan Islam melebar dan tercampur baurnya antara orang
Arab dan non Arab, kefitrahan dalam berbahasa Arab pun mulai pudar dan mulai
terjadi kepiluhan berbahasa Arab. Dari sinilah para ulama mulai memusatkan
perhatian serta menjaga Alquran dari kepiluhan dan kesalahan, melihat Alquran
itu sendiri merupakan sumber primer dan rute menuju jalan yang benar bagi umat
Islam. Bersamaan dengan terjadinya kepiluhan dan kesalahan dalam membaca
Alquran terdapat sebagian di anatar umat Islam yang menguasai ilmu Nahwu (Syntax),
unggul dalam hafalan Alquran, dan bacaannya seperti Abu al-Aswa>d al-Duali
(wafat. 67), Yahya bin Ya’mar al-Dawa>ni (wafat. 90 H ), Nas}r bin
‘A<s}im al-Laithi (wafat. 90 H), dan lain-lain.
Para sejarawan masih berbeda pendapat mengenai penggagas pertama dalam
pembuatan harakat, di antara mereka ada yang mangatakan Abu al-Aswa>d, ada
juga yang berpendapat Nas}r bin A<s}im, dan sebagaian lagi berpandangan
Yahya bin Ya’mar. Akan tetapi setelah meneliti dari sejarah dan riwayat yang
ada, ternyata lebih kuat pendapat sejarawan yang
menyatakan Abu al-Aswa>d peletak pertama harakat dalam Alquran. Di bawah ini
merupakan riwayat-riwayat yang memperkuat Abu al-Aswa>d peletak harakat:[4]
1- Tertulis dalam sebuah riwayat, suatu ketika Abu
al-Aswa>d mendengar kesalahan bacaan yang keluar dari lisan anak putrinya
sendiri, dari situ Abu al-Aswa>d berfikir untuk menyelamatkan semua umat
Islam dari kesalahan dalam bacaan Alquran.
2- Dalam riwayat lain menyatakan, suatu saat tanpa
sengaja Abu al-Aswa>d mendengakran seorang laki-laki dari Persia bernama
Sa’d terdapat kesalahan dalam berbicara, lantas orang sekitar yang mendengarkan
tertawa terbahak-bahak sebab kesalahan itu.
3- Riwayat lain mencatat, bahwa Ziya>d (pemerintah
Bas}rah) mendengarkan kesalahan dalam berbicara dari penduduknya yang menghadap
padanya, kemudia ia melaporkan pada Abu al-Awa>d memohon agar Abu
al-Awa>d melakukan sesuatu yang bisa mencegah dari kesalahan saat berbicara.
4- Tertuang dalam salah satu riwayat, suatu ketika Abu
al-Awa>d mendengarkan kesalahan bacaan Alquran dari sebagian umat Islam.
Melihat keadaan yang seperti itu Abu al-Awa>d berinisiatif untuk membuat
rumus harakat pada Alquran dengan menggunkan titik-titik pada setiap huruf dan
membuat buku spesial dalam masalah Syntax.
5- Dan dalam
riwayat lain menyatakan, Ali bin Abi T{alib mendengarkan kesalahan dalam bacaan
di negara Irak, kemudian Ali bin Abi T{alib memerintah Abu al-Aswa>d untuk
membuat koredor ilmu Nahwu.
Dari riwayat-riwayat yang tercantum di atas lebih banyak mengindikasikan
peletak pertama dalam pembuatan harakat adalah Abu al-Aswa>d, namun walau
demikan para pakar sejarah masih berbeda persepsi kala menyimpulkan
riwayat-riwayat di atas. Sebagain dari mereka beranggapan Abu al-Aswa>d
adalah peletak pertama harakat Alquran dan ilmu Nahwu, sebagaian lain
berpandangan ia hanya peletak ilmu Nahwu, dan selagian lagi mempunyai persepsi
Abu al-Aswa>d hanya pencetus harakat Alquran. Walau para sejarawan berbeda
pendapat perihal penemuan Abu al-Aswa>d, akan tetapi mereka sepakat bahwa
membuat harakat yang berupa titik-titik terrealisasikan pada masa pemerintahan
Ziya>d di Bas}rah yang bermula dari tahun 44 samapai tahun 53 hijriah.
Untuk memperkuat tendensi bahwa Abu al-Aswa>d adalah perumus pertama pembuatan
harakat, maka tidak berlebihan bila pemakalah mencatumkan sebuah riwayat dari
Abu Bakar al-Anba>ri
(ما رواه ابو بكر الأنباري قال : حدثني أبي قال : حدثنا أبو عكرمه قال : قال العتبي : كتب معاوية إلى
زياد يطلب عبيد الله ابنه ، فلما قدم عليه كلمه فوجده يلحن ، فرده إلى زياد وكتب
إليه كتاباً يلومه فيه ويقول : أمثل عبيد الله يضيع ؟ فبعث زياد إلى أبي الأسود
فقال : يا أبا الأسود إن هذه الحمراء قد كثرت وأفسدت من ألسن العرب ، فلو وضعت
شيئاً يصلح به الناس كلامهم ويعربون به كتاب الله ، فأبى ذلك أبو الأسود وكره
إجابة زياد إلى ما سأل ، فوجه زياد رجلاً فقال له : اقعد في طريق أبي الأسود ،
فإذا مر بك فاقرأ شيئاً من القرآن وتعتمد اللحن فيه ، ففعل ذلك .
فلما مر به أبو الأسود رفع الرجل صوته
يقرأ ) أن الله بريء من المشركين ورسولِه ( فاستعظم ذلك أبو الأسود وقال : عز وجه
الله أن يبرأ من رسوله ، ثم رجع من فوره إلى زياد فقال : يا هذا ، قد أجببتك إلى
ما سألت ، ورأيت أن أبدأ بإعراب القرآن ، فابعث إليّ ثلاثين رجلاً ، فأحضرهم زياد
فاختار منهم أبو الأسود عشرة ، ثم لم يزل يختارهم حتى اختار منهم رجلاً من عبد
القيس ، فقال : خذ المصحف وصبغاً يخالف لون المداد ، فإذا فتحت شفتيّ فانقط واحده
فوق الحرف ، وغذا ضممتها فاجعل النقطة إلى جانب الحرف ، وإذا كسرتها فاجعل النقطة
في أسفله ، فإن أتبعت شيئاً من هذه الحركات غنة فانقط نقطتين ، فابتدأ بالمصحف حتى
أتى على آخره ، ثم وضع المختصر المنسوب إليه بعد ذلك)[5]
Dari riwayat di atas bisa kita fahami
bahwa Abu al-Aswa>d adalah penemu pertama dalam pembuatan harakat bahasa Arab pada umumnya dan harakat
Alquran pada khusunya. Adapun sebab-sebab membuatan harakat tiada lain kecuali
semakin merosotnya orang-orang Islam dalam memahami bahasa Arab yang menjadi
meyebabkan kesalahan saat berbicara dan membaca teks Arab. Melihat kondisi
seperti itu, Ziya>d memerintah Abu al-Aswa>d untuk membuat rumus bacaan
agar orang Islam tidak salah dalam membaca Alquran.
Selain itu, bila diteliti dari riwayat
di atas, maka kita bisa mengetahui metode bacaan yang diterapkan oleh Abu
al-Aswa>d hanya berupa titik-titik sebagai pemisah antara huruf yang harus
dibaca Fathah, D{ammah, dan Karsrah.
Titik-titik yang berposisi sebagai harakat tidak sembarangan diletakkan, akan
tetapi mempunyai lokasi
tersendiri agar mudah memisahkan antara tiga harakat tersebut. Sedangkan
penempatan titik-titik itu ialah: bila huruf berkarakat Fathah, maka ditandai
dengan titik di atas huruf, jika berkarakat D{ammah, ditelakkan di samping
huruf, dan bila Kasrah, maka titik berposisi di bawah huruf. Peletakan titik
ini diisharahkan dari perkataan Abu al-Aswa>d sendiri dengan pekataannya
“Apabila kedua bibirku terbuka, maka berilah titik di atas huruf, bila kedua
bibirku berkumpul, maka beri titik di semping huruf, dan bila kedua bibirku
terpisah, maka beri titik di bawahnya.”
Harakat dengan menggunakan system
titik-titik seperti yang ditetapkan Abu al-Aswa>d ini berjalan mulus tanpa
adanya perubahan hingga datangnya masa Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di
(wafat. 170 H). Pada saat itulah Khalil mulai berfikir untuk mengembangkan
rumus harakat buatan Abu al-Aswa>d dengan harapan agar semua orang yang
mebaca Alquran mudah membedaan antara satu harakat dengan harakat lain,
sebagaimana keterangan dari riwayat al-Da>ni
(الشكل الذي في الكتب من عمل الخليل ،
وهو مأخوذ من صور الحروف ، فالضمة واو صغيرة الصورة في أعلى الحرف ؛ لئلا تلتبسَ
بالواو المكتوبة ، والكسرة ياء تحت الحرف ، والفتحة ألف مبطوحة فوق الحرف)
“Harakat yang terdapat pada kitab-kitab
merupakan karya buatan Khalil, yang mana harakat itu dikutip dari gambar huruf.
Harakat D{amah diambil dari huruf Wau kecil terletak di atas huruf ‘agar tidak
sama dengan huruf Wau yang tertulis’ Kasrah dari Ya’ posisi di bawah huruf, dan
karakat Fathah alif terlentang di atas huruf.”[6]
Dari riwayat di atas kita bisa
memahami bahwa harakat buatan Abu al-Aswa>d mengalami sebuah perubahan saat
Khalil bin Ahmad datang. Dengan menggunakan rumus-rumus baru yang lebih mudah
dicerna oleh semua kalangan dan tanda bacanya menggunakan huruf-huruf itu
sendiri seperti harakat Fathah menggunakan Alif, Kasrah menggunakan Ya>’,
D{amah isyarahkan dengan Wau, Tashdid dengan kepala huruf Shi>n, Sukun
(tanda huruf mati) dengan menggunakan kepala huruf H{a>’, dan lain-lain.[7]
Mungkin bagi kita yang hidup pada adab
ke-15 hijriah bisa langsung menerima jadi harakat produk Khalil bin Ahmad,
sebab kita ‘buta’ akan penggagas pertama harakat yaitu Abu al-Aswa>d. Bila
kita tengok dari sejarah yang telah lampau, kita akan menemukan penolakan
renovasi harakat yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad. Pada saat Khalil
menawarkan model harakat yang berbeda dengan Abu al-Aswa>d, penawaran
tersebut tidak langsung mendapat respon positif dari pada ulama pada saat itu.
Mereka menolak harakat buatan Khalil dan melarang semua orang menggunakannya.
Mereka lebih memilih harakat yang hanya menggunkan titik-titik karya Abu
al-Aswa>d dengan alasan model harakat buatan Khalil adalah harakat untuk
shair dan tidak layak diterapkan pada Alquran, selain itu mereka juga beralasan
karya klasik lebih utama dari pada karya modern.[8]
Tidak salah jika mereka berkata demikian, karena bila dilihat lagi dari tahun
kelahiran, Abu al-Aswa>d tergolong orang yang hidup di masa sahabat Nabi
saw. Ia meinggal dunia pada tahun 67 hijriah, sedangkan Khalil bin Ahmad
meninggal pada tahun 170 hijriah.
Namun, dengan bergesernya waktu
kepekaan umat Islam pada khususnya mulai merosot sehingga membutuhkan harakat
yang lebih jelas untuk membedakan satu bacaan dengan bacaan lain, maka harakat
Khalil pun diterima dengan lapang dada. Dan bila diteliti lagi maksud dan
tujuan Khalil membuat harakat sedemikian rupa hanya untuk menjaga ontetitas
Alquran dari perubahan dan penggantian bacaan.
B- Benarkah Harakat Karya Abu
al-Aswa>d Adopsi dari Bahasa Lain?
Dikala membahasa soal harakat, maka
tidak akan lepas dari perdebatan para sajawaran orientalis mengenai asal-muasal
harakat dalam Alquran, tiada beda harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d
al-Duali ataupun penyempurnaan dari Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di.
Tertulis dalam sebagian buku-buku sejarah bahasa Arab, bahwa harakat buatan Abu
al-Aswa>d hasil adopsi dari orang-orang Surya>ni. Adapun penggagas pikiran adopsi
seperti ini adalah salah satu tokoh orientalis yang bernama Jurji Zidan.
Pertama-tama ia menejelaskan tentang membuatan koredor ilmu Nahwu, ia berkata “Saya
mengira/berpraduga, dalam penyusunan bab-bab ilmu Nahwu orang-orang Arab mengadopsi
dari bahasa Suryani.” Kemudia ia melanjutkan pernyataannya dengan menyinggung
Abu al-Aswa>d yang telah dikultuskan sebagai peletak pertama ilmu Nahwu “Seakan-akan
Abu al-Aswa>d telah mempelajari bahasa Suryani atau mendalami ilmu Nahwunya,
kemudia Abu al-Aswa>d memiliki keinginan untuk menyusun ilmu Nahwu dengan
mengadopsi ilmu Nahwu Suryani.”[9]
Setelah penjang lebar ia menjelaskan
asal-muasal pembuatan ilmu Nahwu, mulailah ia menyinggung soal harakat yang
telah dirumuskan Abu al-Aswa>d. Zidan pun berkata “Menurut pendapat yang
lebih unggul, Abu al-Aswa>d menjiplak dari harakat orang-orang al-Kaldan
atau al-Suryani yang bertempat di Irak. Dalam tulisan mereka sudah tercantum
titik-titik besar yang diletakkan pada setiap huruf baik terletak di atas atau
di bawah huruf dengan tujuan agar bisa membedakan satu huruf dari huruf yang
lain dan membedakan perkalimat, seperti kalimat Isim, Fi’il, atau
Huruf. Dari sini sudah sangat jelas bahwa Abu al-Aswa>d menjiplak
harakat yang dimiliki oleh bangsa Suryani atau Kaldani.”[10]
Dari ungkapan Zidan di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan pijakan dan tidak bisa dibenarkan, karena ia masih
menggunkan perkiraannya sendiri tanpa di dasari oleh dalil pasti. Jika
dikoreksi lagi dari ungkapannya di atas, ia masih ragu-ragu terhadap
ungkapannya sendiri. Dari kata “ Saya berpraduga (يغلب على ظننا), seakan-akan(كأنه) ,
dan pendapat yang unggul(الأرجح) .”
ungkapan dengan menggunakan kata di atas mengindikasikan sebuah keraguan bahkan
menurut perkembangan bahsa Arab, kalimat-kalimat di atas menggambarkan sesuatu
yang tidak nyata atau hanya sebuah praduga tanpa adanya dasar pasti.[11]
Selain ungkapan Zidan di atas, masih
terdapat ungkapan sejarawan lain yang menyatakan harakat karya Abu al-Aswa>d
adalah jiplakan dari harakat Suryani. Hasan ‘Aun yang menyatakan demikian,
dengan menggunakan pemalsuan sejarah ia bisa mengatakan dengan tegas bahwa Abu
al-Aswa>d menggutip harakat dari orang-orang Suryani. Adapun ungkapan Hasan
‘Aun sebagaimana berikut:
“Saya mempunyai dalil yang menyatakan
dengan jelas bahwa Abu al-Aswa>d mengutip gaya harakat yang dimiliki oleh
ulama Nahwu Suryani. Sebagian dari dalil-dalilnya ialah sebagaimana yang telah
kita ketahui Abu al-Aswa>d telah menjadikan kehidupan Negara Iraq sebagai
rumahnya, karena ia menjadi parlemen kenegaraan di sana, di Negara itu juga ia
bisa menguasai bahasa, dan menjadi pembesar tokoh keagamaan. Kita tahu, bahwa
lingkungan di Iraq baik sebelum atau setelah ditaklukkan oleh orang Abar selalu
dijajah oleh bahas dan pengetahuan Suryani, di negri itu pula pribumi selalu
intraksi dengan ulama Suryani. Lebih dari itu, Negara Iraq menjadi markas
pembelajaran dan diskusi orang Suryani bukan hanya sebatas ilmu agama dan filsafat
saja melainkan semua ilmu termasuk ilmu Nahwu dan bahasa. Kita juga mengetahui
bahasa Arab melemah setelah Islam memperlebar kekuasaannya, ini pun juga
terjadi pada bahsa Suryani yang bertepatan pada tahun ke 4 s.d 5 masehi yang
mana pada kedua tahun tersebut telah tersebar bahasa-bahasa asing yang merasuk
pada bahasa komunikasi sehari-hari, penulisan, dan tersebar luas kepiluhan saat
komunikasi. Melihat kondisi sepeti itu, para ulama Suryani mulai merasa takut
kepiluhan itu merampat dapa kitab suci mereka. Dari sinilah mereka mulai
berfikir membuat koredor bacaan untuk mengharakati kitab suci mereka dan tidak
ada korodor bacaan lain selain koredor yang dibuat olah Abu al-Aswa>d saat
memberika harakat pada Alquran. Apakah bukan termasuk penghianatan bila kita
mengatakan Abu al-Aswa>d tidak menjiplak gaya harakat orang-orang Suryani
yang mana mereka lebih dahulu membuat harakat?.”
Hasan ‘Aun bemberikan penjelasan lagi,
namun menjelasan itu tidak bisa dibenarkan dan jauh dari kenyataan. Ia berkata
“Aku mengiran, bahakan menggunggulkan bahwa Abu al-Aswa>d mengetahui bahasa
Suryani minimal dengan kadar bisa memahami bahasa itu, ia pun telah membaca
sebagian naskah-naskah yang tertulis dengan menggunakan bahasa Suryani. Semua
itu disebabkan Abu al-Aswa>d telah lama mukim di daerah Iraq, memusatkan
perhatian pada perkembangan bahasa, dan agama saat tinggal di Iraq. Dari sini
ada kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur dengan
orang-orang Arab.”[12]
Mendengar dari perkataan Hasan ‘Aun di
atas para sejarawan mulai melacak kebenaran data yang telah Hasan ‘Aun
sampaikan. Mayoritas sejarawan menolak ungkapan tersebut terlebih pada ungkapan
“Negara Iraq telah dijajah oleh bahasa dan pengetahuan Suryani” dan
pernyataannya “Kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur
dengan orang-orang Arab.” Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan benenaran
kedua pernyataan di atas dan tidak ada satupun dari sejarawan yang memiliki
gagasan seperti itu.
Jika memang benar ada sebagian dalil yang menunjukkan bahwa agama daerah
H{i>rah telah dikuasai oleh orang Nas}rani, maka terdapat pula dalil yang
menyatakan dan memperkuat bahwa sebelah barat dan uatara Negara Iraq telah
dikuasai oleh mudaya arab, pada saat itu orang arab telah bercampur dengan pribumi
di sana. Bahakan daerah al-Amarah yang terletak di H{i>rah menggunakan bahasa Arab dan
menulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Para sejarawan menjelaskan penduduk
arab yang terletak di sebelah barat Furat seperti H{i>rah, ‘Ain
al-Tamr, al-Anba>r, dan lain-lainnya menulis dengan menggunakan bahasa Arab
sebelum orang Arab memasuki kawasan itu. Dari keterangan di atas bisa dipetik
kesimpulan bahwa Negara Iraq tidak pernah dijajah oleh orang-orang Suryani. Dan
jika ada bahasa lain yang menyaingi bahasa Arab di sebelah barat dan utara
Negara Iraq pada permulaan munculnya Islam, maka bahasa itu adalah bahasa
Persia, bukan bahasa Suryani.
Bila diteliti lagi, ternyata daerah
H{i>rah bukanlah sebuah pusat pergerakan orang Nas}rani di arah timur, namun
daerah itu hanya menjadi target pelebaran pergerakan Nas}rani. Selain itu,
sekian banyak pendapat mengenai pembuatan tanda bacaan dalam buku-buku Suryani
tidak mengindikasikan di daerah H{i>rah, akan tetapi berlokasi di pingiran
Asia.[13]
Dari sekian banyak pendapat mengenai
pembuatan tanda baca yang terjadi pada orang-orang Suryani masih terjadi
kontrovirsial, maka hal ini mengindikasikan bahwa Abu al-Aswa>d terlebih
dahulu merumuskan harakat dari pada orang Suryani. Perlu kita ketahui, bangsa
Suryani memiliki dua tanda baca yang Pertama titik-titik kecil
yang terletak di atas, bawah, atau atas dan bawah huruf secara bersamaan, tanda
baca ini berlaku pada kalangan Suryani sebelah timur. Adapun tanda baca Kedua
tanda baca yang diambil dari abjad
huruf Yunani yang terletak di atas atau bawah huruf, model kedua ini digunakan
oleh Suryani sebelah barat.
Namun terdapat hal yang tidak bisa
dipungkiri oleh para sejarawan bahwa pada masa hidupnya Ya’qu>b al-Raha>wi
yang meninggal pada permulaan tahun ke-8 bagsa Suryani tidak pernah sama sekali
menggunakan kedua model tanda baca di atas. Bahkan dalam salah satu kitab yang menjelaskan tentang bahasa
Suryani (Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>) karya Zakiyah
Muhammad Rushdi mencatat bahwa konon metode bacaan yang berupa titik-titik
kecil pada huruf bermula pada pertengahan abah ke-8 masehi.[14]
Maka jika dikalkulasi dari meninggalnya Ya’qub al-Raha>wi pada tahun ke-8
masehi (lebih tepatnya tahun 708 M) yang mana pada saat itu tanda baca belum
ditemukan sama dengan tahun ke-90 hijriah.[15]
Dari peng-kalkulasian ini kita sudah bisa membaca tanda baca yang dibuat oleh
Abu al-Aswa>d al-Duali lebih awal daripada orang Suryani, karena Abu
al-Aswa>d meninggal pada tahun 67 hijriah.
Dan dari sini pula, sudah bisa melemahkan
dalil yang digunakan oleh orang-orang yang mengatakan Abu al-Aswa>d
menjiplak harakat dari orang Suryani, sebab bagaimana bisa Abu al-Aswa>d
menjiplak dari mereka sedangkan munculnya harakat dari Suryani pada peruh kedua
adab ke-8 Masehi/tahun 90 Hijriah, padahal Abu al-Aswa>d sudah meningeal
pada tahun ke-67 Hijriha?.
Bukan hanya Abu al-Aswa>d yang
menjadi sasaran keritikan, Khalil bin Ahmad yang dikultuskan sebagai
menyempurna tanda baca Abu al-Aswa>d pun juga mereka klaim sebagai penjiplak
harakat Yunani. Hal ini diungkapkan oleh tokoh yang bernama Ibra>him
Mus}t}afa>. Pertama-tama ia menjelaskan tentang orang pertama pembuat ilmu
Nahwu, kemudia ia menyinggung pembuatan harakat yang dilakukan Khalil bin
Ahmad. Ibra>him berkata “"وَقَالُوْا
: وَقَدْ اْتَخَذَ ذَلِكَ عَنِ الْيُوْنَانِيَةِ, وَكَانَ قَدْ قَرَأَهَا (mereka berkata: sungguh ‘Khalil bin
Ahmad’ telah mengambil itu ‘harakat’ dari bangsa Yunani, dan dia pun
benar-benar telah membaca tulisan Yunani).[16]
Namun, perlu ditanyakan keterangan dari Ibra>him Mus}t}afa> tidak
menjelaskan secara detail siapa saja yang masuk dalam katagori kalimat “Mereka
berkata”? ia juga tidak menjelaskan dari mana Khalil mengetahi bahasa Yunani?,
dan bagaimana Khalil membaca tulisan Yunani?. Ini merupakan sebuah tugas yang
harus dicari serta dijernihkan oleh Ibra>him Mus}t}afa>.
C- Sejarah Peletakan Titik-Titik Pemisah
Huruf Yang Sama (Nuqt}ah al-I’ja>m)
Usai mengkaji sejarah peletakan
harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d al-Duali dan disempurnakan oleh
Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di, serta menolak ideology para sejarawan
yang mengatakan bahwa gaya peletakan harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d
hasil adopsi dari Suryani, maka beralih pula pembahasan kita pada peletakan titik-titik
pemisah huruf yang serupa atau bila diarabkan menjadi Nuqt}ah al-I’ja>m.
Melihat pada permulaan Alquran ditulis tanpa menggunakan harakat dan titik.
Namun sebelum kita beranjak dari pembahasa harakat, kita harus mengetahui bahwa
penulisan harakat yang dicetuskan oleh Abu al-Asawa>d dengan menggunakan
warna berdeba dari tulisan lafad Alquran. pada saat itu tulisan lafad-lafad
Alquran menggunakan tinta yang berwana hitam dan harakatnya menggunakan tinta
berwarna kungin emas.
Pembahasan Nuqt}ah al-I’ja>m
ini sangatlah penting menurut pendangan penulis, karena dengan mengetahui
pembahasan ini, wawasan kita akan lebih melebar dan kita bisa mengakui kebenaran
bahwa Alquran adalah produk budaya. Untuk mempersingkat waktu, langsung saja kita
memasuki pada inti pembahasan peletakan titik-titik pemisah huruf yang serupa.
Data yang ditemukan dari para
sejarawan masih amat simpang-siur perihal penggagas pertama Nuqt}ah al-I’ja>m. Namun, sejarawan sepakat bahwa
penyebab peletakan Nuqt}ah al-I’ja>m adalah banyak orang-orang yang
tidak bisa membaca Alquran yang disebabkan tidak bisa memisahkan satu huruf
dari huruf lain, walau pada saat itu sudah ada harakat. Dan yang menjadi
perselisihan para sejarawan ialah siapa orang tokoh yang menerapkan Nuqt}ah
al-I’ja>m pada kalimat-kalimat yang ada dalam Alquran?. Sebagian dari
sejarawan berpendapat bahwa Nuqt}ah al-I’ja>m sudah ada sebelum Islam
terlahirkan, namun orang-orang pada saat itu mengabaikannya, sejarawan lain
perpendapat Abu al-Aswa>d (wafat 67 H) pencetus titik-titik pemisah huruf
yang serupa. Namun, Nuqt}ah al-I’ja>m ini tidak tersebar luas kesemua
umat Islam hingga tiba saat kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (tahun
kekuasaan 65-86). Pada saat inilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luas
dan menjadi sebuah kebutuhan pokok umat Islam dalam mempelajari Alquran,
melihat semakin melebarnya kekuasaan Islam dan bertambah pesatnya percampuran
orang Arab dan non Arab.
Maka untuk menanggulangi problem
kesulitan dalam membaca Alquran Abdul Malik bin Marwan memerintah al-Hajjaj
yang berposisi sebagai wali kota Iraq (tahun kekuasaan 75-86) untuk mencari
solusi agar orang-orang Islam tidak kesulitan dan salah saat membaca
kalimat-kalimat yang masih samar. Hingga akhirnya al-Hajjaj pun pemilih dua
tokoh terkemuka Islam pada saat itu yang bernama Nas}r bin‘A<s}im al-Laithi
(wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar (wafat 90 H). Kedua tokoh di atas tersohor
dengan kewaraan, kesalehan, menguasai bahasa Arab, dan keduanya termasuk murid
Abu al-Aswa>d.[17]
Bermula dari sinilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luasa pada semua
kalang umat Islam di dunia.
D- Pembagian Ayat-Ayat Alquran
Dengan bergesernya waktu Alquran turut
mengalami perkembangan. Perkembangan yang ada dalam Alquran tiada lain hanya
untuk mempermudah orang Islam dalam membaca, memahami, dan menghafalnya.
Sebagimana yang telah pemakalah singgung di atas, pada awalnya Alquran
tertuliskan pada batu, pelapa kurma, tulang belulang, dan lain-lain yang masih
berserakan, tidak rapi, dan belum terkodifikasi, kemudia mengalami perkembangan
saat masa Abu Bakar yang mana ia sukses membukukan ayat-ayat Alquran dalam satu
mus}h}af, namun pada saat itu banyak sahabat lain yang memiliki mus}h}af
pribadi. Bergeser pada masa kepemerintahan Uthman bin Affan, ia berusaha untuk
menyatukan semua umat Islam dalam bacaan agar tidak terjadi perbedaan yang
mengakibatkan terpecahnya umat Islam sebab perbedaan bacaan sebagaimana
uamat-umat nabi terdahulu. Seling beberapa tahun, Mu’a>wiyah bin Abi
Sofya>n menjabat sebagai khalifah pertama dari dinasti Bani Umayyah, pada
saat itu Alquran mengalami perkembangan dengan memberikan tada abaca yang berupa
titik-titik (karakat).Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Alquran
delengkapi dengan tanda pemisah huruf yang sama seperti ب, ت, ث, ن, ف, ق,
dan lain-lain.
Kemudian, Alquran mengalami perkembangan
dengan membagian ayat-ayat Alquran dengan cara memberikan nomer ayat dan
membagi juz. Tujuan mereka memunculkan ideology seperti ini agar umat Islam
bisa lebih semangat dalam membaca dan menghafal Alquran terlebih pada saat
datangnya bulan suci Ramadan. Dengan adanya tujuan agung dan mulia ini sebagian
ulama mulai perfikir untuk membagi ayat-ayat Alquran menjadi 30 bagian,
setiap bagian diberi nama juz. Dalam juz terdapat terdapat 8 Rubu’.
Di sisi lain, terdapat pula sebagian
ulama yang membuat tanda-tanda waqaf dan was}al, yang bertujuan
agar lebih mudah dalam memahami ayat-ayat Alquran dan tadabur akan
arti-artinya. Ada juga ulama yang membuat tanda-tanda ayat yang disunahkan
untuk sujud tilawah yang mana di atasnya tertulis tanda yang meindikasikan akan
kesunahan sujud tilawah.
Namun para sejarawan masih berbeda
pendapat mengenai penggagas pertama dalam pembuat pemisah satu ayat dari ayat
lain. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa penggagas semuanya itu
berdasarkan instruksi dari khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah (masa
jabatan 198-218). Sejarawan lain mencata semua itu merupakan insteruksi dari
al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi (masa jabatan 75-86). Dan ada pula yang
mengatakan semuanya adalah ijtihad dari para ulama sendiri tanpa ada yang
memerintah.[18]
E- Kali Pertama Alquran dicetak
Pada masa yang kita injak sekarang
sangatlah mudah untuk memperoleh Alquran, semua itu berkah adanya percetakan.
Bila kita kembali pada masa sebelum adanya percetakan untuk medapatkan tulisan
Alquran teramat sulit, meninjau Alquran bisa diperoleh dengan tulisan tangan
yang membutuhkan waktu sangat lama. Sebuah pertanyaan muncul di benak pemakalah “di manakah kali pertama Alquran
dicetak?” Pertanyaan inilah yang akan kita kaji bersama pada pembahasan kali
ini.
Para sejarawan sepakat, kali pertama
Alquran dicetak disebuah percetakan yang ada di Negara Jerman pada tahun 1106
H/1693M di sebuah kota yang bernama Hamburgh. Yang dicetak oleh Abraham
Hinckelman.[19] Cetakan
pertama Alquran hingga saat ini masih ada dan bisa ditemukan disebuh percetakan
yang bernama Da>r al-Kutub di EGYPT dan di perpustakaan Cairo University.[20]
Selang beberapa lama,
percetakan masuk ke dunia Islam seperti Negara Turki, Mesir, India, dan Negara Islam lainnya. Dan mulai
saat itulah orang Islam bisa mencetak Alquran sendiri.
Mesir terkenal sebagai Negara pencetak
Alquran mulai permulaan abad ke-14 Hijriah yang diusung oleh tokoh bernama
Rid}wan Ibnu Muhammad pada tahun 1308H/1890M. Dalam penulisan al-Qur’an ini
menggunakan gaya tulis mus}h}af Uthmani, gaya harakat Khalil bin Ahmad, dan
gaya titik Nas}r bin‘A<s}im al-Laithi (wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar
(wafat 90 H). Pada tahun 1337 Hijriah perkumpulan ulama al-Azhar, Kairo, Mesir
mengusulkan untuk mencetak ulang Alquran dengan menggunakan riwayat H{afs} bin
Sulaiman. Usulan ini sukses dan mus{h{a{f dicetak pada tahun 1342H/1923M yang ditulis oleh Muhammad Ali al-Husaini.[21]
Alquran dengan tulisan inilah yang tersebar pada kalangan umat Islam
sampai saat ini.
BAB III.
PENUTUP
Jika kita telah mempelajari dengan seksama dari
sejarah awal-mula Alquran hingga perkembangan yang ada pada tulisan mus}h}af
Uthmani, maka kita tidak bisa mengetahui validitas Alquran serta bisa menepis
argumen oreintalis yang menggembor-gemborkan Alquran mengalami berubahan dan
Alquran yang umat Islam pengang adalah karya Uthman bin Affan.
Demikian pula, dari secuil sejarah penulisan dan
perkembangan Alquran dari masa-kemasa, kita bisa mengambil sifat tegas dan
bijak atas ketidak salahan cendikiawan Islam atau non Islam yang menyatakan
Alquran adalah produk budaya Arab. pemakalah akan membuktikan kebenaran
ideologi itu:
Pertama
pada awal-mula Alquran diturunkan pada Nabi
Muhammad saw, Nabi sama sekali tidak pernah memerintahkan para sahabat
mengumpulkan ayat-ayat Alquran dalam satu mus}h}af, namun Alquran baru dikumpulkan
dalam satu mus}h}af pada masa Abu Bakar dan Uthman. Ini menjadi bukti bahwa pengumpulan
ayat-ayat Alquran dalam satu mus}h}af adalah budaya orang-orang Arab pada saat
itu dan budaya ini belum pernah ada sejak zaman Nabi.
Kedua
dalam segi penulisan Alquran terdapat
perbedaan antara tulisan satu sahabat dari sahabat yang lain, walau pada
kendatinya serasi dalam bacaan. Sebagai contah, dalam koleksi perpustakaan
Raza, Rampur, India, ada sebuah mus}h}af yang ditulis dalam skrip Ku>fi yang
dinisbatkan kepunyaan Ali bin Abi T}alib, kata على juga ditulis dengan علا, dan حتى ditulis dengan حتا. Selain
itu, kita bisa memahami perdebatan para penulis Alquran Uthmani saat berselisih
pendapat mengenai penulisan lafad التابوت, Zaid
perpendapat tulisanya التابوه dengan menggunakan huruf Ha>’, namun pada akhirnya
yang dilebih diunggulkan oleh Uthman bin Affah adalah dengan menggunakan Ta>’,
karena dengan alasa lebih mencocoki pada bahasa orang Quriash. Apakah dari segi
tulisan ini tidak mengindikasikan bahwa Alquran merupakan produk budaya?
Ketiga masalah membuatan harakat,
titik, pembagian ayat-ayat Alquran, dan belum lagi pemberian bingkai yang
menghiasa ayat-ayat Alquran. Apakah ini bukan termasuk budaya? Maka saya
sangat-sangat setuju bila salah satu guru saya yang bernama Dr. H. Imam Gazali Said berargumen Alquran
yang umat Islam pengang sekarang adalah produk budaya. Pandangan beliau
mengenai Alquran produk budaya sangatlah tepat, karena beliau meninjau dari
sejarah perkembangannya.
Referensi
Abu Shahbah, Muhammad, Muhammad, Madkhal li
Dira>sah Alquran al-Kari>m. Riyad}: Da>r al-Liwa’. 1987.
Ali Abdul Wah}id Wa>fi, fiq al-Lughah,
Lajnah al-Baya>n al-‘Arabi, 1950.
‘A<yid (al), Sulaima>n bin Ibra>him, “‘Ina>yah
al-Muslimi>n bi al-Lughah al-‘Arabiyah Khidmah li Alquran al-Kari>m”,
dalam http://www.al-islam.com
Baqa>I (al), Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin
Umar, Nadhm al-Durar fi Tana>sub al-Aya>t wa al-Suwar. Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1995
Dani (al), Uthman bin Sa’id, Al-Muh}kam fi
Nuqt}ah al-Mas}a>h}if, Damskus: Da>r al-Fikr, 1407 H.
Dujani (al), Fath}I Abdul Fatta>h}, “Abu
al-Aswa>d al-Du’ali wa Nashah al-Nahwu al-‘Arabi” Tesis—Cairo University
, Kairo, 1969.
Ghazali (al), Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad. Al-Iqtis}a>t
fi al-I’tiqa>d. Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003.
Hamad (al), Qaddawari, Gha>nim, Rasm
al-Mus}h}af Dira>sah Lufhawi>yah Ta>rikhi>yah. Baghdad:
al-Lajnah al-Wat}aniyah li al-Ih}tifa>l bi Mat}la’ al-Qurn al-Khamis ‘Ashar
al-Hijri, 1982M/1402H.
Hasan ‘Aun, Al-Lughah wa al-Nahwu,
Iskandaria: Mat}ba’ah Royal, 1952.
Jurji Zidan, Ta>rikh A<dab al-Lughah
al-‘Arabiyah, Da>r al-Hilal, 1957 M.
Muhammad Salim Muhsin, Tari>kh Alquran
al-Kari>m. Madinah al-Munawwarah: Da>r al-Mamlakah al-‘Arabiyah, 1402
H.
Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm
al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, Kairo: Da>r al-Sala>m, 1997 M
Su>yu>t}I (al), Jalaluddin Abdurrahman >, Al-Itqa>n
fi ‘Ulu>m Alquran. Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2004M/1425H.
Zakiyah Muhammad Rushdi, Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1956.
Zarqani (al), ‘Abdul Azim, Muhammad, Mana>hil
al-‘Irfa>n fi Ulu>m Alquran. Da>r Kita>b al-‘Arabi.
[1] Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali. Al-Iqtis}a>t fi al-I’tiqa>d, (Kairo: Ja>mi’ah
al-Azhar, 2003), 302.
[2] Muhammad Salim Muhsin, Tari>kh
al-Qur’a>n al-Kari>m, (Madinah al-Munawwarah: Da>r al-Mamlakah
al-‘Arabiyah, 1402 H), 131.
[3] Jalaluddin Abdurrahman
al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo:
Da>r al-Hadi>th, 2004M/1425H), 186.
[4] Dikutip dari, Gha>nim
Qaddawari al-Hamad, Rasm al-Mus}h}af Dira>sah Lufhawi>yah
Ta>rikhi>yah, (Baghdad: al-Lajnah al-Wat}aniyah li al-Ih}tifa>l bi
Mat}la’ al-Qurn al-Khamis ‘Ashar al-Hijri, 1982M/1402H), 491.
[5] Burhanuddin Abi Hasan
Ibrahim bin Umar al-Baqa>I, Nadhm al-Durar fi Tana>sub al-Aya>t wa
al-Suwar, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1995M),
3/269.
[6] Uthman bin Sa’id
al-Dani, Al-Muh}kam fi Nuqt}ah al-Mas}a>hif, (Damskus: Da>r
al-Fikr, 1407 H), 77.
[7] Sh’aba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo: Da>r al-Sala>m,
1997 M), 89.
[8] Sulaima>n bin
Ibra>him al-‘A<yid, “‘Ina>yah al-Muslimi>n bi al-Lughah
al-‘Arabiyah Khidmah li al-Qur’a>n al-Kari>m”, dalam http://www.al-islam.com 77.
[9] Jurji Zidan, Ta>rikh
A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah, (Da>r al-Hilal, 1957 M), 1/251-252.
[10] Ibid., 253.
[11] Ali Abdul Wa>h}id
Wa>fi, fiq al-Lughah, (Lajnah al-Baya>n al-‘Arabi, 1950), 248-249.
[12] Hasan ‘Aun, Al-Lughah
wa al-Nahwu, (Iskandaria: Mat}ba’ah Royal, 1952), 251.
[13] Jurji Zidan, Ta>rikh
A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah…, 1/251.
[14] Zakiyah Muhammad
Rushdi, Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, ),
32.
[15] Ibid., 31.
[16] Lihat, Fath}I Abdul
Fatta>h} al-Dujani, “Abu al-Aswa>d al-Du’ali wa Nashah al-Nahwu
al-‘Arabi” (Tesis—Cairo University , Kairo, 1969), 48.
[17] Muhammad Muhammad Abu
Shahbah, Madkhal li Dira>sah al-Qur’a>n al-Kari>m, (Riya>d}:
Da>r al-Liwa’, 1987M), 189.
[18]
Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo:
Da>r al-Sala>m, 1997 M), 91.
[19] Sh’aba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu…, 602.
[20] ‘Abdul ‘Adzim
al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n,
(Bairut: Da>r al-Kutub al-Arabi, 1995M/1415H), 1/403.
[21] Sha’ba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu.., 92.
No comments:
Post a Comment