Wednesday, 9 July 2014

The History of Quranic Text



THE HISTORY OF ALQURANIC TEXT
By: Muhammad
Maka tidakkah mereka menghayati Alquran? sekiranya Alquran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (S.Q. Al-Nisa’ : 82)
BAB I
PENDAHULUAN
Alquran adalah  satu-satunya  mukjizat  Nabi Muhammad saw yang tidak akan lenyap ditelan waktu, satu-satunya kitab Allah yang menjadi penyempurna kitab-kitab nabi sebelumnya, dan satu-satunya kitab yang solid dan valid hingga akhir zaman kelak. Dalam Alquran menjelaskan setiap sesuatu yang sudah terjadi seperti cerita tentang nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad, menjelaskan sesuatu yang sedang terjadi seperti salat, zakat, haji, dan lain-lain, dan menjelaskan sesuatu yang akan terjadi seperti kedatangan Dajjal, hari kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya.
Tidak bisa diragukan lagi, Alquran adalah produk Allah dan tidak ada satupun yang mencampuri dalam pembuatan Alquran. Hal ini terbukti semenjak diturunkannya Alquran hingga sekarang, Alquran selalu mengadakan sayembara pembuatan ayat penanding Alquran, namun tidak ada satupun dari makhluk hidup yang bisa menandinginya sebagaimana firman Allah (S.Q. al-Baqarah. 23)
(وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَداءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ)
“Dan jika kalian meragukan (Alquran) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.”
Ayat di atas  merupakan sebuah sayembara pembuatan surat semisal dengan Alquran bagi pengingkar Alquran firman Allah. Ayat 23 dari surat al-Baqarah ini diturunkan sebab banyaknya peragu Alquran. Mereka beranggapan Alquran produk Nabi Muhammad saw, dan Alquran adalah sihir. Dengan beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan pengingkar Alquran demi menepis ketidak-kuasaan menandingi Alquran. Sebagian alasan pengingkar Alquran berkata ‘Orang-orang terdahulu sangat bisa menandingi Alquran, karena mereka memiliki kemampuan bahasa Arab yang sangat tinggi, namun mereka tidak sempat membuat satu ayat pun sebab mereka sibuk memerangi orang-orang Islam’.[1]
Di sisi lain, banyak dari golongan orientalis yang selalu berusaha menggoyah keyakinan orang-orang Islam dengan cara menyebarkan ideologi bahwa Alquran produk Nabi Muhammad saw, Alquran produk budaya, perlu diadakan renovasi Alquran, perubahan susunan, Alquran tidak valid diterapkan pada masa sekarang, dan masih banyak lagi alasan agar orang Islam tidak yakin lagi pada kitab sucinya. Padahal Nabi Muhammad saw pernah bersabdah saat haji wada’ (RH. H{akim. 1/171)
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ)
“Wahai Manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) telah mewariskan pada kalian, bila kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya (warisan itu adalah) kitab Allah (Alquran) dan hadith Nabi-Nya.”
Dari sinilah, sangat diperlukan mempelajari sejarah Alquran baik dari tulisan maupun perkebangan yang terdapat di dalamnya agar bisa menjadi tebeng dari serangan orang-orang yang ingin menggoyahkan kesucian kitab agama Islam. Dalam makalah ini, pemakalah akan menjelaskan sekilas tentang sejarah pembukuan Alquran dari masa ke masa dan perkembangan mus}h}af Uthmani.










BAB II
SEKILAS HISTORY PEMBUKUAN ALQURAN
A-  Penulisan Alquran pada Masa Nabi Muhammad
Perhatian penuh terhadap Alquran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sabahatnya dimulai semenjak Alquran diturunkan. Mereka berlomba-lomba menghafalkannya. Mereka tidak mengcukupkan diri hanya dengan sekedar menghafal, namun mereka juga menulisnya meski pada saat itu alat tulis menulis sangatlah terbatas.
Penulisan Alquran merupakan perbuatan yang dilegalkan oleh Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdah Rasulullah (RH. Ibnu Hibban dalam S{ahihnya)
(لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ)
H{adi>th yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan sebagian sahabat untuk menulis Alquran ialah Riwayat dari Ibnu Abbas
(كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا نزلت عليه سورة ، دعا بعض من يكتب ، فقال :ضعوا هذه السورة في الموضع الذي يذكر فيه كذا وكذا)
Penulisan Alquran pada zaman Rasulullah saw menggunakan fasilitas seadanya, mereka menulis kalam-kalam suci pada kulit hewan atau dedaunan (al-Riqa>’), tulang unta atau kambing (al-Kat>af), pelapa kurma (al-‘Asb), lempengan bebatuan (al-Likhaf), dan lain-lain. sejarah penulisan dengan menggunakan fasilitas di atas berdasarkan perkataan Zaid bin Thabit.
(عن زيد بن ثابت قال كنا عند رسول الله نؤلف القرآن في الرقاع)
Dari hadith di atas menunjukkan bahwa penulisan Alquran masih menggunakan fasilitas seadanya, bahkan kulit hewan menjadi sarana penulisan kalam Allah.
Meski penulisan Alquran sudah berjalan mulus pada masa Rasulullah saw dan Rasulullah pun memiliki sekertaris dalam penulisan Alquran, namun pada saat ini Alquran masih belum tertuangkan dalam satu tulisan yang tersusun rapi dalam satu buku seperti Alquran yang ada pada tangan kita sekarang. Sejarawan Islam pun juga menyatakan, sebelum Rasulullah saw meninggal dunia Alquran telah tertulis semuanya, hanya saja belum terkumpul dalam satu mus{haf dan tidak berada dalam satu tempat, akan tetapi tulisan Alquran masih terpisah-pisah pada sahabat yang menulis saja. Dan sahabat selalu melaporkan pada Rasulullah saw dari hafalan dan tulisannya pada Rasulullah saw.[2]
Terdapat beberapa alasan Alquran pada waktu itu tidak terbukukan dan Rasulullah saw tidak memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkannya dalam satu mus}h}af di antara alasan-alasannya ialah:
1-      Konsentrasi para sahabat pada waktu itu terpusatkan pada hafalan Alquran dan mereka berlomba-lomba menghafalkan Alquran di luar kepala. Oleh karena itu, tidak heran bila pada saat itu banyak di antara sahabat yang hafal Alquran.
2-      Pada saat wahyu di turunkan pada Nabi Muhammad saw sering terjadi penambahan atau kerap terjadi penghapusan sebagian ayat Alquran (Na>sikh). Bila Alquran telah dibukukan dalam satu mus}haf sedangkan posisi ayat Alquran masih ada kemungkinan untuk disalin, maka Alquran harus selalu diperbarui setiap saat. Oleh karena itu, pengumpulan Alquran terjadi setelah semua ayat-ayat Alquran di turunkan (setelah wafatnya Nabi Muhammad saw).[3]
B-   Penulisan dan Jam’ al-Qur’a>n Pertama (masa Abu Bakar)
Sebagaimana yang telah kita ketahui di atas, Alquran belum terbukukan dalam satu mus}h}af hingga wafatnya Rasulullah saw dengan alasan-alasan yang telah diulas sebelumnya. Maka setelah wafatnya Rasulullah saw Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pada tahun 11 Hijriah, pada saat pemerintahan Abu Bakar inilah sering terjadi fenomena yang membuat resah umat Islam di antaranya; banyaknya umat orang murtad dan banyak golongan yang tidak mau mengeluarkan zakat. Melihat kondisi seperti ini, Abu Bakar tidak hanya diam melainkan ia mengatur strategi untuk memerangi orang-orang murtad agar bisa kembali pada agama Islam.
Usai menangani orang-orang murtad pada tahun 11 Hijriah, terjadilah peperangan yang lebih membuat resah umat Islam yaitu peperangan Yamamah yang terjadi pada permulaan tahun 12 Hijriah. Pada peperangan itu, agama Islam mengalami kerugian teramat besar, karena banyak dari orang Islam meinggal dunia dan banyak dari kalangan sahabat yang hafal Alquran gugur di medan perang. Bila dikalkulasi 70 h}uffa>z} yang gugur pada peperangan tersebut.
Setelah mendengarkan kabar akan banyaknya h}uffa>z} gugur di medan perang, Umar bin Khat}ab melapor pada Abu Bakar dan ia memberi usulan agar membukukkan Alquran dalam satu mus}haf mengikuti susunan ayat dan surat. Usulan Umar bin Khat}ab bukan tanpa alasan, melainkan ia berfikir lebih maju. Ia takut Alquran lenyap dari muka bumi sebab banyaknya h}uffa>z} yang meninggal dunia. Akan tetapi usulan Umar perihal Jam’ al-Qur’a>n, ditolak oleh Abu Bakar dengan alasan pengumpulan Alquran dalam satu mus}haf belum pernah dilakukkan oleh Rasulullah saw pada masa hidupnya. Umar tidak putus asa merayu Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam satu mus}h}af, ia mengulang-ulang alasannya dalam pembukuan hingga pada akhirnya hati Abu Bakar terbuka dan menyetujui argumen Umar. Lantas Abu Bakar memerintah Zaid bin Thabit agar mengumpulkan Alquran.
C-   Penulisan dan Jam’ al-Qur’a>n Kedua (Uthman bin Affan)
Turunnya Alquran dengan menggunakan tujuh huruf merupakan sesuatu yang tidak asing bagi umat Islam, karena Alquran bisa dibaca dengan tujuh huruf telah cercatat dalam hadi>th s}ah{ih{ yang mutawa>tir. Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah saw membacakan Alquran pada para sahabat dengan tujuh bacaan, namun tidak semua sahabat serempak mahir dalam tujuh bacaan tersebut. Di antara mereka ada yang hanya bisa membaca dengan satu bacaan, ada juga yang dua bacaan, dan ada pula yang lebih dari itu. Dengan beranjaknya waktu kekuasaan Islam melebar dan para sahabat pun menyebar kebelahan negara yang telah ditakkukan, mereka menyebarkan dakwah-dakwah Islam sebagaiaman yang telah ia pelajari saat bersama Rasulullah saw. Mereka juga mengajarkan bacaan Alquran pada semua umat Islam, namun seperti yang telah kita ketahui di atas tidak semua sahabat menguasai tujuh bacaan, melainkan mereka mengajarkan bacaan yang mereka kuasai saja.
Pada awalnya, Alquran diturunkan dengan tujuh huruf agar bisa mempermudah umat Islam dalam membaca Alquran, akan tetapi dengan bergesernya waktu dan semakin banyaknya orang-orang non Islam masuk dalam agama Islam serta minimnya pengetahuan dalam bacaan Alquran menjadi sebab pengunggulan dan kefasehan dalam bacaan. Lebih parah dari itu, mereka beranggapan bahwa bacaannya paling benar dan bacaan orang lain salah. Hal ini terjadi saat mereka berkumpul dalam medan perang. Inilah yang menjadi salah satu sebab Uthman bin Affan mengambil keputusan untuk membukukan Alquran dan menghapus semua Alquran yang beredar di setiap negara.
Perbedaan bacaan yang terjadi pada umat Islam saat memerangi orang Sha>m dalam penaklukan Armeniah dan Adhribaijan, membuat H{udaifah al-Yamani resah dan langsung melaporkan pada Uthman khalifah pada saat itu untuk membukukan Alquran dengan tujuan agar umat Islam tidak seperti umat Yahudi dan Nas}rani yang selalu berbeda pendapat dalam masalah kitabnya. Tanpa berfikir panjang, Uthman mengaimini pendapatnya dan ia langsung bermushawarah dengan pembesar sahabat dalam masalah penulisan Alquran kedua kalinya (penulisan Alquran di masa Uthman terjadi pada akhir dari tahun 14 hijriah atau awal dari tahun 15 hijriah). Setelah para pembesar sahabat setuju, ia memerintah Zaid bin Thabit (wafat. 45 H), Abdullah bin Zubair (wafat. 73 H), Sa’id bin ‘A<s} (wafat. 58 H), dan Abdurrahman bin al-H{arith bin Hisha>n (wafat. 43 H) untuk menulis ulang Alquran dengan menggunakan pijakan Alquran Abu Bakar yang ada ditangan H{afs}ah. Setelah Alquran Uthman siap diterbitkan, Alquran Abu Bakar dikembalikan pada H{afs}ah. Alquran Uthman pun disebarkan keseluruh penjuru dan membakar semua Alquran yang selain tulisan Uthman.


















BAB III
PERKEMBANGAN DALAM TULISAN MUS{H{AF UTHMANI
Setelah kita mengetahui sedikit tentang penulisan Alquran pada masa Uthmani, maka yang perlu kita ketahui mus}h}af Uthmani hanyalah berbentuk lukisan yang mana disitu tidak ada harakat dan titiknya (tidak sama dengan Alquran yang kita pegang sekarang). Namun dengan bergesernya waktu, Alquran mengalami perkembangan dan pelengkapan. Dan dengan bergesernya waktu Alquran dilengkapi dengan harakat dan titik-titik agar tidak terdapat kesalahan dalam bacaan dan bisa membedakan antara satu huruf dengan huruf yang lain.
Perkembangan dalam penulisan mus}h}af Uthmani tergolong sesuatu yang penting diketahui, agar kita (sebagai orang Islam) mengetahui betul tentang hal yang bersangkut-paut dengan Alquran. Mungkin, kita tidak pernah menyangka bahwa penulisan Alquran yang ada ditangan kita sekarang sudah mengalami perubahan berkali-kali dalam penulisan, mulai dari penulisan di masa Nabi Muhammad saw, kemudia Abu Bakar (wafat. 13 H), dilanjutkan oleh Uthman (wafat. 25 H), dilengkapi oleh Abu al-Aswa>d al-Duali (wafat. 67 H), disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad (wafat. 170 H), dan seterusnya. Untuk mempersingkat pembahasan disini akan dibahas satu-persatu dari sejarah mencetus harakat (Shakl/Nuqt}ah al-I’ra>b) dan titik (Nuqt}ah/Nuqt}ah al-I’ja>m).
A-  Sejarah Peletakan Harakat (Shakl/Nuqt}ah al-I’ra>b)
Maksud dari harakat disini ialah sesuatu yang menunjukkan pada bacaan huruf/menghilangkan kesamaran baik itu berupa huruf hidup (berharakat) atau mati (sukun) tiada beda di awal, pertengahan, atau akhir kalimat. Maka, dari sini bisa kita tarik sebuah kesimpulan arti dari kata harakat (Shakl) adalah menghilangkan kesamaran dalam bacaan.
Para sejarawan telah bersepakat, bahwa pada permulaan munculnya Islam (permulaan abad pertama hijriah) orang-orang Arab tidak ada yang mengetahui harakat dengan istilah di atas. Meski mereka tidak mengetahui istilah harakat dan titik, namun mereka berinteraksi dengan lafad-lafad yang seakan-akan beharakat dan bertitik menurut kabiasaan dan fitrah mereka yang tidak terjadi kepiluan dan kesalahan dalam berbicaan. Semua itu disebabkan mereka benar-benar fasih dan menguasai balaghah. Mereka berbicara dengan menggunakan kalimat-kalimat fasih walau tidak mengetahui kaidah-kaidah. Oleh karena itu, pada permulaan penulisan Alquran dalam tiga tingkatan yang telah tertulis di atas tanpa menggunakan harakat dan titik, karena dalam jiwa mereka sudah tertanam bahasa Arab dan juga dalam pembacaan Alquran melalui talaqi dan periwayatan dari mulut ke mulut. Dengan cara demikian, maka Alquran tidak membutuhkan harakat dan titik.
Pada saat kekuasaan Islam melebar dan tercampur baurnya antara orang Arab dan non Arab, kefitrahan dalam berbahasa Arab pun mulai pudar dan mulai terjadi kepiluhan berbahasa Arab. Dari sinilah para ulama mulai memusatkan perhatian serta menjaga Alquran dari kepiluhan dan kesalahan, melihat Alquran itu sendiri merupakan sumber primer dan rute menuju jalan yang benar bagi umat Islam. Bersamaan dengan terjadinya kepiluhan dan kesalahan dalam membaca Alquran terdapat sebagian di anatar umat Islam yang menguasai ilmu Nahwu (Syntax), unggul dalam hafalan Alquran, dan bacaannya seperti Abu al-Aswa>d al-Duali (wafat. 67), Yahya bin Ya’mar al-Dawa>ni (wafat. 90 H ), Nas}r bin ‘A<s}im al-Laithi (wafat. 90 H), dan lain-lain.
Para sejarawan masih berbeda pendapat mengenai penggagas pertama dalam pembuatan harakat, di antara mereka ada yang mangatakan Abu al-Aswa>d, ada juga yang berpendapat Nas}r bin A<s}im, dan sebagaian lagi berpandangan Yahya bin Ya’mar. Akan tetapi setelah meneliti dari sejarah dan riwayat yang ada, ternyata lebih kuat pendapat sejarawan yang menyatakan Abu al-Aswa>d peletak pertama harakat dalam Alquran. Di bawah ini merupakan riwayat-riwayat yang memperkuat Abu al-Aswa>d peletak harakat:[4]
1-      Tertulis dalam sebuah riwayat, suatu ketika Abu al-Aswa>d mendengar kesalahan bacaan yang keluar dari lisan anak putrinya sendiri, dari situ Abu al-Aswa>d berfikir untuk menyelamatkan semua umat Islam dari kesalahan dalam bacaan Alquran.
2-      Dalam riwayat lain menyatakan, suatu saat tanpa sengaja Abu al-Aswa>d mendengakran seorang laki-laki dari Persia bernama Sa’d terdapat kesalahan dalam berbicara, lantas orang sekitar yang mendengarkan tertawa terbahak-bahak sebab kesalahan itu.
3-      Riwayat lain mencatat, bahwa Ziya>d (pemerintah Bas}rah) mendengarkan kesalahan dalam berbicara dari penduduknya yang menghadap padanya, kemudia ia melaporkan pada Abu al-Awa>d memohon agar Abu al-Awa>d melakukan sesuatu yang bisa mencegah dari kesalahan saat berbicara.
4-      Tertuang dalam salah satu riwayat, suatu ketika Abu al-Awa>d mendengarkan kesalahan bacaan Alquran dari sebagian umat Islam. Melihat keadaan yang seperti itu Abu al-Awa>d berinisiatif untuk membuat rumus harakat pada Alquran dengan menggunkan titik-titik pada setiap huruf dan membuat buku spesial dalam masalah Syntax.
5-      Dan dalam riwayat lain menyatakan, Ali bin Abi T{alib mendengarkan kesalahan dalam bacaan di negara Irak, kemudian Ali bin Abi T{alib memerintah Abu al-Aswa>d untuk membuat koredor ilmu Nahwu.
Dari riwayat-riwayat yang tercantum di atas lebih banyak mengindikasikan peletak pertama dalam pembuatan harakat adalah Abu al-Aswa>d, namun walau demikan para pakar sejarah masih berbeda persepsi kala menyimpulkan riwayat-riwayat di atas. Sebagain dari mereka beranggapan Abu al-Aswa>d adalah peletak pertama harakat Alquran dan ilmu Nahwu, sebagaian lain berpandangan ia hanya peletak ilmu Nahwu, dan selagian lagi mempunyai persepsi Abu al-Aswa>d hanya pencetus harakat Alquran. Walau para sejarawan berbeda pendapat perihal penemuan Abu al-Aswa>d, akan tetapi mereka sepakat bahwa membuat harakat yang berupa titik-titik terrealisasikan pada masa pemerintahan Ziya>d di Bas}rah yang bermula dari tahun 44 samapai tahun 53 hijriah.
Untuk memperkuat tendensi bahwa Abu al-Aswa>d adalah perumus pertama pembuatan harakat, maka tidak berlebihan bila pemakalah mencatumkan sebuah riwayat dari Abu Bakar al-Anba>ri
(ما رواه ابو بكر الأنباري قال : حدثني أبي قال : حدثنا أبو عكرمه قال : قال العتبي : كتب معاوية إلى زياد يطلب عبيد الله ابنه ، فلما قدم عليه كلمه فوجده يلحن ، فرده إلى زياد وكتب إليه كتاباً يلومه فيه ويقول : أمثل عبيد الله يضيع ؟ فبعث زياد إلى أبي الأسود فقال : يا أبا الأسود إن هذه الحمراء قد كثرت وأفسدت من ألسن العرب ، فلو وضعت شيئاً يصلح به الناس كلامهم ويعربون به كتاب الله ، فأبى ذلك أبو الأسود وكره إجابة زياد إلى ما سأل ، فوجه زياد رجلاً فقال له : اقعد في طريق أبي الأسود ، فإذا مر بك فاقرأ شيئاً من القرآن وتعتمد اللحن فيه ، ففعل ذلك .
فلما مر به أبو الأسود رفع الرجل صوته يقرأ ) أن الله بريء من المشركين ورسولِه ( فاستعظم ذلك أبو الأسود وقال : عز وجه الله أن يبرأ من رسوله ، ثم رجع من فوره إلى زياد فقال : يا هذا ، قد أجببتك إلى ما سألت ، ورأيت أن أبدأ بإعراب القرآن ، فابعث إليّ ثلاثين رجلاً ، فأحضرهم زياد فاختار منهم أبو الأسود عشرة ، ثم لم يزل يختارهم حتى اختار منهم رجلاً من عبد القيس ، فقال : خذ المصحف وصبغاً يخالف لون المداد ، فإذا فتحت شفتيّ فانقط واحده فوق الحرف ، وغذا ضممتها فاجعل النقطة إلى جانب الحرف ، وإذا كسرتها فاجعل النقطة في أسفله ، فإن أتبعت شيئاً من هذه الحركات غنة فانقط نقطتين ، فابتدأ بالمصحف حتى أتى على آخره ، ثم وضع المختصر المنسوب إليه بعد ذلك)[5]
Dari riwayat di atas bisa kita fahami bahwa Abu al-Aswa>d adalah penemu pertama dalam pembuatan harakat bahasa Arab pada umumnya dan harakat Alquran pada khusunya. Adapun sebab-sebab membuatan harakat tiada lain kecuali semakin merosotnya orang-orang Islam dalam memahami bahasa Arab yang menjadi meyebabkan kesalahan saat berbicara dan membaca teks Arab. Melihat kondisi seperti itu, Ziya>d memerintah Abu al-Aswa>d untuk membuat rumus bacaan agar orang Islam tidak salah dalam membaca Alquran.
Selain itu, bila diteliti dari riwayat di atas, maka kita bisa mengetahui metode bacaan yang diterapkan oleh Abu al-Aswa>d hanya berupa titik-titik sebagai pemisah antara huruf yang harus dibaca Fathah, D{ammah, dan Karsrah. Titik-titik yang berposisi sebagai harakat tidak sembarangan diletakkan, akan tetapi mempunyai lokasi tersendiri agar mudah memisahkan antara tiga harakat tersebut. Sedangkan penempatan titik-titik itu ialah: bila huruf berkarakat Fathah, maka ditandai dengan titik di atas huruf, jika berkarakat D{ammah, ditelakkan di samping huruf, dan bila Kasrah, maka titik berposisi di bawah huruf. Peletakan titik ini diisharahkan dari perkataan Abu al-Aswa>d sendiri dengan pekataannya “Apabila kedua bibirku terbuka, maka berilah titik di atas huruf, bila kedua bibirku berkumpul, maka beri titik di semping huruf, dan bila kedua bibirku terpisah, maka beri titik di bawahnya.”
Harakat dengan menggunakan system titik-titik seperti yang ditetapkan Abu al-Aswa>d ini berjalan mulus tanpa adanya perubahan hingga datangnya masa Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di (wafat. 170 H). Pada saat itulah Khalil mulai berfikir untuk mengembangkan rumus harakat buatan Abu al-Aswa>d dengan harapan agar semua orang yang mebaca Alquran mudah membedaan antara satu harakat dengan harakat lain, sebagaimana keterangan dari riwayat al-Da>ni
(الشكل الذي في الكتب من عمل الخليل ، وهو مأخوذ من صور الحروف ، فالضمة واو صغيرة الصورة في أعلى الحرف ؛ لئلا تلتبسَ بالواو المكتوبة ، والكسرة ياء تحت الحرف ، والفتحة ألف مبطوحة فوق الحرف)
 “Harakat yang terdapat pada kitab-kitab merupakan karya buatan Khalil, yang mana harakat itu dikutip dari gambar huruf. Harakat D{amah diambil dari huruf Wau kecil terletak di atas huruf ‘agar tidak sama dengan huruf Wau yang tertulis’ Kasrah dari Ya’ posisi di bawah huruf, dan karakat Fathah alif terlentang di atas huruf.”[6]
Dari riwayat di atas kita bisa memahami bahwa harakat buatan Abu al-Aswa>d mengalami sebuah perubahan saat Khalil bin Ahmad datang. Dengan menggunakan rumus-rumus baru yang lebih mudah dicerna oleh semua kalangan dan tanda bacanya menggunakan huruf-huruf itu sendiri seperti harakat Fathah menggunakan Alif, Kasrah menggunakan Ya>’, D{amah isyarahkan dengan Wau, Tashdid dengan kepala huruf Shi>n, Sukun (tanda huruf mati) dengan menggunakan kepala huruf H{a>’, dan lain-lain.[7]
Mungkin bagi kita yang hidup pada adab ke-15 hijriah bisa langsung menerima jadi harakat produk Khalil bin Ahmad, sebab kita ‘buta’ akan penggagas pertama harakat yaitu Abu al-Aswa>d. Bila kita tengok dari sejarah yang telah lampau, kita akan menemukan penolakan renovasi harakat yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad. Pada saat Khalil menawarkan model harakat yang berbeda dengan Abu al-Aswa>d, penawaran tersebut tidak langsung mendapat respon positif dari pada ulama pada saat itu. Mereka menolak harakat buatan Khalil dan melarang semua orang menggunakannya. Mereka lebih memilih harakat yang hanya menggunkan titik-titik karya Abu al-Aswa>d dengan alasan model harakat buatan Khalil adalah harakat untuk shair dan tidak layak diterapkan pada Alquran, selain itu mereka juga beralasan karya klasik lebih utama dari pada karya modern.[8] Tidak salah jika mereka berkata demikian, karena bila dilihat lagi dari tahun kelahiran, Abu al-Aswa>d tergolong orang yang hidup di masa sahabat Nabi saw. Ia meinggal dunia pada tahun 67 hijriah, sedangkan Khalil bin Ahmad meninggal pada tahun 170 hijriah.
Namun, dengan bergesernya waktu kepekaan umat Islam pada khususnya mulai merosot sehingga membutuhkan harakat yang lebih jelas untuk membedakan satu bacaan dengan bacaan lain, maka harakat Khalil pun diterima dengan lapang dada. Dan bila diteliti lagi maksud dan tujuan Khalil membuat harakat sedemikian rupa hanya untuk menjaga ontetitas Alquran dari perubahan dan penggantian bacaan.

B-  Benarkah Harakat Karya Abu al-Aswa>d Adopsi dari Bahasa Lain?
Dikala membahasa soal harakat, maka tidak akan lepas dari perdebatan para sajawaran orientalis mengenai asal-muasal harakat dalam Alquran, tiada beda harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d al-Duali ataupun penyempurnaan dari Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di. Tertulis dalam sebagian buku-buku sejarah bahasa Arab, bahwa harakat buatan Abu al-Aswa>d hasil adopsi dari orang-orang Surya>ni. Adapun penggagas pikiran adopsi seperti ini adalah salah satu tokoh orientalis yang bernama Jurji Zidan. Pertama-tama ia menejelaskan tentang membuatan koredor ilmu Nahwu, ia berkata “Saya mengira/berpraduga, dalam penyusunan bab-bab ilmu Nahwu orang-orang Arab mengadopsi dari bahasa Suryani.” Kemudia ia melanjutkan pernyataannya dengan menyinggung Abu al-Aswa>d yang telah dikultuskan sebagai peletak pertama ilmu Nahwu “Seakan-akan Abu al-Aswa>d telah mempelajari bahasa Suryani atau mendalami ilmu Nahwunya, kemudia Abu al-Aswa>d memiliki keinginan untuk menyusun ilmu Nahwu dengan mengadopsi ilmu Nahwu Suryani.”[9]
Setelah penjang lebar ia menjelaskan asal-muasal pembuatan ilmu Nahwu, mulailah ia menyinggung soal harakat yang telah dirumuskan Abu al-Aswa>d. Zidan pun berkata “Menurut pendapat yang lebih unggul, Abu al-Aswa>d menjiplak dari harakat orang-orang al-Kaldan atau al-Suryani yang bertempat di Irak. Dalam tulisan mereka sudah tercantum titik-titik besar yang diletakkan pada setiap huruf baik terletak di atas atau di bawah huruf dengan tujuan agar bisa membedakan satu huruf dari huruf yang lain dan membedakan perkalimat, seperti kalimat Isim, Fi’il, atau Huruf. Dari sini sudah sangat jelas bahwa Abu al-Aswa>d menjiplak harakat yang dimiliki oleh bangsa Suryani atau Kaldani.”[10]
Dari ungkapan Zidan di atas sama sekali tidak bisa dijadikan pijakan dan tidak bisa dibenarkan, karena ia masih menggunkan perkiraannya sendiri tanpa di dasari oleh dalil pasti. Jika dikoreksi lagi dari ungkapannya di atas, ia masih ragu-ragu terhadap ungkapannya sendiri. Dari kata “ Saya berpraduga (يغلب على ظننا), seakan-akan(كأنه) , dan pendapat yang unggul(الأرجح) .” ungkapan dengan menggunakan kata di atas mengindikasikan sebuah keraguan bahkan menurut perkembangan bahsa Arab, kalimat-kalimat di atas menggambarkan sesuatu yang tidak nyata atau hanya sebuah praduga tanpa adanya dasar pasti.[11]
Selain ungkapan Zidan di atas, masih terdapat ungkapan sejarawan lain yang menyatakan harakat karya Abu al-Aswa>d adalah jiplakan dari harakat Suryani. Hasan ‘Aun yang menyatakan demikian, dengan menggunakan pemalsuan sejarah ia bisa mengatakan dengan tegas bahwa Abu al-Aswa>d menggutip harakat dari orang-orang Suryani. Adapun ungkapan Hasan ‘Aun sebagaimana berikut:
“Saya mempunyai dalil yang menyatakan dengan jelas bahwa Abu al-Aswa>d mengutip gaya harakat yang dimiliki oleh ulama Nahwu Suryani. Sebagian dari dalil-dalilnya ialah sebagaimana yang telah kita ketahui Abu al-Aswa>d telah menjadikan kehidupan Negara Iraq sebagai rumahnya, karena ia menjadi parlemen kenegaraan di sana, di Negara itu juga ia bisa menguasai bahasa, dan menjadi pembesar tokoh keagamaan. Kita tahu, bahwa lingkungan di Iraq baik sebelum atau setelah ditaklukkan oleh orang Abar selalu dijajah oleh bahas dan pengetahuan Suryani, di negri itu pula pribumi selalu intraksi dengan ulama Suryani. Lebih dari itu, Negara Iraq menjadi markas pembelajaran dan diskusi orang Suryani bukan hanya sebatas ilmu agama dan filsafat saja melainkan semua ilmu termasuk ilmu Nahwu dan bahasa. Kita juga mengetahui bahasa Arab melemah setelah Islam memperlebar kekuasaannya, ini pun juga terjadi pada bahsa Suryani yang bertepatan pada tahun ke 4 s.d 5 masehi yang mana pada kedua tahun tersebut telah tersebar bahasa-bahasa asing yang merasuk pada bahasa komunikasi sehari-hari, penulisan, dan tersebar luas kepiluhan saat komunikasi. Melihat kondisi sepeti itu, para ulama Suryani mulai merasa takut kepiluhan itu merampat dapa kitab suci mereka. Dari sinilah mereka mulai berfikir membuat koredor bacaan untuk mengharakati kitab suci mereka dan tidak ada korodor bacaan lain selain koredor yang dibuat olah Abu al-Aswa>d saat memberika harakat pada Alquran. Apakah bukan termasuk penghianatan bila kita mengatakan Abu al-Aswa>d tidak menjiplak gaya harakat orang-orang Suryani yang mana mereka lebih dahulu membuat harakat?.”
Hasan ‘Aun bemberikan penjelasan lagi, namun menjelasan itu tidak bisa dibenarkan dan jauh dari kenyataan. Ia berkata “Aku mengiran, bahakan menggunggulkan bahwa Abu al-Aswa>d mengetahui bahasa Suryani minimal dengan kadar bisa memahami bahasa itu, ia pun telah membaca sebagian naskah-naskah yang tertulis dengan menggunakan bahasa Suryani. Semua itu disebabkan Abu al-Aswa>d telah lama mukim di daerah Iraq, memusatkan perhatian pada perkembangan bahasa, dan agama saat tinggal di Iraq. Dari sini ada kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur dengan orang-orang Arab.”[12]
Mendengar dari perkataan Hasan ‘Aun di atas para sejarawan mulai melacak kebenaran data yang telah Hasan ‘Aun sampaikan. Mayoritas sejarawan menolak ungkapan tersebut terlebih pada ungkapan “Negara Iraq telah dijajah oleh bahasa dan pengetahuan Suryani” dan pernyataannya “Kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur dengan orang-orang Arab.” Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan benenaran kedua pernyataan di atas dan tidak ada satupun dari sejarawan yang memiliki gagasan seperti itu. Jika memang benar ada sebagian dalil yang menunjukkan bahwa agama daerah H{i>rah telah dikuasai oleh orang Nas}rani, maka terdapat pula dalil yang menyatakan dan memperkuat bahwa sebelah barat dan uatara Negara Iraq telah dikuasai oleh mudaya arab, pada saat itu orang arab telah bercampur dengan pribumi di sana. Bahakan daerah al-Amarah yang terletak di H{i>rah menggunakan bahasa Arab dan menulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Para sejarawan menjelaskan penduduk arab yang terletak di sebelah barat Furat seperti H{i>rah, ‘Ain al-Tamr, al-Anba>r, dan lain-lainnya menulis dengan menggunakan bahasa Arab sebelum orang Arab memasuki kawasan itu. Dari keterangan di atas bisa dipetik kesimpulan bahwa Negara Iraq tidak pernah dijajah oleh orang-orang Suryani. Dan jika ada bahasa lain yang menyaingi bahasa Arab di sebelah barat dan utara Negara Iraq pada permulaan munculnya Islam, maka bahasa itu adalah bahasa Persia, bukan bahasa Suryani.
Bila diteliti lagi, ternyata daerah H{i>rah bukanlah sebuah pusat pergerakan orang Nas}rani di arah timur, namun daerah itu hanya menjadi target pelebaran pergerakan Nas}rani. Selain itu, sekian banyak pendapat mengenai pembuatan tanda bacaan dalam buku-buku Suryani tidak mengindikasikan di daerah H{i>rah, akan tetapi berlokasi di pingiran Asia.[13]
Dari sekian banyak pendapat mengenai pembuatan tanda baca yang terjadi pada orang-orang Suryani masih terjadi kontrovirsial, maka hal ini mengindikasikan bahwa Abu al-Aswa>d terlebih dahulu merumuskan harakat dari pada orang Suryani. Perlu kita ketahui, bangsa Suryani memiliki dua tanda baca yang Pertama titik-titik kecil yang terletak di atas, bawah, atau atas dan bawah huruf secara bersamaan, tanda baca ini berlaku pada kalangan Suryani sebelah timur. Adapun tanda baca Kedua  tanda baca yang diambil dari abjad huruf Yunani yang terletak di atas atau bawah huruf, model kedua ini digunakan oleh Suryani sebelah barat.
Namun terdapat hal yang tidak bisa dipungkiri oleh para sejarawan bahwa pada masa hidupnya Ya’qu>b al-Raha>wi yang meninggal pada permulaan tahun ke-8 bagsa Suryani tidak pernah sama sekali menggunakan kedua model tanda baca di atas. Bahkan dalam salah satu kitab yang menjelaskan tentang bahasa Suryani (Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>) karya Zakiyah Muhammad Rushdi mencatat bahwa konon metode bacaan yang berupa titik-titik kecil pada huruf bermula pada pertengahan abah ke-8 masehi.[14] Maka jika dikalkulasi dari meninggalnya Ya’qub al-Raha>wi pada tahun ke-8 masehi (lebih tepatnya tahun 708 M) yang mana pada saat itu tanda baca belum ditemukan sama dengan tahun ke-90 hijriah.[15] Dari peng-kalkulasian ini kita sudah bisa membaca tanda baca yang dibuat oleh Abu al-Aswa>d al-Duali lebih awal daripada orang Suryani, karena Abu al-Aswa>d meninggal pada tahun 67 hijriah.
Dan dari sini pula, sudah bisa melemahkan dalil yang digunakan oleh orang-orang yang mengatakan Abu al-Aswa>d menjiplak harakat dari orang Suryani, sebab bagaimana bisa Abu al-Aswa>d menjiplak dari mereka sedangkan munculnya harakat dari Suryani pada peruh kedua adab ke-8 Masehi/tahun 90 Hijriah, padahal Abu al-Aswa>d sudah meningeal pada tahun ke-67 Hijriha?.
Bukan hanya Abu al-Aswa>d yang menjadi sasaran keritikan, Khalil bin Ahmad yang dikultuskan sebagai menyempurna tanda baca Abu al-Aswa>d pun juga mereka klaim sebagai penjiplak harakat Yunani. Hal ini diungkapkan oleh tokoh yang bernama Ibra>him Mus}t}afa>. Pertama-tama ia menjelaskan tentang orang pertama pembuat ilmu Nahwu, kemudia ia menyinggung pembuatan harakat yang dilakukan Khalil bin Ahmad. Ibra>him berkata "وَقَالُوْا : وَقَدْ اْتَخَذَ ذَلِكَ عَنِ الْيُوْنَانِيَةِ, وَكَانَ قَدْ قَرَأَهَا (mereka berkata: sungguh ‘Khalil bin Ahmad’ telah mengambil itu ‘harakat’ dari bangsa Yunani, dan dia pun benar-benar telah membaca tulisan Yunani).[16] Namun, perlu ditanyakan keterangan dari Ibra>him Mus}t}afa> tidak menjelaskan secara detail siapa saja yang masuk dalam katagori kalimat “Mereka berkata”? ia juga tidak menjelaskan dari mana Khalil mengetahi bahasa Yunani?, dan bagaimana Khalil membaca tulisan Yunani?. Ini merupakan sebuah tugas yang harus dicari serta dijernihkan oleh Ibra>him Mus}t}afa>.
C-  Sejarah Peletakan Titik-Titik Pemisah Huruf Yang Sama (Nuqt}ah al-I’ja>m)
Usai mengkaji sejarah peletakan harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d al-Duali dan disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di, serta menolak ideology para sejarawan yang mengatakan bahwa gaya peletakan harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d hasil adopsi dari Suryani, maka beralih pula pembahasan kita pada peletakan titik-titik pemisah huruf yang serupa atau bila diarabkan menjadi Nuqt}ah al-I’ja>m. Melihat pada permulaan Alquran ditulis tanpa menggunakan harakat dan titik. Namun sebelum kita beranjak dari pembahasa harakat, kita harus mengetahui bahwa penulisan harakat yang dicetuskan oleh Abu al-Asawa>d dengan menggunakan warna berdeba dari tulisan lafad Alquran. pada saat itu tulisan lafad-lafad Alquran menggunakan tinta yang berwana hitam dan harakatnya menggunakan tinta berwarna kungin emas.
Pembahasan Nuqt}ah al-I’ja>m ini sangatlah penting menurut pendangan penulis, karena dengan mengetahui pembahasan ini, wawasan kita akan lebih melebar dan kita bisa mengakui kebenaran bahwa Alquran adalah produk budaya. Untuk mempersingkat waktu, langsung saja kita memasuki pada inti pembahasan peletakan titik-titik pemisah huruf yang serupa.
Data yang ditemukan dari para sejarawan masih amat simpang-siur perihal penggagas pertama Nuqt}ah al-I’ja>m. Namun, sejarawan sepakat bahwa penyebab peletakan Nuqt}ah al-I’ja>m adalah banyak orang-orang yang tidak bisa membaca Alquran yang disebabkan tidak bisa memisahkan satu huruf dari huruf lain, walau pada saat itu sudah ada harakat. Dan yang menjadi perselisihan para sejarawan ialah siapa orang tokoh yang menerapkan Nuqt}ah al-I’ja>m pada kalimat-kalimat yang ada dalam Alquran?. Sebagian dari sejarawan berpendapat bahwa Nuqt}ah al-I’ja>m sudah ada sebelum Islam terlahirkan, namun orang-orang pada saat itu mengabaikannya, sejarawan lain perpendapat Abu al-Aswa>d (wafat 67 H) pencetus titik-titik pemisah huruf yang serupa. Namun, Nuqt}ah al-I’ja>m ini tidak tersebar luas kesemua umat Islam hingga tiba saat kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (tahun kekuasaan 65-86). Pada saat inilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luas dan menjadi sebuah kebutuhan pokok umat Islam dalam mempelajari Alquran, melihat semakin melebarnya kekuasaan Islam dan bertambah pesatnya percampuran orang Arab dan non Arab.
Maka untuk menanggulangi problem kesulitan dalam membaca Alquran Abdul Malik bin Marwan memerintah al-Hajjaj yang berposisi sebagai wali kota Iraq (tahun kekuasaan 75-86) untuk mencari solusi agar orang-orang Islam tidak kesulitan dan salah saat membaca kalimat-kalimat yang masih samar. Hingga akhirnya al-Hajjaj pun pemilih dua tokoh terkemuka Islam pada saat itu yang bernama Nas}r bin‘A<s}im al-Laithi (wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar (wafat 90 H). Kedua tokoh di atas tersohor dengan kewaraan, kesalehan, menguasai bahasa Arab, dan keduanya termasuk murid Abu al-Aswa>d.[17] Bermula dari sinilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luasa pada semua kalang umat Islam di dunia.
D-  Pembagian Ayat-Ayat Alquran
Dengan bergesernya waktu Alquran turut mengalami perkembangan. Perkembangan yang ada dalam Alquran tiada lain hanya untuk mempermudah orang Islam dalam membaca, memahami, dan menghafalnya. Sebagimana yang telah pemakalah singgung di atas, pada awalnya Alquran tertuliskan pada batu, pelapa kurma, tulang belulang, dan lain-lain yang masih berserakan, tidak rapi, dan belum terkodifikasi, kemudia mengalami perkembangan saat masa Abu Bakar yang mana ia sukses membukukan ayat-ayat Alquran dalam satu mus}h}af, namun pada saat itu banyak sahabat lain yang memiliki mus}h}af pribadi. Bergeser pada masa kepemerintahan Uthman bin Affan, ia berusaha untuk menyatukan semua umat Islam dalam bacaan agar tidak terjadi perbedaan yang mengakibatkan terpecahnya umat Islam sebab perbedaan bacaan sebagaimana uamat-umat nabi terdahulu. Seling beberapa tahun, Mu’a>wiyah bin Abi Sofya>n menjabat sebagai khalifah pertama dari dinasti Bani Umayyah, pada saat itu Alquran mengalami perkembangan dengan memberikan tada abaca yang berupa titik-titik (karakat).Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Alquran delengkapi dengan tanda pemisah huruf yang sama seperti ب, ت, ث, ن, ف, ق, dan lain-lain.
Kemudian, Alquran mengalami perkembangan dengan membagian ayat-ayat Alquran dengan cara memberikan nomer ayat dan membagi juz. Tujuan mereka memunculkan ideology seperti ini agar umat Islam bisa lebih semangat dalam membaca dan menghafal Alquran terlebih pada saat datangnya bulan suci Ramadan. Dengan adanya tujuan agung dan mulia ini sebagian ulama mulai perfikir untuk membagi ayat-ayat Alquran menjadi 30 bagian, setiap bagian diberi nama juz. Dalam juz terdapat terdapat 8 Rubu’.
Di sisi lain, terdapat pula sebagian ulama yang membuat tanda-tanda waqaf dan was}al, yang bertujuan agar lebih mudah dalam memahami ayat-ayat Alquran dan tadabur akan arti-artinya. Ada juga ulama yang membuat tanda-tanda ayat yang disunahkan untuk sujud tilawah yang mana di atasnya tertulis tanda yang meindikasikan akan kesunahan sujud tilawah.
Namun para sejarawan masih berbeda pendapat mengenai penggagas pertama dalam pembuat pemisah satu ayat dari ayat lain. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa penggagas semuanya itu berdasarkan instruksi dari khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah (masa jabatan 198-218). Sejarawan lain mencata semua itu merupakan insteruksi dari al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi (masa jabatan 75-86). Dan ada pula yang mengatakan semuanya adalah ijtihad dari para ulama sendiri tanpa ada yang memerintah.[18]
E-   Kali Pertama Alquran dicetak
Pada masa yang kita injak sekarang sangatlah mudah untuk memperoleh Alquran, semua itu berkah adanya percetakan. Bila kita kembali pada masa sebelum adanya percetakan untuk medapatkan tulisan Alquran teramat sulit, meninjau Alquran bisa diperoleh dengan tulisan tangan yang membutuhkan waktu sangat lama. Sebuah pertanyaan muncul di benak  pemakalah “di manakah kali pertama Alquran dicetak?” Pertanyaan inilah yang akan kita kaji bersama pada pembahasan kali ini.
Para sejarawan sepakat, kali pertama Alquran dicetak disebuah percetakan yang ada di Negara Jerman pada tahun 1106 H/1693M di sebuah kota yang bernama Hamburgh. Yang dicetak oleh Abraham Hinckelman.[19] Cetakan pertama Alquran hingga saat ini masih ada dan bisa ditemukan disebuh percetakan yang bernama Da>r al-Kutub di EGYPT dan di perpustakaan Cairo University.[20] Selang beberapa lama, percetakan masuk ke dunia Islam seperti Negara Turki, Mesir, India, dan Negara Islam lainnya. Dan mulai saat itulah orang Islam bisa mencetak Alquran sendiri.
Mesir terkenal sebagai Negara pencetak Alquran mulai permulaan abad ke-14 Hijriah yang diusung oleh tokoh bernama Rid}wan Ibnu Muhammad pada tahun 1308H/1890M. Dalam penulisan al-Qur’an ini menggunakan gaya tulis mus}h}af Uthmani, gaya harakat Khalil bin Ahmad, dan gaya titik Nas}r bin‘A<s}im al-Laithi (wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar (wafat 90 H). Pada tahun 1337 Hijriah perkumpulan ulama al-Azhar, Kairo, Mesir mengusulkan untuk mencetak ulang Alquran dengan menggunakan riwayat H{afs} bin Sulaiman. Usulan ini sukses dan mus{h{a{f dicetak pada tahun 1342H/1923M yang ditulis oleh Muhammad Ali al-Husaini.[21] Alquran dengan tulisan inilah yang tersebar pada kalangan umat Islam sampai saat ini.






















BAB III.
PENUTUP
Jika kita telah mempelajari dengan seksama dari sejarah awal-mula Alquran hingga perkembangan yang ada pada tulisan mus}h}af Uthmani, maka kita tidak bisa mengetahui validitas Alquran serta bisa menepis argumen oreintalis yang menggembor-gemborkan Alquran mengalami berubahan dan Alquran yang umat Islam pengang adalah karya Uthman bin Affan.
Demikian pula, dari secuil sejarah penulisan dan perkembangan Alquran dari masa-kemasa, kita bisa mengambil sifat tegas dan bijak atas ketidak salahan cendikiawan Islam atau non Islam yang menyatakan Alquran adalah produk budaya Arab. pemakalah akan membuktikan kebenaran ideologi itu:
Pertama  pada awal-mula Alquran diturunkan pada Nabi Muhammad saw, Nabi sama sekali tidak pernah memerintahkan para sahabat mengumpulkan ayat-ayat Alquran dalam satu mus}h}af, namun Alquran baru dikumpulkan dalam satu mus}h}af pada masa Abu Bakar dan Uthman. Ini menjadi bukti bahwa pengumpulan ayat-ayat Alquran dalam satu mus}h}af adalah budaya orang-orang Arab pada saat itu dan budaya ini belum pernah ada sejak zaman Nabi.
Kedua  dalam segi penulisan Alquran terdapat perbedaan antara tulisan satu sahabat dari sahabat yang lain, walau pada kendatinya serasi dalam bacaan. Sebagai contah, dalam koleksi perpustakaan Raza, Rampur, India, ada sebuah mus}h}af yang ditulis dalam skrip Ku>fi yang dinisbatkan kepunyaan Ali bin Abi T}alib, kata على  juga ditulis dengan علا, dan حتى  ditulis dengan حتا. Selain itu, kita bisa memahami perdebatan para penulis Alquran Uthmani saat berselisih pendapat mengenai penulisan lafad التابوت, Zaid perpendapat tulisanya التابوه dengan menggunakan huruf Ha>’, namun pada akhirnya yang dilebih diunggulkan oleh Uthman bin Affah adalah dengan menggunakan Ta>’, karena dengan alasa lebih mencocoki pada bahasa orang Quriash. Apakah dari segi tulisan ini tidak mengindikasikan bahwa Alquran merupakan produk budaya?
Ketiga  masalah membuatan harakat, titik, pembagian ayat-ayat Alquran, dan belum lagi pemberian bingkai yang menghiasa ayat-ayat Alquran. Apakah ini bukan termasuk budaya? Maka saya sangat-sangat setuju bila salah satu guru saya yang bernama Dr. H. Imam Gazali Said berargumen Alquran yang umat Islam pengang sekarang adalah produk budaya. Pandangan beliau mengenai Alquran produk budaya sangatlah tepat, karena beliau meninjau dari sejarah perkembangannya.

Referensi
Abu Shahbah, Muhammad, Muhammad, Madkhal li Dira>sah Alquran al-Kari>m. Riyad}: Da>r al-Liwa’. 1987.
Ali Abdul Wah}id Wa>fi, fiq al-Lughah, Lajnah al-Baya>n al-‘Arabi, 1950.
‘A<yid (al), Sulaima>n bin Ibra>him, “‘Ina>yah al-Muslimi>n bi al-Lughah al-‘Arabiyah Khidmah li Alquran al-Kari>m”, dalam http://www.al-islam.com
Baqa>I (al), Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin Umar, Nadhm al-Durar fi Tana>sub al-Aya>t wa al-Suwar. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1995
Dani (al), Uthman bin Sa’id, Al-Muh}kam fi Nuqt}ah al-Mas}a>h}if, Damskus: Da>r al-Fikr, 1407 H.
Dujani (al), Fath}I Abdul Fatta>h}, “Abu al-Aswa>d al-Du’ali wa Nashah al-Nahwu al-‘Arabi” Tesis—Cairo University , Kairo, 1969.
Ghazali (al), Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Al-Iqtis}a>t fi al-I’tiqa>d. Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003.
Hamad (al), Qaddawari, Gha>nim, Rasm al-Mus}h}af Dira>sah Lufhawi>yah Ta>rikhi>yah. Baghdad: al-Lajnah al-Wat}aniyah li al-Ih}tifa>l bi Mat}la’ al-Qurn al-Khamis ‘Ashar al-Hijri, 1982M/1402H.
Hasan ‘Aun, Al-Lughah wa al-Nahwu, Iskandaria: Mat}ba’ah Royal, 1952.
Jurji Zidan, Ta>rikh A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah, Da>r al-Hilal, 1957 M.
Muhammad Salim Muhsin, Tari>kh Alquran al-Kari>m. Madinah al-Munawwarah: Da>r al-Mamlakah al-‘Arabiyah, 1402 H.
Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, Kairo: Da>r al-Sala>m, 1997 M
Su>yu>t}I (al), Jalaluddin Abdurrahman >, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m Alquran. Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2004M/1425H.
Zakiyah Muhammad Rushdi, Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1956.
Zarqani (al), ‘Abdul Azim, Muhammad, Mana>hil al-‘Irfa>n fi Ulu>m Alquran. Da>r Kita>b al-‘Arabi.


[1] Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Al-Iqtis}a>t fi al-I’tiqa>d, (Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003), 302.
[2] Muhammad Salim Muhsin, Tari>kh al-Qur’a>n al-Kari>m, (Madinah al-Munawwarah: Da>r al-Mamlakah al-‘Arabiyah, 1402 H), 131.
[3] Jalaluddin Abdurrahman al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2004M/1425H), 186.
[4] Dikutip dari, Gha>nim Qaddawari al-Hamad, Rasm al-Mus}h}af Dira>sah Lufhawi>yah Ta>rikhi>yah, (Baghdad: al-Lajnah al-Wat}aniyah li al-Ih}tifa>l bi Mat}la’ al-Qurn al-Khamis ‘Ashar al-Hijri, 1982M/1402H), 491.
[5] Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin Umar al-Baqa>I, Nadhm al-Durar fi Tana>sub al-Aya>t wa al-Suwar, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1995M), 3/269.
[6] Uthman bin Sa’id al-Dani, Al-Muh}kam fi Nuqt}ah al-Mas}a>hif, (Damskus: Da>r al-Fikr, 1407 H), 77.
[7] Sh’aba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo: Da>r al-Sala>m, 1997 M), 89.
[8] Sulaima>n bin Ibra>him al-‘A<yid, “‘Ina>yah al-Muslimi>n bi al-Lughah al-‘Arabiyah Khidmah li al-Qur’a>n al-Kari>m”, dalam http://www.al-islam.com 77.
[9] Jurji Zidan, Ta>rikh A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah, (Da>r al-Hilal, 1957 M), 1/251-252.
[10] Ibid., 253.
[11] Ali Abdul Wa>h}id Wa>fi, fiq al-Lughah, (Lajnah al-Baya>n al-‘Arabi, 1950), 248-249.
[12] Hasan ‘Aun, Al-Lughah wa al-Nahwu, (Iskandaria: Mat}ba’ah Royal, 1952), 251.
[13] Jurji Zidan, Ta>rikh A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah…, 1/251.
[14] Zakiyah Muhammad Rushdi, Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, ), 32.
[15] Ibid., 31.
[16] Lihat, Fath}I Abdul Fatta>h} al-Dujani, “Abu al-Aswa>d al-Du’ali wa Nashah al-Nahwu al-‘Arabi” (Tesis—Cairo University , Kairo, 1969), 48.
[17] Muhammad Muhammad Abu Shahbah, Madkhal li Dira>sah al-Qur’a>n al-Kari>m, (Riya>d}: Da>r al-Liwa’, 1987M), 189.
[18] Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo: Da>r al-Sala>m, 1997 M), 91.
[19] Sh’aba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu…, 602.
[20] ‘Abdul ‘Adzim al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Bairut: Da>r al-Kutub al-Arabi, 1995M/1415H), 1/403.
[21] Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu.., 92.

No comments:

Post a Comment