Definisi
Ijtihad
By: Muhammad
Bisa dikatakan bahwa pemahaman ijtihad mengalami perkembangan yang
sangat pesat mulai dari awal mula adanya ijtihad sampai saat ini. Pada
permulaan adanya ijtihad, kata ijtihad tidak lepas dari qiyas atau
metode-metode untuk merumuskan hukum yang tidak ada dalil dari al-Qur’an, Hadits,
dan Ijma’ seperti maslahah al-mursalah, istihsan, dan lain-lain. Dari sini,
bisa disimpulkan bahwa ijtihad adalah
berusaha mencetuskan hukum dari kejadian yang tidak ada dalam al-Qur’an, Hadits,
dan Ijma’ maka tidak bisa dikatakan ijtihad apabila pencetusan sebuah hukum itu
dari dalil-dalil di atas. Oleh Karena itu,
ijtihad hanya memberikan hukum yang bersifat ideologi dan praduga saja, sebab
tidak ada dalil yang bersifat pasti
kecuali al-Qur’an dan Hadits. Dengan
demikian maka tidak boleh merumuskan hukum dengan ijtihad kecuali dalam keadaan
darurat[1]
sebagaimana diperbolehkan memakan bangkai hanya bagi orang yang terpaksa saja,
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
173:[2]
(فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
Artinya: “Barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakan bangkai) sedangkan ia tidak menginginkannya dan
tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Oleh Karena itu, ulama klasik sangat berhati-hati
dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan Safyan bin Uyainah dan Sahnun bin Sa’id
berkata: “Orang yang paling banyak berfatwa tiada lain hanyalah orang yang
sedikit ilmunya.” Mayoritas ulama pada saat itu tidak langsung
mengharamkan atau menghalalkan sebuah fenomena baru yang ada kecuali jika
memang ada dalil dari al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’, akan tetapi mereka berkata
antara suka dan tidak suka. Sebagaimana perkataan imam Malik: “Tidak ada dan tidak pernah menemukan
dari ulama sebelumku yang memerintah atau berfatwa dengan perkataan ini halal
dan ini haram.”[3]
Ulama klasik pun berkata: “Jangan sampai satu orang di antara kalian berkata
Allah menghalalkan ini atau Allah mengharamkan ini, sebab dikhawatirkan Allah
berkata padanya kamu telah berbohong, sebab Aku tidak pernah mengharamkan atau
menghalalkan itu.”[4]
Dengan demikian ulama terdahulu tidak terlalu menceburkan diri dalam masalah
ijtihad, lagi pula mereka mempunyai mutu yang sama dengan masa Rasul yaitu tidak banyak bertanya dan mereka menganggap
orang yang banyak bertanya dalam masalah Fikih adalah orang yang memaksakan diri
dan ingin memutuskan sesuatu yang belum terjadi.
Perlu diketahui, pertama kali karya yang sampai di tangan
kita dengan pembahasan koridor ijtihad dalam masalah Fikih adalah ilmu Ushul
Fikih ar-Risalah karya imam Syafi’i (wafat tahun 204 H). Ia menganggap
sama antara ijtihad dan qiyas dengan alasan antara ijtihad dan qiyas sama-sama
membuat hukum dari suatu kejadian yang tidak ada dalil dari al-Qur’an, Hadits,
dan Ijma’. Sebagaimana tertulis dalam Risalahnya ketika menjawab pertanyaan seseorang.
Penanya: “Bagaimana kamu bisa mengatakan itu qiyas,
sedangkan tidak ada dalam al-Qur’an, Hadits,
dan Ijma’? Apakah qiyas itu merupakan dalil tersendiri yang harus diikuti?”
Syafi’i: “Apabila qiyas itu dari dalil al-Qur’an
atau Hadits maka akan saya katakan dari dalil al-Qur’an ini adalah hukum Allah.
Jika dari dalil Hadits maka akan saya katakan ini hukum dari Rasul dan tidak mungkin
saya mengatakan ini adalah qiyas.”
Penanya: “Terus apa yang kamu maksud dengan qiyas itu
sendiri? Apakah qiyas itu sama dengan ijtihad atau berbeda?”
Dari diskusi di atas mengindikasikan bahwa
ijtihad dan qiyas tidak ada bedanya menurut imam Syafi’i dengan alasan keduanya
tidak menyentuh langsung pada dalil Syar’i. Akan tetapi yang menjadi perdebatan
antar cendekiawan Islam klasik adalah posisi qiyas bila dibandingkan dengan
motode-metode ijtihad lainnya seperti Mashlahah al-Mursalah, ‘Uruf, ‘Adad, Istihsan,
dan lain-lain.
Al-Qarafi al-Maliki mencatat dalam kitabnya
(Tanqihu al-Ushul) urutan ijtihad menurut madzhab Maliki sebagaimana
berikut: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Ijma’ ahlul Madinah, perkataan sahabat
Rasul, Qiyas, Mashlahah al-Mursalah, ‘Uruf, ‘Adad, Istihsan, Saddu ad-Darai’i,
dan Istishhab.[6]
Menurut asy-Syathibi metode perumusan hukum dalam madzhab Maliki bisa diringkas
menjadi empat yaitu: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan logika. Ia beranggapan bahwa
Hadits sudah mencakup Ijma’ ahlul Madinah dan perkataan sahabat Rasul. Sedangkan
logika mencakup Mashlahah al-Mursalah, ‘Adad, Istihsan, Saddu ad-Darai’i, dan Istishhab. Sedangkan ath-Thufi al-Hanbali
mempunyai anggapan bahwa dalil yang digunakan oleh ulama tidak lebih dari 19
dan semuanya bisa dirangkum menjadi dua yaitu nash dan logika.[7]
Keterangan di atas merupakan gambaran dari maksud ijtihad pada masa imam empat
(Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) yang bisa dipetik sebuah kesimpulan
bahwa mereka menganggap bahwa ijtihad itu dengan membuat sebuah hukum dari
sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.
Bersamaan dengan adanya perputaran roda
dunia, pemahaman ijtihad pun mengalami perubahan dan perkembangan sangat pesat
yang awal mulanya hanya membuat hukum dari permasalahan tanpa disinggung oleh
tiga dalil (al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’) menjadi ijtihad masuk pada ruang
lingkup yang disinggung oleh tiga dalil itu. Adapun perkembangan ruang lingkup
ijtihad yang tidak terpusat pada permasalahan tanpa dalil bisa kita ketahui
dari definisi ijtihad menurut ulama Ushul Fikih kontemporer. Seperti perkataan
Abu al-Husen al-Bashri:“Ketahuilah ulama Fikih memasukkan dalam bidang
ijtihad dari sesuatu yang bertendensi dari al-Qur’an seperti niat dan tertib
ketika berwudlu dengan landasan lafad “wau” yang ada dalam al-Qur’an
mengindikasikan harus berurutan.”[8] Ulama
Ushul Fikih yang lain mendefinisikan ijtihad dengan mengerahkan semua tenaga
serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam merumuskan sebuah hukum yang ada sangkut
pautnya dengan pekerjaan dari dalil rinci dan ada kalanya dalam praktek.[9]
Abu Ishaq asy-Syairazi mendefinisikan ijtihad dengan mengerahkan semua tenaga
dalam membuat hukum Syar’i bagi orang yang mempunyai keahlian.[10]
Demikian pula pendapat al-Ghazali perihal ijtihad, beliau mendefinisikannya
dengan berusahanya mujtahid dalam mencari suatu pengetahuan yang ada
hubungannya dengan hukum-hukum Syariat.[11] Bahkan
ada pula ulama yang mengatakan ijtihad tidak boleh keluar dari koridor nash, sebagaimana perkataan Ibnu Hazem.[12]
Dari definisi kontemporer di atas banyak diikuti oleh
ulama setelahnya seperti al-Amidi, al-Baidlawi, al-Futuhi, asy-Syangkiti, Muhibullah bin Syakur, Alauddin al-Bukhari, dan lain-lain. Bahkan ada pula dari
golongan ulama yang lebih memperlebar definisi ijtihad seperti yang dikatakan
oleh Abu Muhammad as-Salimi (wafat 1332 M), berusahanya ulama Fikih dengan
sungguh-sungguh dalam memecahkan permasalahan baru baik melalui dalil Syar’i
atau logika. Alasan beliau mencantumkan logika ketika merumuskan masalah baru sebab
merumuskan hukum dengan logika juga dinamakan ijtihad.[13]
Dari perkembangan definisi di atas bisa
disimpulkan bahwa ijtihad pada era klasik khusus pada permasalahan yang tidak
disinggung oleh nash sama sekali. Sedangkan pada era kontemporer para cendekiawan ada yang memperluas dengan metode
mencakup permasalahan yang di dalamnya ada nash ataupun tidak dan ada pula yang mempersempit dengan cara harus
ada nashnya.
[1] Imam Syafii, Ar-Risalah, h. 599. Lihat pula Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, I’lamu
al-Mu’awiqin ‘an Robil al-Alamin, jld. 2, h. 284
[2] Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, I’lamu
al-Mu’awiqin ‘an Robil al-Alamin, jld. 2, h. 284
[3] Al-Qaulu as-Sadid fi Kasyfi Haqiqati
at-Taqlid, h. 69
[4] Al-Qaulu as-Sadid fi Kasyfi Haqiqati
at-Taqlid, h. 69
[5] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, h. 476-477
[6] Abu Zahra, Malik, h. 487-488.
[7] Ath-Thufi,
Risalah fi Ri’ayati al-Mashlahah, Yaitu: al-Qur’an, Hadis, Ijma’ umat Islam, Ijma
ahlu al-Madinah, Qiyas, perkataan sahabat Rasul, Mashlahah al-Mursalah,
Istishhab, al-Bara’ah al-ashliyah, al-‘Adad, al-Istiqra’, Saddu ad-Darai’i, al-Istidlal, al-Istihsan, al-Akhdu
bi al-Akhaf, Ishmah, Ijma’ ahlu al-Kufah, Ijma’ Khalifah empat.
[8]Abu Husen al-Bashri, Al-Mu’tamad fi Ushul
al-Fiqh, h. 766
[9] Abu Zahra, Al-Ghazali al-Faqih.
[10] Abu Ishaq asy-Syairazi, Syarhu al-Luma’, jld.
2, h. 1043
[11]Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mushtasfa fi Ilmu
al-Ushul, jld. 2, h. 350
[12]Ibnu Hazem Al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam,
jld. 1, h. 45. Lihat pula Ibnu Hazem Al-Muhalla,
jld.1, h. 60
[13]Abdullah bin Hamid as-Salimi, Masyariqu
al-Anwar al-Uqul, h. 70
No comments:
Post a Comment