Sunday, 20 July 2014

Definisi Ijtihad



Definisi Ijtihad
By: Muhammad
Bisa dikatakan bahwa pemahaman ijtihad mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari awal mula adanya ijtihad sampai saat ini. Pada permulaan adanya ijtihad, kata ijtihad tidak lepas dari qiyas atau metode-metode untuk merumuskan hukum yang tidak ada dalil dari al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ seperti maslahah al-mursalah, istihsan, dan lain-lain. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ijtihad  adalah berusaha mencetuskan hukum dari kejadian yang tidak ada dalam al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ maka tidak bisa dikatakan ijtihad apabila pencetusan sebuah hukum itu dari dalil-dalil di atas. Oleh Karena itu, ijtihad hanya memberikan hukum yang bersifat ideologi dan praduga saja, sebab tidak ada dalil yang bersifat pasti kecuali al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian maka tidak boleh merumuskan hukum dengan ijtihad kecuali dalam keadaan darurat[1] sebagaimana diperbolehkan memakan bangkai hanya bagi orang yang terpaksa saja, firman Allah dalam surat  al-Baqarah ayat 173:[2]
(فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
Artinya: “Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Oleh Karena itu, ulama klasik sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan Safyan bin Uyainah dan Sahnun bin Sa’id berkata:Orang yang paling banyak berfatwa tiada lain hanyalah orang yang sedikit ilmunya.” Mayoritas ulama pada saat itu tidak langsung mengharamkan atau menghalalkan sebuah fenomena baru yang ada kecuali jika memang ada dalil dari al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’, akan tetapi mereka berkata antara suka dan tidak suka. Sebagaimana perkataan imam Malik:Tidak ada dan tidak pernah menemukan dari ulama sebelumku yang memerintah atau berfatwa dengan perkataan ini halal dan ini haram.[3] Ulama klasik pun berkata: “Jangan sampai satu orang di antara kalian berkata Allah menghalalkan ini atau Allah mengharamkan ini, sebab dikhawatirkan Allah berkata padanya kamu telah berbohong, sebab Aku tidak pernah mengharamkan atau menghalalkan itu.[4] Dengan demikian ulama terdahulu tidak terlalu menceburkan diri dalam masalah ijtihad, lagi pula mereka mempunyai mutu yang sama dengan masa Rasul  yaitu tidak banyak bertanya dan mereka menganggap orang yang banyak bertanya dalam masalah Fikih adalah orang yang memaksakan diri dan ingin memutuskan sesuatu yang belum terjadi.
Perlu diketahui, pertama kali karya yang sampai di tangan kita dengan pembahasan koridor ijtihad dalam masalah Fikih adalah ilmu Ushul Fikih ar-Risalah karya imam Syafi’i (wafat tahun 204 H). Ia menganggap sama antara ijtihad dan qiyas dengan alasan antara ijtihad dan qiyas sama-sama membuat hukum dari suatu kejadian yang tidak ada dalil dari al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’. Sebagaimana tertulis dalam Risalahnya  ketika menjawab pertanyaan seseorang.
Penanya: “Bagaimana kamu bisa mengatakan itu qiyas, sedangkan tidak ada dalam al-Qur’an,      Hadits, dan Ijma’? Apakah qiyas itu merupakan dalil tersendiri yang harus diikuti?”
Syafi’i:            “Apabila qiyas itu dari dalil al-Qur’an atau Hadits maka akan saya katakan dari dalil al-Qur’an ini adalah hukum Allah. Jika dari dalil Hadits maka akan saya katakan ini hukum dari Rasul dan tidak mungkin saya mengatakan ini adalah qiyas.
Penanya: “Terus apa yang kamu maksud dengan qiyas itu sendiri? Apakah qiyas itu sama dengan ijtihad atau berbeda?”
Syafi’i: “Antara qiyas dan ijtihad adalah dua lafad yang mempunyai satu arti.[5]
Dari diskusi di atas mengindikasikan bahwa ijtihad dan qiyas tidak ada bedanya menurut imam Syafi’i dengan alasan keduanya tidak menyentuh langsung pada dalil Syar’i. Akan tetapi yang menjadi perdebatan antar cendekiawan Islam klasik adalah posisi qiyas bila dibandingkan dengan motode-metode ijtihad lainnya seperti Mashlahah al-Mursalah, ‘Uruf, ‘Adad, Istihsan, dan lain-lain.
Al-Qarafi al-Maliki mencatat dalam kitabnya (Tanqihu al-Ushul) urutan ijtihad menurut madzhab Maliki sebagaimana berikut: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Ijma’ ahlul Madinah, perkataan sahabat Rasul, Qiyas, Mashlahah al-Mursalah, ‘Uruf, ‘Adad, Istihsan, Saddu ad-Darai’i, dan Istishhab.[6] Menurut asy-Syathibi metode perumusan hukum dalam madzhab Maliki bisa diringkas menjadi empat yaitu: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan logika. Ia beranggapan bahwa Hadits sudah mencakup Ijma’ ahlul Madinah dan perkataan sahabat Rasul. Sedangkan logika mencakup Mashlahah al-Mursalah,  Adad, Istihsan, Saddu ad-Darai’i, dan Istishhab. Sedangkan ath-Thufi al-Hanbali mempunyai anggapan bahwa dalil yang digunakan oleh ulama tidak lebih dari 19 dan semuanya bisa dirangkum menjadi dua yaitu nash dan logika.[7] Keterangan di atas merupakan gambaran dari maksud ijtihad pada masa imam empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) yang bisa dipetik sebuah kesimpulan bahwa mereka menganggap bahwa ijtihad itu dengan membuat sebuah hukum dari sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.
Bersamaan dengan adanya perputaran roda dunia, pemahaman ijtihad pun mengalami perubahan dan perkembangan sangat pesat yang awal mulanya hanya membuat hukum dari permasalahan tanpa disinggung oleh tiga dalil (al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’) menjadi ijtihad masuk pada ruang lingkup yang disinggung oleh tiga dalil itu. Adapun perkembangan ruang lingkup ijtihad yang tidak terpusat pada permasalahan tanpa dalil bisa kita ketahui dari definisi ijtihad menurut ulama Ushul Fikih kontemporer. Seperti perkataan Abu al-Husen al-Bashri:“Ketahuilah ulama Fikih memasukkan dalam bidang ijtihad dari sesuatu yang bertendensi dari al-Qur’an seperti niat dan tertib ketika berwudlu dengan landasan lafad “wau” yang ada dalam al-Qur’an mengindikasikan harus berurutan.[8] Ulama Ushul Fikih yang lain mendefinisikan ijtihad dengan mengerahkan semua tenaga serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam merumuskan sebuah hukum yang ada sangkut pautnya dengan pekerjaan dari dalil rinci dan ada kalanya dalam praktek.[9] Abu Ishaq asy-Syairazi mendefinisikan ijtihad dengan mengerahkan semua tenaga dalam membuat hukum Syar’i bagi orang yang mempunyai keahlian.[10] Demikian pula pendapat al-Ghazali perihal ijtihad, beliau mendefinisikannya dengan berusahanya mujtahid dalam mencari suatu pengetahuan yang ada hubungannya dengan hukum-hukum Syariat.[11] Bahkan ada pula ulama yang mengatakan ijtihad tidak boleh keluar dari koridor nash, sebagaimana perkataan Ibnu Hazem.[12]
Dari definisi kontemporer di atas banyak diikuti oleh ulama setelahnya seperti al-Amidi, al-Baidlawi, al-Futuhi, asy-Syangkiti, Muhibullah bin Syakur, Alauddin al-Bukhari, dan lain-lain. Bahkan ada pula dari golongan ulama yang lebih memperlebar definisi ijtihad seperti yang dikatakan oleh Abu Muhammad as-Salimi (wafat 1332 M), berusahanya ulama Fikih dengan sungguh-sungguh dalam memecahkan permasalahan baru baik melalui dalil Syar’i atau logika. Alasan beliau mencantumkan logika ketika merumuskan masalah baru sebab merumuskan hukum dengan logika juga dinamakan ijtihad.[13]
Dari perkembangan definisi di atas bisa disimpulkan bahwa ijtihad pada era klasik khusus pada permasalahan yang tidak disinggung oleh nash sama sekali. Sedangkan pada era kontemporer para cendekiawan ada yang memperluas dengan metode mencakup permasalahan yang di dalamnya ada nash ataupun tidak dan ada pula yang mempersempit dengan cara harus ada nashnya.


[1] Imam Syafii, Ar-Risalah, h.  599.  Lihat pula Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, I’lamu al-Mu’awiqin ‘an Robil al-Alamin, jld. 2, h. 284
[2] Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, I’lamu al-Mu’awiqin ‘an Robil al-Alamin, jld. 2, h. 284
[3] Al-Qaulu as-Sadid fi Kasyfi Haqiqati at-Taqlid, h. 69
[4] Al-Qaulu as-Sadid fi Kasyfi Haqiqati at-Taqlid, h. 69
[5] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, h. 476-477
[6] Abu Zahra, Malik, h. 487-488.
[7] Ath-Thufi, Risalah fi Ri’ayati al-Mashlahah,  Yaitu: al-Qur’an, Hadis, Ijma’ umat Islam, Ijma ahlu al-Madinah, Qiyas, perkataan sahabat Rasul, Mashlahah al-Mursalah, Istishhab, al-Bara’ah al-ashliyah, al-‘Adad, al-Istiqra’, Saddu ad-Darai’i, al-Istidlal, al-Istihsan, al-Akhdu bi al-Akhaf, Ishmah, Ijma’ ahlu al-Kufah, Ijma’ Khalifah empat.  
[8]Abu Husen al-Bashri, Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, h. 766
[9] Abu Zahra, Al-Ghazali al-Faqih.
[10] Abu Ishaq asy-Syairazi, Syarhu al-Luma’, jld. 2, h. 1043
[11]Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mushtasfa fi Ilmu al-Ushul, jld. 2, h. 350
[12]Ibnu Hazem Al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, jld. 1, h. 45.  Lihat pula Ibnu Hazem Al-Muhalla, jld.1, h. 60
[13]Abdullah bin Hamid as-Salimi, Masyariqu al-Anwar al-Uqul, h. 70

No comments:

Post a Comment