Friday, 4 July 2014

Metode Tafsir al-Tabari



METODE TAFSIR KITAB JA<MI’ AL-BAYA<N FI TAFSI<R AL-QUR’A<N AL-AZ{I<M
KARYA AL-T{ABARI><
By: Muhammad
A-  PENDAHULUAN
Mengkaji al-Qur’a>n memang tidak akan ada habisnya, melihat al-Qur’a>n bisa ditarik ulur di mana lokasi dan kapanpun waktunya. Oleh karena itu, mempelajari al-Qur’a>n tidak akan ada bosan-bosannya hingga akhir zaman. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dari kali perama al-Qur’a>n diturunkan pada Muhammad saw penjelasan (tafsir) al-Qur’a>n sudah mulai bermunculan kendatipun pada saat itu hanya Muhammad saw yang mempunyai wewenang dalam menjelaskan isi al-Qur’a>n itu.
Setelah Muhammad saw wafat turunlah pada masa sahabat, ta>bi’i>n, dan ta>bi’ ta>bi’i>n yang berusaha untuk mengartikan dan menjelaskan al-Qur’a>n pada semua umat Islam. Dari sini mulai bermunculan perbedaan argumentasi tafsir. Pada semua masa yang telah pemakalah cantumkan, al-Qur’a>n masih belum terbukukan dengan rapi, lengakap dan sampai pada tangan kita, hingga datangnya sosok alim yang bernama Muhammad bin Jari>r al-T{abari>> yang kitab tafsirnya dikenal dengan sebutan Tafsi>r al-T{abari>>.
Karya tafsir inilah yang akan kita kaji pada pertemuan kali ini. Dalam mengkaji Tafsi>r al-T{abari>> pada kali ini, konsentrasi kita hanya melihat riwayat hidup sang penulis, gambaran umumnya, sistematikan, dan kecendrungan al-T{abari>> dari sudut pandang karya tafsirnya.
B-  TAFSI<R JA<MI’ AL-BAYA<N FI TAFSI<R AL-QUR’A<N AL-AZ{I<M
1-      Riwayat Hidup dan Aktifitas Keilmuan Penulis Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m
Ibun Jari>r adalah seorang mufasir terkenal, mujtahid, muhadith, dan sejarawan terkemuka pada masa itu. Ia mempunyai nama lengkap Muhammad bin Jari>r bin Yazi>d bin Kathi>r bin Gha>lib, kemudian dijuluki dengan Abu> Ja’far al-T}abari>. Ia dilahirkan di Amul ibu kota T{abrasta>n, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terlerak sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin.[1]
Para sejarawan berbeda pendapat akan tahun kelahiran al-T{abari>>, diantara mereka ada yang mengatakan tahun 224 Hijriah dan ada pula yang magatakan 225 Hijriah. Bahkan al-T{abari>> sendiri tidak mengetahui tahun kelahirannya. Konon, salah satu muridnya yang bernama al-Qa>d}i> Ibnu Ka>mil bertanya pada al-T{abari>> mengenai tahun kelahirannya:
Al-Qad}i> Ibnu Ka>mil: “Bagaimana kamu bisa ragu-ragu akan tahun kelahiranmu sendiri?”
Al-T{abari>>: “Karena sistem penanggalan di daerahku menggunakna kejadian-kejadian besar bukan dengan angka. Dan ketika aku bertanya pada orang-orang sekitar, kabar yang aku tirima masih singpang-siur, diantara mereka ada yang mengatakan akhir tahun 224 dan ada juga yang mengatakan awal dari tahun 225 Hijriah.”[2]
Al-T{abari> hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiyah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil. Al-T{abari> juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’a>n merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk al-T{abari>.
Berkata motivasi dan pengarahan terutama dari ayahnya serat berbekal kecerdasan yang tinggi, pada usia 7 tahun, al-T{abari> muda sudah hafal al-Qur’a>n, menjadi imam s}alat saat usia 8 tahun, dan menulis hadi>th pada usia 9 tahun. Isharat akan kebesaran al-T{abari>> sebenarnya sudah dirasakan oleh ayahnya. Suatu ketika ayahnya bermimpi bahwa Rasul saw menghampiri al-T{abari>> seraya memegang tangannya dan memberikan segenggam kerikil padanya, kemudian mimpi itu dita’birkan orang-orang bijak sebagai pertanda kesuksesan al-T{abari>> dikemudian hari.[3]
Seperti kebiasaan ulama lain pada waktu itu, al-T{abari>> dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan beberapa perjalanan ke berbagai daerah Islam. Di samping itu, letak pusat keilmuan yang dipadati ulama berada jauh dari tempat tinggalnya, akhirnya setelah menempuh pendidikan di kota asalnya kemudian ia mengadakan perjalanan ilmiah ke berbagai wilayah negara Islam.
Kali pertama kota yang ditujunya adalah Ray Iran dan sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadi>th dari tokoh yang bernama Muhammad Ibnu Humaidi> al-Ra>zi>. Dari daerah ini pula, al-T{abari>> berkesempatan belajar sejarah dari Muhammad Ibnu Ahamd Ibnu Hammad al-Daula>bi>. Dan belajar fikih pada Muqa>til. Kemudian, ia menuju kota Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, namun sesampainya ia di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat. Ia pun mengalihkan perjalanannya ke Bas}rah, namun di tengah-tengah perjalanan ia mampir ke daerah Wasit}. Setelah dari Bas}rah al-T{abari>> melanjutkan perjalanan ke kota Ku>fah, di kota ini al-T{abari>> mempelajari qira>’a>t dari Sulaiman al-Tulh}I dan hadi>th dari Ibra>him Abu> Kuraib Muhammad Ibnu al-‘Ala>’ al-Hamda>ni> (salah seorang seorang ulama besar hadi>th). Dan kemudian ia melanjutkan perjalanan pencarian ilmu di Mesir.[4]
Al-T{abari>> wafat pada hari Minggu sore bulan Syawal tahun 310 Hijriah. Ia di makamkan di sebuah permakaman yang bernama Rah}ah Ya’qu>b, Baghdad.[5] Seiring dengan wafatnya al-T{abari>> banyak dari tokoh agama dan sastra membuat syair duka cita untuk al-T{abari>>. Sebagai contoh Ratha>’ Ibnu Duraid:[6]
إِنَّ المَنِيَّةَ لَمْ تُتْلِفْ بِهِ رَجُلاً ** بَلْ أَتْلَفَتْ عَلَماً لِلدِّينِ مَنْصُوبَا
كانَ الزَّمانُ بهِ تصفو مشاربهُ ** فالآنَ أصبحَ بالتَّكديرِ مقطوبا
كَلاَّ وأَيَّامُهُ الغُرُّ الَّتِي جَعَلَتْ ** للعلمِ نوراً وللتَّقوى محاريبا
Dalam dunia ilmu pengetahuan, ia terkenal tekun mendalami bidang-bidang ilmu yang dimilikinya, juga gigih dalam menambah ilmu pengetahuan. Sehingga dengan itu, banyak bidang ilmu yang dikuasainya, di samping itu, ia mampu menuangkan ilmu-ilmu yang dikuasainya ke dalam bentuk tulisan. Kitab-kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu seperti Tafsi>r, Hadi>th, Fikih, Tauh{i>d, Us}ul Fikih, ilmu bahasa Arab,  dan juga kedokteran.[7] Akan tetapi, tidak diperoleh informasi yang pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya, karena karya-karya al-T{abari>> tidak semuanya sampai pada tangan kita. Bila diperkirakan banyak karyanya yang berkaitan dengan hukum lenyap bersamaan dengan lenyapnya Madhhab Jari>ri>yah.
Adapun di antara karya-karya al-T{abari>> adalah:
  1. A<da>b al-Mana>sik.
  2. Tari>kh al-Umam wa al-Mulu>k (yang dikenal dengan Tari>kh al-T{abari>>).
  3. Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n (dikenal juga dengan Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Tafsi>r A<y al-Qur’a>n).
  4. Ahka>m Shara>’I’ al-Isla>m.
  5. Kita>b al-Tabs}i>r (karya ini ditulis berkisar 30 lembar yang dikhususkan pada orang-orang daerah Amul T{abrasta>n yang menjelaskan madhha>b ahli bid’ah)
  6. Al-Ja>mi’ fi al-Qira>’a>t. Dan masih banyak karya-karyanya yang lain.
2-   Gambaran Umum Kitab Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Tafsir al-T{abari>> termasuk salah satu kitab tafsir ternama, bahkan bisa dikatakan tafsirnya merupakan induk dari kitab-kitab tasfsir lainnya, kitab tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m merupakan pembuka dari berkembangnya kitab-kitab tafsir. Bagaimana pemakalah tidak mengatakan demikian? Sedangkan sejarawan mencatat bahwa pertama kali ilmu tafsir terbukukan dan sampai pada tangan kita adalah tafsir karya al-T{abari>>.[8] Selain itu,  menurut pandangan ‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir dan Muhammad Ali Aya>dzi Tafsir al-T{abari>> merupakan paling agung, lengkap, dan s}ah}ih tafsir bi al-Ma’thu>r.
‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir komentar tentang tasfir al-T{abari>> ini dengan perkataannya:
ابن جرير الطبرى الذى تميز تفسيره على هؤلاء بأنه تعرض لترجيح بعض الأقوال على بعض, وذكر الإعراب  والإستنباط. وكان تفسيره من اجلّ التفاسير بالمأثور وأصحها وأجمعها.
Yang membuat beda dalam tafsir Ibu Jari>r al-T{abari>> dari tasfir-tafsir yang lain ialah dalam karnyanya menyantumkan argumen-argumen yang ia unggulkan dari argumen lainnya, menyinggung masalah I’ra>b kalimat dan dasar-dasar pengambilannya. Dan tafsirnya merupakan karya tafsir paling agung dibanding kitab-kitab tafsir bi al-Ma’su>r lainnya.[9]
Al-T{abari>> menjelaskan dalam mukadimah kitabnya akan manha>j dan sebab pembuatan kitab tafsirnya:
ونحن -في شرح تأويله، وبيان ما فيه من معانيه- منشئون إن شاء الله ذلك، كتابًا مستوعِبًا لكل ما بالناس إليه الحاجة من علمه، جامعًا، ومن سائر الكتب غيره في ذلك كافيًا. ومخبرون في كل ذلك بما انتهى إلينا من اتفاق الحجة فيما اتفقت عليه منه (عليه الأمة) واختلافها فيما اختلفت فيه منهُ. ومُبيِّنو عِلَل كل مذهب من مذاهبهم، ومُوَضِّحو الصحيح لدينا من ذلك، بأوجز ما أمكن من الإيجاز في ذلك، وأخصر ما أمكن من الاختصار فيه.
والله نسألُ عونه وتوفيقه لما يقرب من محَابِّهِ، ويبْعد من مَساخِطه. وصلى الله على صَفوته من خلقه وعلى آله وسلم تسليمًا كثيرًا.
Dan saya (dalam menjelaskan ta’wil kitab Allah dan menjelaskan makna-maknanya) akan menciptakan dalam kitab ini (Insha> Allah) sebuah kitab yang mencakup sesuatu yang dibutuhkan manusia dari setiap ilmu dan dari semua kitab-kitab lainya, semua ada dalam kitab ini. Dan dalam kitab ini juga menjelaskan kesepakatan dalil-dalil yang telah disepakati oleh umat, dan perbedaan yang telah menjadi perbedaan antara mereka. Menjelaskan ‘Illat-‘Illat dari semua madhhab, kemudian saya jelaskan pendapat yang s}ah}ih} menurut saya peribadi dengan sesingkat dan sesingkas mungkin.[10]
Dari mukadimah ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa kitab Tafsi>r al-T{abari>> merupakan kitab tafsir yang penjelasannya mencakup segala aspek keilmuan dan peling lengkapnya kitab tafsir pada saat itu. Kemudia kitab tafsir ini diringkas dengan seringkas mungkin oleh pengarang kitab tafsir lainnya yang datang setelah wafatnya al-T{abari>>. Ciri khas al-T{abari>> dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n berpegang teguh pada hadi>th Nabi Muhammad saw, perkatan sahabat, dan ta>bi’in. Lantas, ia mentarjih dari pendapat yang ada bila terdapat perbedaan, menyelaraskan bila ada kemungkinan untuk disatukan.

3-   Sistematika dan Metode Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
a-      Sistematika
Sebelum al-T{abari>> menafsirkan satu-persatu dari ayat al-Qur’a>n, ia terlebih dahulu memulai tulisannya dengan menyebutkan nama surat dengan beberapa nama sebagaimana nama yang telah tercantum dalam sebuah riwayat yang ada. Jika dalam satu surat terdapat beberapa nama, maka ia akan mencantumkan semuanya. Sebagai contoh:
حدثني به يونس بن عبد الأعلى، قال: حدثنا ابن وهب، قال: أخبرني ابن أبي ذئب، عن سعيد المقبري، عن أبي هريرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: هي أمّ القرآن، وهي فاتحة الكتاب، وهي السبع المثاني.
فهذه أسماءُ فاتحة الكتاب.
وسمّيت "فاتحة الكتاب"، لأنها يُفتتح بكتابتها المصاحف، ويُقرأ بها في الصلوات، فهي فَواتح لما يتلوها من سور القرآن في الكتابة والقراءة.
وسمّيت "أم القرآن" لتقدمها على سائر سور القرآن غيرها، وتأخُّر ما سواها خلفها في القراءة والكتابة.
Usai mejelaskan semua nama-nama surat ia langsung memulai dengan sebab turunnya ayat atau surat itu, jika ada riwayat yang menjelaskan. Sebagai contoh:
قال أبو جعفر: وقد ذُكر أن هذه السورة ابتدأ الله بتنزيله فاتحتها بالذي ابتدأ به: من نفي"الألوهية" أن تكون لغيره، ووصفه نفسه بالذي وصَفها به في ابتدائها، احتجاجًا منه بذلك على طائفة من النصارى قدموا على رسول الله صلى الله عليه وسلم من نَجْرَان فحاجُّوه في عيسى صلوات الله عليه، وألحدوا في الله. فأنزل الله عز وجل في أمرهم وأمر عيسى من هذه السورة نيفًا وثمانين آية من أولها،  احتجاجًا عليهم وعلى من كان على مثل مقالتهم، لنبيّه محمد صلى الله عليه وسلم، فأبوا إلا المقام على ضلالتهم وكفرهم، فدعاهم إلى المباهلة، فأبوا ذلك، وسألوا قَبول الجزية منهم، فقبلها صلى الله عليه وسلم منهم، وانصرفوا إلى بلادهم.
Al-T{abari>> dalam kitabnya tidak menyinggung apakah surat itu makki> atau madani>. Akan tetapi, ia langsung memulai menafsiri ayat-ayat yang ada dan tidak ada satupun dari ayat al-Qur’a>n yang ia tafsirkan kecuali menyertai riwayat dari Rasul saw, sahabat, dan tabi’in. Contoh penafsirah surat al-Rah}ma>n. Al-T{abari>> mencantumkan riwayat sebagimana berikut:
ورُوي عن قتادة في ذلك ما حدثنا ابن بشار، قال: ثنا محمد بن مروان العقيلي، قال: ثنا أبو العوام العجلي، عن قتادة أنه قال: في تفسير( الرَّحْمَنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ ) قال: نعمة والله عظيمة.

b-      Metode Penafsiran
1)      Sumber Penafsiran
a)      Menggunakan Riwayat
Sebagimana yang telah kita ketahui dari penjelasan yang sudah lewat, kita bisa memahami metode penafsiran al-T{abari>>, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan menggunakan riwayat. Adapun model dalam pengambilan riwayat ialah menyandarkan pada Rasul saw dengan menyebutkan runtutan sanadnya. Jika dalam satu riwayat yang tidak jelas sanadnya, maka ia akan menolak dan menyebutkan sebab ia menolak riwayat tersebut. Kemudian, ia mencantumkan semua ungkapan ulama dan terakhir ia mentarjih pendapat yang lebih unggul menurut pandangannya. Contoh saat al-T{abari>> menjelaskan arti dari kalimat al-Baya>n dalam surat al-Rah}ma>n ayat 4:
ثم اختلف أهل التأويل في المعنيّ بالبيان في هذا الموضع، فقال بعضهم: عنى به بيان الحلال والحرام.
* ذكر من قال ذلك:
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة، قوله:( عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ) : علمه الله بيان الدنيا والآخرة بين حلاله وحرامه، ليحتجّ بذلك على خلقه.
حدثنا ابن حُميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان، عن سعيد، عن قتادة( عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ) الدنيا والآخرة ليحتجّ بذلك عليه.
حدثنا ابن بشار، قال: ثنا محمد بن مروان قال: ثنا أبو العوّام، عن قتادة، في قوله:( عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ) قال: تَبَيَّنَ له الخيرُ والشرّ، وما يأتي، وما يدع.
وقال آخرون: عنى به الكلام: أي أن الله عزّ وجلّ علم الإنسان البيان.
* ذكر من قال ذلك:
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله:( عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ) قال: البيان: الكلام.
والصواب من القول في ذلك أن يقال: معنى ذلك: أن الله علَّم الإنسان ما به الحاجة إليه من أمر دينه ودنياه من الحلال والحرام، والمعايش والمنطق، وغير ذلك مما به الحاجة إليه، لأن الله جلّ ثناؤه لم يخصص بخبره ذلك، أنه علَّمه من البيان بعضا دون بعض، بل عمّ فقال: علَّمه البيان، فهو كما عمّ جلّ ثناؤه.
Model pengumpulan riwayat lantas diambil yang lebih unggul inilah yang membuat tafsir al-T{abari>> berbeda dengan penafsir-penafsir al-Qur’a>n lainnya, karena kebanyakan dari mereka hanya mencantumkan satu riwayat atau beragam riwayat tanpa memilah riwayat yang lebih unggul.
Al-Dhahabi> berkomentar perihal tafsir karya al-T{abari>> “Jika al-T{abari>> hendak menafsirkan satu ayat dari al-Qur’a>n, maka ia akan berkata ‘القول في تأويل قوله تعالى, Kemudian ia memulai menafsirkan ayat. Tidak dilupakan saat menafsirkan ayat untuk mencantumkan riwayat yang bersambung sanadnya pada Rasul saw, sahabat, atau ta>bi’in. Bila dalam satu ayat terdapat dua riwayat atau lebih, ia akan mencantumkan semuanya. Tidak hanya sebatas mencantumkan saja, namun ia juga mentarjih pendapat yang lebih unggul.”[11]
b)      Menggunakan Pendekatan Bahasa
Sebagiaman yang telah dijelaskan oleh al-T{abari> dalam mukadimah kitabnya “Termasuk cara penta’wilan al-Qur’a>n harus mengetahui bahasa di turunkannya al-Qur’a>n itu sendiri”. Oleh karena itu, al-T{abari>> dalam menafsirkan al-Qur’a>n banyak menggunakan ilmu bahasa Arab bila tidak ada satupun riwayat yang menjelaskan.
Tidak bisa diragukan akan kealimanyan dalam bidang bahasa Arab, makna-makna yang ditunjukkan olah lafad, dan susunan lafad, karena ia telah mempelajari ilmu sastra Arab dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Yahya> bin Ziya>d al-Farra>’, Abu> ‘Ubaidah Mu’amar bin al-Muthna>, Sa’i>d al-Akhfash, Ali bin H{amzah al-Kasa>i>, Nad}ar bin Shami>l, dan lain-lain.
Al-T{abari>> menggunkan ilmu bahasa Arab saat merespon argumen yang berbeda dengannya, bahkan terkadang ia menggunakan bahasa agak kasar saat menentang pendapat yang menyimpang. Seperti perkataannya:[12]
وقد زعم بعضُ أهل الغَباء أنّ العرب كانت لا تعرف "الرحمن"، ولم يكن ذلك في لغتها
kala menta’wil al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab, ia tidak pernah menggunakan bahasa yang tidak mashhur versi orang Arab, keculai ada dalil yang menuntutnya. Dan saat menafsirkan al-Qur’a>n ia tidak menggunakan makana maja>zi>, keculai adanya Qarinah yang mengharuskan untuk difahami secara maja>zi>. Adapun alasan tidak menerapkan arti maja>zi> ialah Allah berbicara pada manusia agar manusia bisa memahami maksud dari pembicaraan itu.
Adapun contoh dari penafsiran al-T{abari> dengan menggunkan pendekatan bahasa seperti perbedaan dalam bacaan وإذا خلوا إلى شياطينهم. Saat al-T{abari> menjelaskan maksud dari kalimat di atas, ia menggunakan metode pendekatan bahasa.
فإن قال لنا قائل: أرأيت قوله(وإذا خلوا إلى شياطينهم)؟ فكيف قيل:(خلوا إلى شياطينهم)، ولم يقل خلوا بشياطينهم؟ فقد علمت أن الجاري بين الناس في كلامهم:"خلوت بفلان" أكثر وأفشى من:"خلوت إلى فلان"؛ ومن قولك: إن القرآن أفصح البيان!
قيل: قد اختلف في ذلك أهل العلم بلغة العرب. فكان بعض نحويي البصرة يقول: يقال"خلوت إلى فلان" إذا أريد به: خلوت إليه في حاجة خاصة. لا يحتمل -إذا قيل كذلك- إلا الخلاء إليه في قضاء الحاجة. فأما إذا قيل:"خلوت به" احتمل معنيين: أحدهما الخلاء به في الحاجة، والآخر في السخرية به. فعلى هذا القول،( وإذا خلوا إلى شياطينهم )، لا شك أفصح منه لو قيل"وإذا خلوا بشياطينهم"، لما في قول القائل:"إذا خلوا بشياطينهم" من التباس المعنى على سامعيه، الذي هو منتف عن قوله:"وإذا خلوا إلى شياطينهم". فهذا أحد الأقوال.
والقول الآخر: فأن توجه معنى  قوله(وإذا خلوا إلى شياطينهم)،"وإذا خلوا مع شياطينهم"، إذ كانت حروف الصفات يعاقب بعضها بعضا ، كما قال الله مخبرا عن عيسى ابن مريم أنه قال للحواريين:( من أنصاري إلى الله ) [سورة الصف: 14]، يريد: مع الله. وكما توضع"على" في موضع"من"، و" في" و"عن" و"الباء"، كما قال الشاعر:
إذا رضيت علي بنو قشير... لعمر الله أعجبني رضاها
بمعنى عني.
وأما بعض نحويي أهل الكوفة، فإنه كان يتأول أن ذلك بمعنى: وإذا لقوا الذين آمنوا قالوا آمنا، وإذا صرفوا خلاءهم إلى شياطينهم - فيزعم أن الجالب لـ "إلى"، المعنى الذي دل عليه الكلام: من انصراف المنافقين عن لقاء المؤمنين إلى شياطينهم خالين بهم، لا قوله"خلوا". وعلى هذا التأويل لا يصلح في موضع"إلى" غيرها، لتغير الكلام بدخول غيرها من الحروف مكانها.
وهذا القول عندي أولى بالصواب، لأن لكل حرف من حروف المعاني وجها هو به أولى من غيره  فلا يصلح تحويل ذلك عنه إلى غيره إلا بحجة يجب التسليم لها. ولـ "إلى" في كل موضع دخلت من الكلام حكم، وغير جائز سلبها معانيها في أماكنها.
2)      Cara penjelasan
Metode dalam penafsiran al-T{abari>> tidak ada lain kecuali metode komparasi antara semua pendapat/riwayat yang ada baik itu berhubungan dengan hukum fikih, akidah, dan lain-lain. Namun, ia tidak membiarkan dari semua pendapat yang ada tanpa adanya pentarjian dari dirinya. Sebagaimana contoh yang telah pemakalah singgung dalam keterang yang sudah lewat. Dan inilah yang membuat tafsir al-T{abari>> berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya. Seperti halnya perbedaan dalam masalah mengusap kepala dalam berwud}u’. Sebelum al-T{abari>> menjelaskan pendapatnya, ia terlebih dahulu mencantumkan semua riwayat dan pendapat ulama. Dan diakhiri dengan pendapatnya sendiri. Mari kita simak ta’bir di bawah ini.
القول في تأويل قوله عز ذكره : { وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ }
قال أبو جعفر: اختلف أهل التأويل في صفة"المسح" الذي أمر الله به بقوله:"وامسحوا برءوسكم".
فقال بعضهم: وامسحوا بما بدا لكم أن تمسحوا به من رءوسكم بالماء، إذا قمتم إلى الصلاة.
ذكر من قال ذلك:
حدثنا نصر بن علي الجهضمي قال، حدثنا حماد بن مسعدة، عن عيسى بن حفص قال: ذكر عند القاسم بن محمد مسحُ الرأس فقال: يا نافع كيف كان ابن عمر يمسح؟ فقال، مسحةً واحدة= ووصف أنه مسح مقدَّم رأسه إلى وجهه= فقال القاسم: ابن عمر أفقهُنا وأعلمُنا.
حدثنا ابن بشار قال، حدثنا عبد الوهاب قال: سمعت يحيى بن سعيد يقول: أخبرني نافع: أن ابن عمر كان إذا توضأ ردَّ كفه اليمنى إلى الماء ووضعهما فيه، ثم مسح بيديه مقدَّم رأسه.
حدثنا ابن بشار قال، حدثنا محمد بن بكير، قال أخبرنا ابن جريج قال، أخبرني نافع: أن ابن عمر كان يضع بطن كفه اليمنى على الماء، لا ينفضهما ثم يمسح بها ما بين قَرْنيه إلى الجبين واحدًة، ثم لا يزيد عليها في كل ذلك مسحةٌ واحدة، مقبلةً من الجبين إلى القرن.
حدثنا تميم بن المنتصر قال، حدثنا إسحاق قال، أخبرنا شريك، عن يحيى بن سعيد الأنصاري، عن نافع، عن ابن عمر: أنه كان إذا توضأ مسح مقدَّم رأسه.
حدثنا تميم بن المنتصر قال، أخبرنا إسحاق قال، أخبرنا شريك، عن عبد الأعلى الثعلبي، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: يجزيك أن تمسح مقدَّم رأسك إذا كنت معتمرا. وكذلك تفعل المرأة.
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا عبد الله الأشجعي، عن سفيان، عن ابن عجلان، عن نافع قال: رأيت ابن عمر مسح بَيافوخه مسحة= وقال سفيان: إن مسح شعرةً أجزأه= يعني واحدةً.
حدثنا أبو هشام قال، حدثنا عبد السلام بن حرب قال، أخبرنا مغيرة، عن إبراهيم قال: أيّ جوانب رأسك أمْسَسْتَ الماء أجزأك.
حدثنا أبو هشام قال، حدثنا علي بن ظبيان قال، حدثنا إسماعيل بن أبي خالد، عن الشعبي، قال: أي جوانب رأسك أمسست الماء أجزأك.
حدثنا الرفاعي قال، حدثنا وكيع، عن إسماعيل الأزرق، عن الشعبي، مثله. حدثني يعقوب قال، حدثنا ابن علية قال، أخبرنا أيوب، عن نافع قال: كان ابن عمر يمسح رأسه هكذا= فوضع أيوب كفّه وسط رأسه، ثم أمرَّها على مقدَّم رأسه.
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا زيد بن الحباب، عن سفيان، قال: إن مسح رأسه بأصبع واحدة أجزأه. (1)
حدثنا أبو الوليد الدمشقي قال، حدثنا الوليد بن مسلم قال: قلت لأبي عمرو: ما يجزئ من مسح الرأس؟ قال: أن تمسح مقدَّم رأسك إلى القفا أحبُّ إلّي.
حدثني العباس بن الوليد، عن أبيه، عنه، نحوه.
* * *
وقال آخرون: معنى ذلك: فامسحوا بجميع رءوسكم. قالوا: إن لم يمسح بجميع رأسه بالماء، لم تجزِه الصلاة بوضوئه ذلك.
ذكر من قال ذلك:
حدثني يونس بن عبد الأعلى قال، حدثنا أشهب قال، قال مالك: من مسح بعضَ رأسه ولم يعمَّ أعاد الصلاة بمنزلة من غسل بعضَ وجهه أو بعضَ ذراعه. قال، وسئل مالك عن مسح الرأس، قال: يبدأ من مقدَّم وجهه، فيدير يديه إلى قفاه، ثم يردُّهما إلى حيث بدأ منه.
* * *
وقال آخرون: لا يجزئ مسح الرأس بأقل من ثلاث أصابع. وهذا قول أبي حنيفة، وأبي يوسف ومحمد.
* * *
قال أبو جعفر: والصواب من القول في ذلك عندنا، أن الله جل ثناؤه أمر بالمسح برأسه القائمَ إلى صلاته مع سائر ما أمره بغسله معه أو مسحه، ولم يحدَّ ذلك بحدٍّ لا يجوز التقصير عنه ولا يجاوزه. وإذ كان ذلك كذلك، فما مسح به المتوضئ من رأسه فاستحقَّ بمسحه ذلك أن يقال:"مسح برأسه"، فقد أدّى ما فرض الله عليه من مسح ذلك لدخوله فيما لزمه اسم"ماسحٍ برأسه" إذا قام إلى صلاته.[13]
Dari keterang di atas kita bisa mengetahui begitu lengkap riwayat-riwayat yang dicantumkan oleh al-T{abari>> sekaligus perbedaannya dalam menjelaskan mengusap kepala saat berwud{u’ dan pada pemungkas pembahasan ia menampilkan pendapatnya sendiri atau mentarjih pendapat yang menurutnya paling mendekati kebenara.
3)      Sasaran dan tartib ayat yang ditafsirkan kitab Tafsi>r al-T{abari>>
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dari ilmu-ilmu al-Qur’a>n bahwa dalam merangkai atau menafsirkan al-Qur’a>n, para mufassiri>n memiliki gaya yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang menggunakan metode Tah{lili>, Nuzuli>, dan adapula yang menggunakan metode Maud}u>’i>.
Adapun metode yang diterapkan oleh al-T{abari>> dalam menafsirkan al-Qur’a>n ialah dengan menggunakan metode Tah{lili> yaitu menafsirkan ayat al-Qur’a>n dari awal hingga akhir mengikuti runtutan mus}h}af.
4)      Keluasaan penjelasan kitab Tafsi>r al-T{abari>>
Jika ditinjau dari model penjelasan Tafsi>r al-T{abari>>, maka pemakalah bisa menyimpulkan bahwa tafsir ini termasuk tafsir yang menjelaskan ayat al-Qur’a>n dengan panjang lebar (it}na>bi>). Hal ini bisa difahami dari ungkapan al-T{abari>> sendiri dari mukadimah tafsirnya
ونحن -في شرح تأويله، وبيان ما فيه من معانيه- منشئون إن شاء الله ذلك، كتابًا مستوعِبًا لكل ما بالناس إليه الحاجة من علمه، جامعًا، ومن سائر الكتب غيره في ذلك كافيًا.
Ia menyatakan sendiri bahwa kitab tafsir miliknya mencakup semua hal yang dibutuhkan manusia dalam bidang ilmu dan mempelajari karyanya sudah cukup untuk menguasai kitab-kitab lain. Bahkan sebab keluasan dari penjelasan Tafsi>r al-T{abari>>, para cendikiawan mulai berfikir untuk meringkas karyanya mengikuti disiplin ilum yang ada agar pembaca tidak merasa kesulitan. Sebagian dari ringkasan para cendikiawan ialah:
a)      Ama>nuddin, Al-Juhu>d al-Nah}wiyah fi Tafsi>r al-T{abari>>. Tesis kuliah A<da>b wa al-‘Ulu>m al-Insa>niyah. H{alab University, tahun 1986 M.
b)      Zaki> Fahmi> Ahmad al-A<lusi>, al-T{abari>> min Khila>l Tafsi>rih. Disertasi kuliah A>da>b.  Baghda>d University, tahun 1985 M.
c)      Labi>b Sa’i>d, Difa>’ ‘an al-Qira>’a>t al-Mutawa>tirah fi Muwa>jahah al-T{abari>>.
d)      Muhammad Naji>b Qaba>wah, al-T{abari>> Qari’an wa Us{u>lah fi Ikhtiya>r al-Qira>’a>t al-Qur’a>niyah. Tesis, Damaskus University.
e)      Di ringkas oleh Muhammad ‘Ali al-S{abuni> dan S{aleh Ahmad Rid{a>, Mukhtas{ar Tafsi>r al-T{abari>>. Kairo: da>r Ih{ya>’ al-Turath al-‘Araby, 1402 H.
Dan masih banyak pula tulisan yang pada intinya meringkas dari keluasan Tafsi>r al-T{abari>>.
4-   Kecenderungan Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Sospol (sosial politik) menjadi hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dengan adanya sospol para mufassi>r memiliki ciri khas yang berbeda-beda dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n. Kita lihat al-Zamakhshari>, saat ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n yang berhubungan dengan akidah pendekatannya mengikuti cara pendekatan Mu’tazilah (akal lebih mendominan). Al-Mara>ghi>, ia lebih condong pada ahli sunnah (al-Maturidi> dan al-‘Asy’ari>), sebab al-Azhar menjadi salah satu faktor yang berpengaruh besar dalam pemikirannya. Demikian pula dengan al-T{abari>> yang hidup di antara abad ke 3-4 Hijriah, ia memiliki pemikiran dan pendapat yang penting untuk diketahui. Di bawah ini adalah kecendrungan al-T{abari>> jika ditinjau dari karya tafsirnya.
a-      Bidang Teologis
Ketika membahas tentang Teologis, maka pembahasan mengarah pada golongan seperti Mu’tazilah, Murji’ah, Jabariah, Qadariyah,  dan Ahlu Sunnah. Dari masing-masing golongan memiliki cara pandang berbeda dalam memahami hubungan Allah pada makhluqnya.
Tercatat dalam mukadimah pentah{qiq kitab Tafsi>r al-T{abari>> yang ditah{qiq oleh Abdullah bin Abd Muh{sin al-Turki>. Ia berkata “Al-T{abari>> adalah salah satu dari orang alim yang mendukung ahli sunnah wa al-Jama’ah. Akidahnya mengikuti akidah pada ulama klasik (Salaf al-S{a>leh) secara keseluruhan. Dalam kitab tafsirnya al-T{abari>> sering membungkam ulama teolog dari golongan Mu’tazilah, mematahkan dalil-dalil salah yang mereka tetapkan. Al-T{abari>> selalu berusaha mengibarkan sayap ahli sunnah yang disertai dengan dalil-dalil rinci.”[14]
Dari ungkapan di atas kita bisa mengetahui bahwa al-T{abari>> adalah salah satu tokoh ahli sunnah, namun sejauh ini kita belum bisa mengetahui apakah ia masuk dalam katagori pengikut al-‘Ash’ari> atau al-Ma>turidi>, karena yang dimaksud dengan alhli sunnah maka yang dituju adalah dua tokoh tersebut.[15] Agar pembahsan kita lebih lengakap mari kita lihat bagaimana ideologi al-T{abari>> dalam bidang akidah? Yang akan pemakalah paparkan disini berkisar antara pekerjaan seorang hamba (af’a>l al-‘Iba>d)
Al-T{abari>> menjelaskan pekerjaan seorang hamba yang menjadi perbedaan antar golongan teologi dalam firman Allah (S.Q. al-An’a>m, 122)
(كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ)
Dengan pernyataannya yang mengidikasikan bahwa dirinya adalah termasuk golongan al-Ash’ari>:\\
 قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: كما خذلت هذا الكافر الذي يجادلكم = أيها المؤمنون بالله ورسوله، في أكل ما حرّمت عليكم من المطاعم = عن الحق، فزينت له سوءَ عمله فرآه حسنًا، ليستحق به ما أعددت له من أليم العقاب، كذلك زيَّنت لغيره ممن كان على مثل ما هو عليه من الكفر بالله وآياته، ما كانوا يعملون من معاصي الله، ليستوجبوا بذلك من فعلهم، ما لهم عند ربهم من النَّكال .
* * *
قال أبو جعفر: وفي هذا أوضح البيان على تكذيب الله الزاعمين أن الله فوَّض الأمور إلى خلقه في أعمالهم، فلا صنع له في أفعالهم، وأنه قد سوَّى بين جميعهم في الأسباب التي بها يصلون إلى الطاعة والمعصية.
Dari teks di atas bisa disimpulkan bahwa al-T{abari>> menyatakan pekerjaan seorang hamba dibahwa control Tuhan dan tidak lepas dari kontrolnya. Jadi Allah lah yang menciptakan semua pekerjaan manusia, bukan manusia itu sendiri sebagaimana yang diungkapakan oleh golongan muktazilah atau qadariyah.
b-      Bidang Fikih
Dalam biografi al-T{abari>> tercatat, bahwa pada awalnya ia bermadhhab Sha>fi’I. Bahkan ia tergolong pembesar tokoh madhhab Shafi’iyah,[16] namun kemudia ia tidak menganut madhhab itu lagi. Ia berusaha untuk merumuskan hukum sendiri tanpa mengekor pada madhhab yang ada (menjadi mujtahid Mut}laq Mustaqi>l). Madhhab yang diusung oleh al-T{abari>> bernama Jaririyah. Oleh karena itu, tidak heran bila mengkaji Tafsri> al-T{abari>> banyak tercantum pendapat-pendapat ulama fikih, kemudian ia akan menuangkan pendapatnya sendiri disetai oleh dalil-dalil yang memperkokoh pendapatnya. Sebagai contoh dalam masalah tayammum, ia mempunyai pandangan yang berbeda akan batasan tangan yang harus diusap dengan debu saat nemafsirkan friman Allah (S.Q. al-Nisa>’. 43)
)يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم إن الله كان عفوا غفورا(
قال أبو جعفر: والصواب من القول في ذلك: أن الحد الذي لا يجزئ المتيمم أن يقصر عنه في مسحه بالتراب من يديه: الكفان إلى الزندين، لإجماع الجميع على أن التقصير عن ذلك غير جائز. ثم هو فيما جاوز ذلك مخير، إن شاء بلغ بمسحه المرفقين، وإن شاء الآباط. والعلة التي من أجلها جعلناه مخيرا فيما جاوز الكفين: أن الله لم يحد في مسح ذلك بالتراب في التيمم حدا لا يجوز التقصير عنه. فما مسح المتيمم من يديه أجزأه، إلا ما أجمع عليه، أو قامت الحجة بأنه لا يجزئه التقصير عنه. وقد أجمع الجميع على أن التقصير عن الكفين غير مجزئ، فخرج ذلك بالسنة، وما عدا ذلك فمختلف فيه. وإذا كان مختلفا فيه، وكان الماسح بكفيه داخلا في عموم الآية  كان خارجا مما لزمه من فرض ذلك.[17]

Pendapat al-T{abari>> ini bisa dikatakan berbeda dengan pendapat al-Sha>fi’I, dalam kitab al-Um dijelaskan bahwa kewajiban mengusap tangan dengan debu dimualai dari ujung jari hingga siku.
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَمَعْقُولٌ إذَا كان التَّيَمُّمُ بَدَلًا من الْوُضُوءِ على الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ أَنْ يُؤْتَى بِالتَّيَمُّمِ على ما يُؤْتَى بِالْوُضُوءِ عليه فِيهِمَا... الى ان قال... ( قال الشَّافِعِيُّ ) ولايجوز ان يتيمم الرجل إلا ان ييمم وجهه وذراعيه الى المرفقينى.[18]
Selain itu, lanjutan dari surat al-Nisa>’ ayat ke- 43 yang berbunyi أو لامستم النساء al-T{abari>> juga pempunyai agrumen berbeda dengan al-Sha>fi’I, dalam kitabnya menjelaskan bahwa sekedar bersentuhan lain jenis tidak dapat membatalkan wud{u’ dengan alasan hadi>th Rasul saw butkinya bahwa lafad Lams dalam al-Qur’a>n berarti sex (Jima>’)
قال أبو جعفر: وأولى القولين في ذلك بالصواب، قول من قال:"عنى الله بقوله:"أو لامستم النساء"، الجماع دون غيره من معاني اللمس"، لصحة الخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، أنه قبل بعض نسائه ثم صلى ولم يتوضأ.[19]
Beda halnya dengan pendapat al-Sha>fi’I, ia berargumen wud{u’ seseorang bisa batal sebab sentuhan sekedar sentuhan kulit baik disertai nafsu maupun tidak.
 ( قال الشَّافِعِيُّ ) وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ  وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءُ.[20]
C-  PENUTUP
Para sejarawan mencatat tafsir karya tangan al-T{abari>> merupakan buku tafsir pertama kali yang muncul pada umat Islam, kendatipun pada masa sebelum terlahirnya al-T{abari>> sendiri banyak ilmuan muslim yang sudah menuangkan tafsri al-Qur’a>n, namun mengapa al-T{abari>> dinaubatkan sebagai muffasir pertama kali? Itu semua disebabkan hanyak tulisanya yang sampai pada tangan kita dan selain karyanya sudah musnah ditelan oleh waktu. Tercatat dalam diktat kuliah al-Azhar fakultas Dira>sa>t al-Islamiyah wa al-‘Arabiyah li al-Bani>n bi al-Qa>hirah jurusan Dira>sa>t al-Islamiyah karya tangan Ibrahim H{amu>r sebelum al-T{abari>> menelurkan karya tafsirnya, al-Farra>’ sudah sukses membuat karya tafsir yang berjudul Ma’a>ni> al-Qur’a>n,[21] namun karya al-Farra>’ tidak bisa menggungguli karya al-T{abari>>, karena al-T{abari>> menafsirkan al-Qur’a>n dengan menggunakan riwayat, dan mencakup segala bidang keilmua seperti sastra Arab dan  perbedaan pendapat ulama fikih. Ia tidak hanya sekedar mencantumkan, melainkan ia mentarjih dari sekian pendapat yang ditulisnya.[22]
Dalam bidang fikih al-T{abari>> tidak bisa diragukan lagi kealimannya. Ia mampu menjadi mujtahid mutlak mustaqil usai menjadi pembesar tokoh Sha>fi’i. Dalam Tafsir al-T{abari>> sangat jelas ia tidak mengikuti madhhab Sha>fi’I lagi, sekian banyak pendapat dalam bidang Furu>’ yang berbeda. Jika dilihat dari sudut pandang teologi, al-T{abari>> lebih condong pada al-Ash’ari>. Oleh karena itu, tidak salah bila para pencatat biografinya memasukkan dalam katagori Ahli Sunnah wa al-Jama’ah.





Referensi
Ahmad Ibra>hi>m H{amu>r, al-H{ad{a>rah al-Isla>miyah, Kairo: Ja>mi’ al-Azhar, 1423 H.
Baghda>di (al) Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b >, Ta>rikh Baghda>d, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422 H.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997.
Dhaha>bi (al) Muhammad Husen >, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000  M.
‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, Kairo: Mujalla>d al-Arabi, 2010 M.
Ru>mi (al) Abu> ‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi> >, Mu’jam al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b il> Ma’rifah al-Adi>b, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M.
Safa>raini (al) Muhammad bin Ahmad bin Sa>lim, Lawa>mi’ al-Anwa>r al-Bahiyah, Damaskus: Muassasah al-Khafiqi>n, 1402 H.
Shafi’I (al) Muhammad bin Idri>s, al-Um, Madinah: Da>r al-Wafa>’, 1322 H.
Subki (al) Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi> >, T}aqa>t al-Sha>fi’iyah al-Kubra>, Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413 H.
T{abari> (al) Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Tafsi>r al-T{abari>> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n, Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422 .H


[1] Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422), 2/162.
[2] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n, (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422 H), 12.
[3] Abu> ‘Abdullah Yaqu>t al-H{amawi> al-Ru>mi>, Mu’jam al-Udaba>’ Irsha>d al-Ari>b il> Ma’rifah al-Adi>b, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M), 242.
[4] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…, 13.
[5] Ahmad bin ‘Ali Abu> Bakar al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d…, 2/166.
[6] Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi> al-Subki>, T}aqa>t al-Sha>fi’iyah al-Kubra> (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413 H), 3/126.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997), 1126.
[8] ‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Mujalla>d al-Arabi, 2010), 341.
[9] Ibid. 341.
[10] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n…, 6.
[11] Muhammad Husen al-Dhaha>bi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 1/210.
[12] Abu> Ja’far, Tafsi>r al-T{abari>…, 1/131.
[13] Abu> Ja’far, Tafsi>r al-T{abari>…, 10/50-54.
[14] Abu> Ja’far, Tafsi>r al-T{abari>…, 1/56.
[15] Muhammad bin Ahmad bin Sa>lim al-Safa>raini, Lawa>mi’ al-Anwa>r al-Bahiyah, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqi>n, 1402 H), 73.
[16] Ta>juddi>n bin ‘Ali bin Abd al-Ka>fi> al-Subki>, T}aqa>t al-Sha>fi’iyah al-Kubra> (Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1413 H), 3/128.
[17] Abu> Ja’far, Tafsi>r al-T{abari>…, 8/411.
[18] Muhammad bin Idri>s al-Shafi’I, al-Um, (Madinah: Da>r al-Wafa>’, 1322 H), 2/103.
[19] Abu> Ja’far, Tafsi>r al-T{abari>…, 8/396.
[20] Muhammad bin Idri>s al-Shafi’I, al-Um…, 2/37
[21] Ahmad Ibra>hi>m H{amu>r, al-H{ad{a>rah al-Isla>miyah, (Kairo: Ja>mi’ al-Azhar, 1423 H), 229.
[22] ‘I<d Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Mujalla>d al-Arabi, 2010), 341.

No comments:

Post a Comment