History Perkembangan Tafsir Masa Rasul SAW
By: Muhammad
I.
Pendahuluan
Ilmu Tafsir merupakan sebuah ilmu yang mempunyai
peringkat pertama untuk dipelajari jika dibandingkan ilmu-ilmu lain. Ungkapan
seperti ini tidak ada pemungkir, sedangkan pemungkir ungkapan ini hanyalah
orang yang tidak pernah percaya adanya cahaya matahari di bumi.
Tanpa menggunakan
logika, seseorang bisa mengetahui poin pembahasan ilmu tafsir yaitu: membahas
Kalam Ilahi yang tidak datang padanya kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang di turunkan dari Tuhan Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Posisi
semua ilmu selain ilmu Tafsir sebagai penopang atau instumen dari al-Qur’a>n,
contoh kecil seperti Ilmu Rhetoric, Ilmu ini bertugas sebagai pengantar
agar bisa memahami al-Qur’a>n dari segi literatur yang ada di
dalamnya dan mengetahui bahwa Kitab Suci umat Islam benar-benar mempunyai I’ja>z,
Ilmu Syntax dan Morphology berposisi sebagai pembantu agar bisa memahami
al-Qur’a>n melalui lafad-lafad dan mengklasifikasi lafad-lafad yang
bersangkutan, Ilmu Foundations of Islamic Jurisprudence bertugas sebagai prolog untuk mengetahui
hukum-hukum syariat yang pengambilannya dari al-Qur’a>n dan begitu juga
ilmu-ilmu yang lain semua mempunya peranan figuran al-Qur’a>n. Oleh karena
itu, Ilmu Tafsir merupakan Ilmu yang Trending Topic (pembahasan yang
hangat) dan mendapatkan perhatian lebih dari seluruh umat Islam di dunia di
bandingkan ilmu-ilmu lain.
Ilmu Tafsir menjadi Trending
Topic mulai dari permulaan turunnya al-Qur’a>n yang dibawa Jibril untuk
dihadiahkan pada Muhammad. Sewaktu Jibril melantunkan kalimat-kalimat Suci Nabi
tergesa-gesa untuk menghafalnya dan memerintah Jibril agar mempercepat
bacaannya, hingga Allah memerintahkannya untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa,
karena Allah berjanji akan menjaga hafalan, menanamkan pada hatinya dan Allah
akan menafsirkan dan menjelaskan arti dari ayat suci yang telah di turunkan
padanya sebagaimana dalam firman Allah surat al-Qiya>mah ayat 16-19
(لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ
بِهِ، إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ
قُرْآنَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ)
“Janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’a>n kerena hendak cepat-cepat,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu
pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.
Tugas Nabi tidak
terbatas untuk mengfapal al-Qur’a>n saja, akan tetapi Nabi juga diperintah
menyampaikan dan menerangkan pada semua pengikutnya sebagaiman yang tercatat
dalam surat al-Nah}l ayat 44
(وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah dirutunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkannya”.
Selain itu, al-Qur’a>n juga memerintahkan Nabi
Muhammad dan umatnya agar merenungi ayat-ayat dan mencari hakikat dari arti
yang benar. Dalam firman Allah surat S}a>d ayat 29.
(كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ)
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapatkan pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran”.
Oleh karena itu, para
sahabat selalu menjaga dan mencari tahu arti dari satu ayat ke ayat yang lain
sebagaimana yang telah dijelaskan olah Ibnu Jari>r dari Ibnu Mas’u>d
“Jika ada salah satu dari kami (sahabat Nabi) belajar sepuluh ayat dari al-Qur’a>n,
maka tidak akan berpindah pada ayat lain samapai mengetahui arti dan
merealisasikannya dengan sungguh-sungguh”
II.
Pembahasan
1- Tafsir Masa
Nabi Muhammad
Tafsir al-Qur’a>n muncul
mulai dari awal mula turunnya al-Qur’a>n pada Nabi Muhammad dan tetap eksis
sampai saat ini. Tafsir pun tidak akan mati hingga datangnya hari kiamat kelak,
akan tetapi metode transfernya yang berbeda,
karena setiap manusia mempunyai kemampuan dan kapasitas pemahaman berbeda-beda.
Dengan demikian Tafsir di zaman Nabi dan sahabat berbeda dengan Tafsir di era
setelahnya.
Bila dibandingkan
dengan masa setelah Rasul saw, maka bisa dikataan pada zaman Rasul saw penafsiran
al-Qur’a>n bisa dibilang sangat begitu sempit disebabkan mereka orang arab
yang mengetahui literatur bahasa Arab dan pada saat itu mayoritas para sahabat
mengerahui sebab-sebab turunnya wahyu. Beda halnya dengan tafsir setelah masa
Rasul, pada saat itu tafsir sudah berkembang dan mengangkasa, semua itu
disebabkan pemahaman dan kepekaan orang Islam terhadap bahasa Arab sudah
mengalami kemerosotan, karena banyaknya orang non Arab menikah dengan orang
Arab dan meluasnya negara yang ditaklukkan oleh umat Islam pada saat itu.
Inilah yang menjadi unsur tercampurnya bahasa Arab dengan bahasa asing yang
mengakibatkan adanya da>khil.
Meskipun pada saat itu para sahabat ahli dalam bahasa
Arab, namun tidak semua dari sabahat mengetahui satu-persatu arti dan maksud
dari ayat al-Qur’a>n. Oleh karena itu, para sahabat sering bertanya pada
Nabi mengenai arti ayat yang masih samar baginya sebagai contoh firman Allah
surat an-Nisa’ ayat 57
(لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ)
“Di
sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci”.
Dalam ayat ini
sahabat masih kurang begitu faham mengenai arti kalimat mut}ahharah, kemudian mereka bertanya pada Rasul saw. Rasul saw pun menjelaskan maksud dari
lafad itu yang mempunyai arti suci dari haid, air kecil, dan air besar.[1]
2- Macam-macam Tafsir di Masa Rasul
Terdapat
keterangan dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jari>r dalam Tafsirnya bahwa macam-macam tafsir pada masa Rasul saw ada
empat macam sebagaimana berikut;[2]
a- Tafsir yang bisa diketahui orang Arab dari bahasa
sehari-harinya.
b- Tafsir yang bisa diketahui semua orang tanpa
terkecuali.
c- Tafsir yang hanya bisa diketahui orang-orang pintar
(ulama).
d- Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Dari macam-macam tafsir di atas Rasul
saw tidak menjelaskan bagian yang pertama, karena pada saat itu al-Qur’a>n di
turunkan di Arab dan masyarakat di sana mengetahui bahasa Arab. Bagian tafsir kedua
pun Rasul saw tidak menjelaskan, karena lafad al-Qur’a>n tidak samar bagi
perindividu. Pada bagian yang keempat Rasul saw tidak menjelaskan pada umatnya,
karena hanyalah Allah yang mengetahui maksud dan rahasia di balik perkataan-Nya
itu. seperti penjelasan tentang hari kiamat dan sesuatu yang bersangkutan
dengan hal-hal ghaib.
Hanya
bagian ketigalah yang Rasul jelaskan pada para sahabat yaitu Tafsir yang hanya
bisa diketahui orang-orang pintar (ulama) seperti penjelasan mengenai ayat-ayat
yang masih bersifat global, men-takhs{is{ lafad yang bersifat umum, dan lain
sebagainya yang masuk dalam katagori samar menurut pandangan mereka. Dari sini,
muncullah dua macam tafsir ayat al-Qur’a>n yang Pertama tafsir
sahabat yang bersumber dari Rasul saw, ini bisa didapatkan dari para sahabat
yang selalu besama Rasul dan mendengarkan penjelasannya langsung dan Kedua
tafsir sahabat yang bersumber dari ijtihad dan pemikiran mereka sendiri, ini
berlaku bagi para sahabat yang jaraknya sangat jauh dari Rasul, sehingga mereka
dipaksa untuk menafsiri al-Qur’a>n sesuai dengan kebutuhan mereka dengan
bekal bahasa Arab, budaya Arab, sebab-sebab turunnya ayat, meneliti ahlul kitab
yang hidup di daerah Arab, dan lain-lain. Adapun teks
dari perkataan al-Dhahabi di atas sebagaimana berikut:
المصدر الثالث – الإجتهاد وقوة
الإستنباط- وذلك إذا لم يجدوا التفسير فى كتاب الله تعالى, ولم يتيسر لهم أخذه عى
النبي مباشرة او بالوساطة. فحينئد يكون الإجتهاد واجبا على من تتوافر فيه شروط
الإجتهاد.[3]
3- Apakah Rasul saw Menafsirkan Semua Ayat al-Qur’a>n?
Terdapat kontradiksi
antara ulama mengenai penafsiran al-Qur’a>n pada masa Rasul saw. Muculnya
kontradiksi itu bersinyalir dari sebuah pertanyaan “Apakah Rasul saw menafsiri
keseluruhan ayat dari al-Qur’a>n ataukah hanya sebagaian saja yang menurut
para sahabat masih samar?”
Sebagian ulama
beranggapan bahwa Rasul saw menjelaskan atau menafsirkan keseluruhan dari
ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’a>n. Ini merupakan pendapat yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah.[4] Sebagian ulama ada pula yang berpendapat bahwa
Rasul hanya menafsiri sedikit dari ayat al-Qur’a>n sebagaimana yang di
ungkapkan oleh al-Khuwaini.[5] Dan
sebagian lagi berpendapat bahwa Rasul banyak menafsiri ayat-ayat al-Qur’a>n,
namun tidak keseluruhan. Pendapat terakhir ini ialah pendapat dari Husen al-Dhaha>bi>.[6] Di bawah
ini adalah penjelasan satu-persatu dari pendapat ulama serta pendapat yang
lebih dibenarkan oleh mayoritas ulama.
Pendapat Ibnu Taimiyah. Ia berpandangan bahwa Rasul saw menjelaskan dan
menfsiri seluruh ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’a>n berdasarkan
firman Allah surat al-Nah{l ayat 44
(وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ)
“Dan
Kami Turunkan al-Qur’a>n kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dari ayat di atas sangat jelas bahwa Allah menurunkan al-Qur’a>n pada
Muhammad saw agar Muhammad saw menjelaskan pada umat manusia tentang semua isi al-Qur’a>n.
Menurut logika, tidak mungkin Muhammad saw menjelaskan sebagaian saja, karena
dalam ayat di atas merupakan sebuah perintah untuk menjelaskan semua yang ada
dalam al-Qur’a>n. Bila Rasul saw menjelaskan sebagian saja, maka Rasul saw
lalai pada tugasnya yaitu menjelaskan semua isi al-Qur’a>n pada umat
manusia.
Dalil yang memperkuat bahwa Rasul saw menafsiri semua ayat al-Qur’a>n
ungkapan dari Abu Abdurrahma>n al-Salimi. Ia berkata “Diceritakan
dari orang-orang yang mengajarkan al-Qur’a>n pada kami seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin
Mas’ud, dan lain-lainnya bahwa bila mereka belajar al-Qur’a>n pada Rasul saw
10 ayat al-Qur’a>n, mereka tidak akan meninggalkannya sehingga mereka bisa
benar-benar memahami dan mengamalkannya”.
Ungkapan para sahabat mengenai metode pembelajaran al-Qur’a>n pada Rasul
saw ini mengindikasikan Rasul saw menerangkan semua arti ayat al-Qur’a>n,
karena para sahabat sendiri yang mengatakan bila sudah mendapat 10 ayat mereka
tidak akan meninggalkan begitu saja sebelum mengetahui benar-banar. Dan metode
pembelajaran Rasul saw pada semua sahabat maksimal hanya 10 ayat.
Adapaun dalil yang menjadi sandaran ulama bahwa Rasul hanya menafsiri
sebagain saja dari al-Qur’a>n yaitu hadits yang datang dari ‘A<ishah
(قال أَبُو يَعْلَى : ثنا إِسْحَاقُ ،
ثنا مَعْنٌ عَنْ فُلَانِ ابن مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ
، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ لَا يُفَسِّرُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا آيًا بِعَدَدِ عَلَّمَهُنَّ
إِيَّاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ)[7]
“Sesungguhnya
Rasul saw tidak menafsiri seditpun dari ayat al-Qur’a>n kecuali yang
beberatapa ayat yang telah Jibril ajarkan pada Rasul saw”.
Dari hadi>th di atas menunjukkan
bahwa Rasul tidak menafsiri semua dari ayat-ayat al-Qur’a>n, melainkan hanya
sebagian saja dan itupun mengikuti
sebagaimana yang telah Jibril ajarkan padanya. Jika benar Rasul menafsiri semua
ayat al-Qur’a>n sebagaiaman yang telah Ibnu Taimiyah sampaikan di atas, maka
‘A<ishah tidak mungkin berkata Rasul hanya menafsiri sebagian dari ayat al-Qur’a>n.
Para ulama berpendapat bahwa Allah
tidak memerintah Rasul saw untuk menafsiri semua ayat al-Qur’a>n, karena al-Qur’a>n
diturunkan agar semua hamba Allah bisa berfikir lewat al-Qur’a>n dari setiap
ayat yang tidak terdapat penjelasan melalui tanda-tanda dan bukti-bukti nyata.[8]
Salain itu, jika Rasul saw
menjelaskan semua ayat al-Qur’a>n, maka apa gunanya Rasul saw mendoakan Ibnu
‘Abbas agar bisa menjadi orang yang alim fikih dan pandai dalam menta’wil al-Qur’a>n?[9]
4- Model Penafsiran Pada Masa Rasul
Ada beberapa model atau cara penafsiran yang
diterapkan Rasul saw saat menafsirkan atau menjelaskan al-Qur’a>n pada para
sahabat. Metode penafsiran itu sebagaiamana berikut:[10]
a- Menjelaskan ayat yang masih bersifat
global. Contoh firman Allah surat al-Baqarah ayat 42
(وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ)
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Kewajiban shalat dan membayar zakat yang tertera dalam al-Qur’a>n masih
sangat global, karena al-Qur’a>n sendiri tidak menejelaskan secara jelas
praktek shalat yang dishariatkan. Dari keglobalan ini, Rasul saw menjelaskan pada semua umatnya
praktek shalat yang benar dan waktu-waktu wajibnya shalat. Beigut pula dengan
zakat, dalam al-Qur’a>n tidak menjelaskan benda apa saja yang bisa dijadikan zakat? Dan berapakah ukuran zakat
itu sendiri? Semua keglobalan ini dijelaskan oleh Rasul saw dari
hadits-haditsnya.
b- Menjelaskan sesuatu yang belum bisa
difahami langsung oleh sahabat.
Sebagai contoh firman Allah surat al-Baqarah ayat 187
(لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ)
“Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan
yang suci”.
Mengenai ayat di atas sebagian sahabat masih bingung dan belum faham maskud
dari mendapatkan istir yang suci di surga kelak. Rasul menjelaskan arti dari
sucinya istri di surga dengan wanita yang tidak haid, buang air kencing, dan air besar.
c- Men-sepesifik-kan ayat yang masih
umum.
Para sahabat bertanya pada Rasul mengenai lafad Z{ulm yang tercatat dalam firman Allah surat al-An’a>m ayat 82.
(الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ)
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman”.
Sahabat berkata “Wahai Rasulallah siapakah diantara kami yang tidak pernah
mengerjakan kez}aliman?” Rasul saw menjawab “Bukan seperti itu maksud dari lafad Z{ulm. Apakah kamu pernah mendengar firman Allah yang menjelaskan perkataan
Luqman pada anaknya?
(يَا بُنَيَّ
لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ)
“Wahai anakku! Janganlah engkau
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kedzaliman yang besar”. (surat Luqman ayat 13).
Pada awalnya sebagaian sahabat mengira bahwa maksud dari lafad Z{ulm
ialah kedzaliman seperti biasa yang terjadi pada diri manusi. Jika memang benar
begitu, maka tidak ada satupun dari manusia yang bisa menghindarinya. Namun
setelah mendapatkan penjelasan dari Rasul saw, mereka bisa memahami maksud dari
lafad dzulmu dalam ayat di atas mempunyai arti syirik.
d- Taqyi>d al-Mutlaq.
Sebagaiamana firman Allah surat al-Ma>idah ayat 38
(وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما)
“Adapun laki-laki dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya”.
Ayat pemotongan tangan bagi pencuri ini masih bersifat mutlak, karena tidak
ada penjelasan tangan sebelah mana yang harus dipotong ketika mencuri. Dari
sini, Rasul saw menjelaskan pada sahabat bahwa tangan sebelah kanan yang harus dipotong
bagi pencuri.
Empat manhaj inilah
yang dipakai oleh Rasul saw saat menafsirkan al-Qur’a>n pada para sahabat.
III.
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa mengetahui tafsir al-Qur’a>n
merupakan hal paling agung, karena al-Qur’a>n adalah friman Allah dan al-Qur’a>n
adalah sumber primer Islam yang berada diposisi pertama. Selain itu, semua
jenis ilmu seperti fikih, nah{wu s{araf, dan lain sebagainya selalu bergantung
pada al-Qur’a>n. Coba bayangkan, bagaimana ilmu fikih bisa tercipta bila
tidak ada al-Qur’a>n? bagiamana bisa ada hadi>th Rasul saw bila tidak ada
al-Qur’a>n? Karena bila dilihat fungsi
hadi>th sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur’a>n dan bila dalam al-Qur’a>n
sudah dijelaskan dengan jelas, maka hadith tidak akan muncul dengan berlawanan.
Tidak bisa dipungkiri akan minimnya tafsir pada masa Nabi Muhammad saw, beda halnya dengan masa
setelah Nabi saw dan para sahabat. Semua itu disebabkan para sahabat tidak
membutuhkan penjelasan lebih mendalam, karena al-Qur’a>n diturunkan dengan
bahasa arab sedangakn para sahabat adalah orang-orang yang mahir dalam bahasa
arab baik bersangkutan dengan bala>ghah, nah{wu, s{araf, dan ilmu alat
lainnya.
Dan terakhir, pada masa Nabi Muhammad sangatlah minim perbedaan pendapat
mengenai tafsir al-Qur’a>n, karena bila para sahabat berbeda pendapat atau
ada yang tidak difahami ayat dari al-Qur’a>n, mereka langsung bertanya pada
Rasul saw sehingga pemahaman mereka bisa menyatu dan menjadi unsur minimnya
berbedaan pendapat dalam memahami al-Qur’a>n.
Referensi
Andalusi (al) Abu Abdullah bin Muhammad, Al-H{ada>iq fi al-Mat}a>lib al-‘A<liyah. Damaskus: Da>r al-Fikr. 1988.
Dhahabi (al) Muhammad Husen, Al-Tafsi>r wa
al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000.
_______. ‘Ilm al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. 1325.
‘Id Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa
al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n.
Kairo: Mujalla>d al-Arabi. 2010.
Ibu Taimiyah, Sharh{ Muqaddimah fi Us}uli
al-Tafsi>r. Saudi Arabiyah: Da>r Ibn al-Jauzi>. 1427.
Qurt}ubi (al) Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar, Al-Ja>mi’
li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Bairut: Muassash al-Risa>lah, 1428.
Ru>mi (al) Fahd bin Abdurrahma>n bin
Sulaima>n, Buh{uth fi Us}ul al-Tafsi>r wa Mana>hijuh. Riyad}:
Maktabah al-Taubah. 1990.
Suyu>t}i> (al) Jala>luddin
Abdurrahma>n, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Da>r
al-Hadi>th. 2004M/1425H.
[1] ‘Id Khid}ir Muhammad
Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo:
Mujalla>d al-Arabi, 2010), 356.
[4] Ibu
Taimiyah, Sharh{ Muqaddimah fi Us}uli al-Tafsi>r, (Saudi Arabiyah:
Da>r Ibn al-Jauzi>, 1427), 17.
[5] Jala>luddin Abdurrahma>n al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2004M/1425H), 2/174.
[7] Abu Abdullah bin Muhammad al-Andalusi, al-H{ada>iq
fi al-Mat}a>lib al-‘A<liyah, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1988), 427.
[9] Muhammad
bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n, (Bairut: Muassash al-Risa>lah, 1428), 1/ 266.
[10] Fahd bin
Abdurrahma>n bin Sulaima>n al-Ru>mi, Buh{uth fi Us}ul al-Tafsi>r
wa Mana>hijuh, (Riyad}: Maktabah al-Taubah, 1990), 19.
No comments:
Post a Comment