Latar Belakang Perkembangan Dakhi>l
By:
Muhammad
I-
Pendahuluan
Al-Qur’a>n adalah satu-satunya mukjizat Nabi Muhammad
saw yang tidak akan lenyap ditelan waktu, satu-satunya kitab Allah yang menjadi
penyempurnaan kitab-kitab nabi sebelumnya, dan satu-satunya kitab yang solid
dan valid hingga akhir zaman kelak. Dalam al-Qur’a>n menjelaskan setiap
sesuatu yang sudah terjadi seperti cerita tentang nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad, menjelaskan sesuatu yang sedang terjadi seperti s{alat, zakat, haji,
dan lain-lain, dan menjelaskan sesuatu yang akan terjadi seperti kedatangan
Dajja>l, hari kiamat, surga, neraka, dan lainnya.
Tidak bisa diragukan lagi,
al-Qur’a>n adalah produk Allah dan tidak ada satupun yang mencampuri dalam
pembuatan al-Qur’a>n. Hal ini terbukti semenjak diturunkannya al-Qur’a>n
hingga sekarang, al-Qur’a>n selalu mengadakan sayembara pembuatan ayat
penanding al-Qur’a>n, namun tidak ada satupun dari makhluk hidup yang bisa
menandinginya sebagaimana firman Allah (QS. al-Baqarah. 23)
(وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَداءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ)
“Dan jika kalian meragukan
(al-Qur’a>n) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah
satu surat semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah,
jika kalian orang-orang yang benar.”[1]
Ayat di atas merupakan sebuah sayembara pembuatan surat
semisal dengan al-Qur’a>n bagi pengingkar al-Qur’a>n firman Allah. Ayat
23 dari surat al-Baqarah ini diturunkan sebab banyaknya peragu al-Qur’a>n.
Mereka beranggapan al-Qur’a>n produk Nabi Muhammad saw, dan al-Qur’a>n
adalah sihir. Dengan beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan pengingkar
al-Qur’a>n demi menepis ketidak-kuasaan menandingi al-Qur’a>n. Sebagian
alasan pengingkar al-Qur’a>n berkata ‘Orang-orang terdahulu sangat bisa
menandingi al-Qur’a>n, karena mereka memiliki kemampuan bahasa Arab yang
sangat tinggi, namun mereka tidak sempat membuat satu ayat pun sebab mereka
sibuk memerangi orang-orang Islam’.[2]
Di sisi lain, banyak dari golongan maupun
individi yang selalu berusaha menggoyah keyakinan orang-orang Islam dengan cara
menyebarkan ideologi bahwa al-Qur’a>n produk Nabi Muhammad saw, al-Qur’a>n
produk budaya, perlu diadakan renovasi al-Qur’a>n, perubahan susunan,
al-Qur’a>n tidak valid diterapkan pada masa sekarang, menafsirkan
al-Qur’a>n dengan mengadopisi dalil-dalil yang masih disangsikan akan
kebenarannya, dan masih banyak lagi alasan agar orang Islam tidak yakin lagi
pada kitab sucinya. Padahal Nabi Muhammad saw pernah bersabdah saat haji wada’
(HR. H{akim. 1/171)
(يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ
فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ)
“Wahai Manusia, sesungguhnya
aku (Muhammad) telah mewariskan pada kalian, bila kalian berpegang teguh
padanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya (warisan itu adalah)
kitab Allah (al-Qur’a>n) dan hadi>th Nabi-Nya.”
Pesan yang tersurat dari hadi>th
di atas sengat jelas bahwa umat Islam tidak akan tersesat dari jalan yang benar
dan lurus jika umat Islam konsisten bercermin pada al-Qur’a>n dan hadi>th
Nabi Muhammad. Namun, dalam memahami al-Qur’a>n itu sendiri masih sangat
sulit dan sering kali penafsir al-Qur’a>n cendrung pada sekte yang ia anut.
Dari sinilah sebab munculnya beragam penafsiran dari satu ayat al-Qur’a>n.
Lebih parah dari itu, terkadang penafsir al-Qur’a>n menggunakan dalil-dalil
yang hanya untuk memperkuat argumennya tanpa memandang validitas dalil
tersebut.
Pada kesempatan kali ini, pemakalah
ini sediki menguraikan tentang latar belakang perkembangan Dakhi>l dengan
harapan agar supaya kita bisa mengetahui asal muasal munculnya Dakhi>l
dalam kitab suci al-Qur’a>n. Pembahasan kali ini hanya melingkup seputar
arti kata Dakhi>l, sebab-sebab munculnya Dakhi>l, dan
diakhiri dengan penutup.
II-
Arti Kata Dakhi>l
Menurut kacamata bahasa arti kata Dakhi>l
memiliki beragam arti, di antara arti-arti tersebut ialah:
Fairu>z A<ba>di> menjelaskan dalam kitab al-Qa>mu>s
al-Muh}i>d} arti dari kata Dakhi>l ialah sesuatu yang masuk ke
dalam tubuh manusia atau pada akalnya yang berupa penyakit atau sesuatu yang
jelek. Sedangkan masharakata Arab mengartikannya sebagai suatu kata asing yang
masuk dan bercampur ke dalam bahasa Arab.[3] Dari berbagai kitab lughah
semuanya mengartikan kata Dakhi>l tidak lepas dari sesuatu yang masuk
dan menyelinap dari luar yang tidak memiliki asal sedikitpun dalam pembahasan
yang dimasukinya.[4]
Dakhi>l
menurut istilah ulama tafsir adalah Tafsir atau penafsiran yang tidak memilik
dasar sedikitpun dalam agama yang hadir dengan maksud merusak kandungan
al-Qur’a>n.
Jika diteliti lagi, Dakhi>l bisa ditelorkan
dari dua sudut Pertama Dakhi>l yang timbul dari
orang-orang non Islam (al-Dakhi>l al-Kha>riji>). Dakhi>l
semacam ini muncul dari pemikiran musuh-musuh umat Islam yang ingin
menghancurkan agama Islam baik itu dari orang Yahu>di, Nas}ra>ni, orang
yang tidak memiliki agama, maupun dari golongan orientali yang mereka hanya
bertujuan untuk mempermainkan agama dan ingin menampakkan bahwa kitab suci
al-Qur’a>n sangat bertentangan dengan dinamika kehidupan manusia. Mereka
mulai memasukkan ideologi salah dalam memahami al-Qur’a>n agar terjadi
fitnah di antara sesama Islam, agar umat Islam ragu terhadap kitab suci Allah,
dan agar umat Islam bercerai berai.[5] Semisal ketidak harusan
menghadap kiblat bagi orang yang mengerjakan ibadah s}alat baik orang tersebut
ada udhur maupun tidak. Mereka menggunakan landasan dari firman Allah (QS.
al-Baqarah. 115)
(وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ واسِعٌ
عَلِيمٌ)
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kamu menghadap di sanalah
wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”[6]
Dari ayat di atas orang-orang non Islam berusaha untuk memalingkan arah
berhadapnya umat Islam (Ka’bah) kepada penghadapan yang tidak dirid}ai Allah
yaitu pada salib, patung, dan lain-lain. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak
melarang umat Islam untuk menghadap selain ka’bah. Selain itu, mereka juga
berdalih bahwa tidak ada beda antara menghadap ka’bah dan menghadap pada salib,
sebab keduanya hanya merupakan sebuah perantara untuk mendekatkan diri pada
Allah.
Kedua Dakhi>l
yang muncul dari orang Islam sendiri. Dakhi>l macam ini bisa muncul
dari golongan beragam yang mengatas namakan golonganya beragama Islam, namun
pada kenyataannya mereka mempunyai hubungan gelap dengan musuh-musuh Islam.
Golongan Islam itu hanya menjalankan strategi yang dirumuskan oleh musuh-musuh
Islam.[7] Contoh dari pemikiran
modern, terdapat fatwa dari
golongan yang terlalu meliberalkan pemikirannya, hingga mereka menghalalan
berzina dengan PSK (pekerja seks komersial) dengan alasan, praktek PSK (mulai
dari pemilihan, hingga pembayaran) sama sekali tidak bertentangan dengan
al-Qur’a>n. Selain itu, al-Qur’a>n juga tidak melarang untuk melakukan
seks bebas, asal didasari dengan sama-sama suka/rid}a, firman Allah surat al-Nisa>’
ayat 24 menyatakan:
(فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ
مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما
تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ)
“Maka karena
kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada
mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara
kamu telah saling merelakan, setelah ditetapkan.”[8]
Bila dilihat dari
satu sudut, memang tidak salah fatwa boleh melakukan pekerjaan intim dengan PSK
atau orang yang sama-sama suka tanpa disertai akad nikah yang sah, namun
merumuskan hukum dengan cara melihat satu ayat dan tidak melihat ayat setelah
atau sebelumnya merupakan sebuah kesalahan.
Melihat dari bahayanya Dakhi>l dalam penafsiran
al-Qur’a>n, para ulama baik klasik maupun modern merasa mempunyai tugas
kewajiban untuk meluruskan pandangan dalam penafsiran al-Qur’a>n, sehingga
mereka membuat karya tulis special Dakhi>l dalam kitab suci
al-Qur’a>n.
III-
Macam-maca Dakhi>l
Pemakalah menyimpulkan bahwa Dakhi>l terbagi
menjadi dua bagian besar yaitu Dakhi>l dari Ma’thu>r dan Dakhi>l
dari logika. Dari kedua bagian tersebut terbagi lagi menjadi beberapa bagian.
Untuk memperjelas pembahasan, mari kita bahas satu-persatu dari kedua Dakhi>l
tersebut. Pertama Dakhi>l Ma’thur. Jenis Dakhi>l
ini terbagi menjadi beberapa bagian di antaranya sebagaiamana berikut berikut:
1-
Menafsirkan al-Qur’a>n dengan menggunakan hadi>th
d}aif yang ked}aifannya tidak ada yang memperkuat. Contoh firman Allah (S.Q.
al-Kauthar. 1)
(لما نزلت
هذه السورة ) إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر ( قال النبي ( صلى الله عليه وسلم
) لجبرائيل : ( ما هذه النحيرة التي أمرني بها ربي ؟ ) قال : ليست بنحيرة ولكنه
يأمرك اذا تحرمت للصلاة أن ترفع يدك إذ ا كبرت ، وإذا ركعت ، وإذا رفعت رأسك من
الركوع ، وإذا سجدت ، فإنه صلاتنا وصلاة الملائكة الذين في السموات السبع وإن لكل
شيء زينة وأن زينة الصلاة رفع الأيدي عند التكبيرة.[9]
2-
Membuat hadi>th palsu yang disandarkan sanadnya pada
Nabi Muhammad. Contoh firman Allah (S.Q. al-A’ra>f. 189)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ واحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْها زَوْجَها لِيَسْكُنَ إِلَيْها فَلَمَّا
تَغَشَّاها حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفاً فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا
اللَّهَ رَبَّهُما لَئِنْ آتَيْتَنا صالِحاً لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Sebab turunnya ayat ini dengan
menggunakan hadi>th D{aif yaitu:
لما حملت حواء طاف بها إبليس وكان
لا يعيش لها ولد فقال سمّيه عبد الحرث فسمّته عبد الحرث فعاش وكان ذلك من وحي
الشيطان وأمره.[10]
3-
Menggunakan Isra>i>liya>t yang jelas-jelas
bertentangan dengan kandungan al-Qur’a>n atau hadi>th Nabi Muhammad.
Adapun Isra>i>liya>t yang tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n dan
Hadi>th, maka tidak masuk dalam katagori Dakhi>l. contoh
Isra>i>liya>t yang bertentangan dengan al-Qur’a>n seperti dongeng
tentang nabi-nabi terdahulu.
Kedua Dakhi>l dari logika. Terdapat
beberapa sebab yang bisa mengantarkan pada Dakhi>l dalam logika.
Adapun unsur yang paling mendominan dalam adanya Dakhi>l logika
adalah ketidak tahuan orang yang menafsirkan al-Qur’a>n dan kebencian
terhadap umat Islam. Dari dua unsur pemicu adanya Dakhi>l logika di
atas bisa diperinci lagi menjadi beberapa bagian, sebagaimana berikut:
1-
Muncul dari orang-orang yang benci pada ayat-ayat Allah,
mengingkari shari’at Islam. Dalam hati mereka dipenuhi dengan kebencian dan
pengingkaran terhadap firman Allah. Orang-orang yang benci terhadap shari’at
Allah mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan menggunakan
perkataan-perkataan yang menyesatkan umat Islam. Seperti menafsirkan surat
al-Nisa>’ ayat 24 dengan keboleh seks bebas asal sama-sama sukan dan saling
rid}a.
2-
Pandangan yang hanya sebatas sudut dha>hir, tanpa
melirik mana yang pantas dan tidaknya untuk Dha>t yang Maha Kuasa. Seperti
menggambarkan Allah memilik wajah sebagaimana wajah manusia dan lain-lain.
3-
Merubah shari’at dari posisi aslinya serta memalingkan
dari arti yang sesungguhnya. Seperti mentiadakan Qis}as} dalam al-Qur’a>n
dengan dalih adanya batasan bawah dan atas.
4-
Menafsirkan al-Qur’a>n tanpa disertai ilmu yang
memadahi.
IV-
Sebab-sebab Munculnya Dakhi>l
Setelah kita membahas arti dan macam-macam Dakhi>l,
maka muncullah sebuah pertanyaan “Bagaimana Dakhi>l itu bisa muncul?”
dan “Kenapa Dakhi>l bisa masuk dalam tafsir al-Qur’a>n, sedangkan
tafsir itu sendiri merupakan disiplin ilmu yang menjelaskan kitab Allah?”
Jawaban dari kedua pertanyaan di atas ialah, sebagaimana
yang telah kita ketahui dari keterangan yang sudah lewat, Dakhi>l
bisa muncul dan berkembang disebabkan oleh dua unsur yaitu:
1-
Dakhi>l yang ditelurkan oleh musuh-musuh umat Islam.
Yang dimaksud dengan musuh-musuh umat Islam adalah mereka orang-orang kafir,
mushrik, Yahu>di, Nas}a>ri, dan orang-orang yang membeci agama Islam.
Setelah al-Qur’a>n di turunkan dan menjulang tingginya
bendera Islam mereka mulai bergerak dengan cara memberikan ideologi yang
bertentangan dengan al-Qur’a>n. Mereka mengeluarkan ideologi demikian dengan
harapan agar orang-orang Islam menyakini bahwa al-Qur’a>n bukan firman
Allah, memudarkan otentitas al-Qur’a>n, dan menfitnah orang yang
penyampaikan al-Qur’a>n (Nabi Muhammad).
Bagaimana mereka tidak mempunyai pemikiran untuk
memberikan data palsu, sedangkan al-Qur’a>n sendiri selalu menegakkan
ketauhidan (ketuhanan yang satu), menjelaskan bahwa berhala-berhala yang mereka
sembah termasuk perbuatan Shirik, merendahkan berhala-berhala yang telah mereka
agung-agungkan, dan lain-lain. Sebagaimana firman Allah (QS. al-Anbiya>’.
98)
(إِنَّكُمْ وَما تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَها وارِدُون)
“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain
Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.”[11]
Selain itu, al-Qur’a>n juga
menjelaskan bahwa berhala-berhala yang mereka sembah sama sekali tidak
memberimanfaan dan kemudaratan.
Melihat kandungan al-Qur’a>n
yang menghina tuhan-tuhan mereka, orang-orang non Islam tidak hanya diam, mereka
mulai berfikir untuk menyebarkan shubhat dan
menentang ayat-ayat al-Qur’a>n. Sebagai contoh shubhat yang mereka
lontarkan pada umat Islam hadi>th yang datangnya dari al-Mughi>rah bin
Sha’bah
(عَنِ الْمُغِيرَةِ
بْنِ شُعْبَةَ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَى نَجْرَانَ قَالَ فَقَالُوا أَرَأَيْتَ مَا تَقْرَءُونَ يَا أُخْتَ هَارُونَ
وَمُوسَى قَبْلَ عِيسَى بِكَذَا وَكَذَا قَالَ فَرَجَعْتُ فَذَكَرْتُ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا أَخْبَرْتَهُمْ
أَنَّهُمْ كَانُوا يُسَمَّوْنَ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ)[12]
Dari riwayat di atas bisa disimpulkan bahwa orang-orang bani Najra>n
menafsirkan ayat al-Qur’a>n dengan penafsiran yang salah. Mereka beranggapan
cerita nabi-nabi yang terkandung dalam al-Qur’a>n tidak benar dan tidak bisa
dipercaya. Suatu bukti, dalam al-Qur’a>n mencatat أُخْتَ هَارُونَ (S.Q. Maryam. 28) bagaimana bias al-Qur’a>n mengatakan kakak Harun
sendangkan masa kehidupan antara Nabi Musa dan Nabi Isa lebih dari 100 tahun?
Setelah Mughi>rah mendengarkan keterang dari orang-orang bani
Najra>n, ia langsung melaporkan pada Nabi Muhammad. Nabi pun tidak hanya
dia, melainkan Nabi langsung menjelaskan bahwa Harun yang ada dalam
al-Qur’a>n bukanlah Harun kakak dari Nabi Isa, akan tetapi Harun lain.
Contoh lain dari Dakhi>l yang ada pada zaman Nabi Muhammad.
Saat turunnya firman Allah (SQ. al-Baqarah. 245)
(مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًاَ)
“Barang siapa meminjami
Allah dengan penjaman ang baik,”[13]
Orang-orang non Islam pada
saat itu mulai membicarakan kepribadian Allah, mereka beranggapan bahwa Allah
itu fakir dan miskin, sebab Allah masih membutuhkan Qirad}. Mereka bertanya
dengan menggunakan nada menghina “Allah ingin Qirad}? Apakah Tuhan umat Islam
itu fakir?.”[14]
Tidak lama dari anggapan orang non Islam akan kepribadian Allah, Allah
langsung menurunkan wahyu pada Nabi Muhammad untuk meluruskan anggapan yang
salah, firman Allah (QS. Ali ‘Imra>n. 181)
(لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ
اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوا وَقَتْلَهُمُ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُوا عَذَابَ)
“Sungguh, Allah
telah Mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, ‘Sesungguhnya
Allah itu miskin dan kami kaya.’ Kami akan Mencatat perkataan mereka dan
perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alas an yang benar), dan Kami
akan Mengatakan (kepada mereka) ‘Rasakanlah olehmu adhab yang membakar!’.”[15]
Tidak bisa dipungkiri bahwa
hingga saat ini Dakhi>l masih tetap tersebar dan berjalan mulus baik
itu dari orang-orang non Islam seperti contoh tafsiran mereka tentang firman
Allah (QS. al-An’a>m. 38)
(مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ
مِنْ شَيْءٍ)
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami Luputkan di dalam kitab.”[16]
Ayat ini mengindikasikan bahwa hadi>th tidak dibutuhkan, karena
semuanya telah tercatat di dalamnya. Dan ayat di atas sangat bertolak belakang
dengan pandangan ulama Islam baik klasik maupun kontemporer bahwa posisi
hadi>th sebagai penjelas, pelengkap, dan lain-lain. Jika ideologi mereka
harus dibenarkan, maka bisa dikatakan mereka tidak memahami makna al-Qur’a>n
atau bahkan mereka tidak mempercayai kitab al-Qur’a>n. Bila dalam al-Qur’a>n
telah mencakup segalanya, maka apa guna adanya hadi>th. Jika memang benar
hadi>th sebagai pelengkap al-Qur’a>n, maka al-Qur’a>n tidak langkap
dan otomatis firman Allah tidak bisa dipercaya, karena berbeda dengan
kenyataan.
Dan masih banyak lagi contoh tafsiran mereka yang menyesatkan serta
masuk dalam katagori Dakhi>l fi al-Qur’a>n.
2-
Dakhi>l
yang muncul disebabkan kesalahan dalam memahami teks al-Qur’a>n yang dipicu
oleh kefanatikan sekte Islam. Bahkan Dakhi>l juga bisa muncul dari
para sahabat atau tabi’i>n.[17]
Saat membaca bagian kedua ini, mungkin pembaca akan
timbul pertanyaan “Bagaimana bisa Dakhi>l muncul dari para sabahat
atau tabi’i>n?.” Pertanyaan ini akan terjawab dari ulasan dan sedikit contoh
Dakhi>l yang terjadi pada masa sahabat yang mana pada saat itu Nabi
Muhammad masih mendampingi mereka.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Dakhi>l
bisa muncul dari kesalahan dalam memahami arti ayat atau kalimat al-Qur’a>n.
Kesalahan para sahabat dalam memahami ayat al-Qur’a>n ini sering terjadi
pada masa Nabi Muhammad. Hal seperti demikian, tidak bisa disalahkan sebab yang
paling tahu akan arti yang terkandung dalam al-Qur’a>n hanyalah Nabi
Muhammad, namun jika kesalahan pemahaman dalam al-Qur’a>n yang terjadi pada
masa sahabat tidak dibenarkan dan tidak diluruskan, maka itu juga masuk dalam
rana Dakhi>l menurut versi pemakalah.
Adapun di antara contoh Dakhi>l yang terjadi pada saat
itu sebagaimana berikut:
a-
Firman Allah (QS. al-An’a>n. 82)
(الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ)
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kedzaliman.”[18]
Ketikan ayat ini turun, sebagian dari
sahabat Nabi menangis. Mereka memahami arti ayat di atas dengan kedhaliman yang
dikerjakan manusia baik itu kecil maupun besar. Tidak salah bila sebagian
sahabat menafsirkan demikian, sebab ayat tersebut bisa dikatan samar. Mereka
menfsirkan dengan:
فإذا لبس الإنسان إيمانه أي خلط إيمانه بشيء من الظلم لم
يكن في مأمن
Melihat kondisi yang
sangat merepotkan, sebagian sahabat bertanya kepada Nabi dan Nabi pun
menjelaskan bahwa kalimat Z{ulm. yang ada pada ayat itu memiliki arti Shirk.[19]
b-
Firman Allah (QS. al-Ma>idah. 93)
(لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ جُناحٌ فِيما طَعِمُوا إِذا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ)
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman,
serta mengerjakan kewajiaban.”[20]
Ketika ayat di atas di turunkan ada salah satu sabahat yang salah saat
menta’wil ayat tersebut, ia bernama Ibnu Quda>mah. Pada suatu ketika Ibnu
Quda>mah meminum minuman keras (khamer), ia beranggapan tidak dosa meminum
minuman keras bagi orang yang beriman dan mengerjakan perekjaan yang bajik.
Kala ‘Umar bin Khatta>b mengetahui pendapat Ibnu Quda>mah, ‘Umar pun
menentang dan menjelaskan pendapat yang benar. ‘Umar pun berkata padanya “Jika
kamu orang yang bertakwa pada Allah, maka jauhilah segala sesuatu yang telah
diharamkan oleh Allah.”[21]
Lepas dari pembahasan contoh. Sekarang kita beralih pada
masa perpecahan umat Islam. Masa ini tersebar luas pada saat kekhalifahan ‘Ali
bin Abi T{a>lib. Sebuah fenomena yang tidak akan pernah terlupakan oleh
sajarawan dan umat Islam yaitu fenomena Tah{kim yang membiaskan perpecahan umat
Islam. Pada masa itu umat Islam terpecah menjadi beberapa sekte di antaranya
ialah sekte Shi>’ah, Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan lain-lain. Setiap
dari sekte yang ada berusaha untuk menafsirkan al-Qur’a>n mengikuti hawa
nafsunya dan hanya mementingkan golongannya. Mereka mejadikan golongan sebagai
panduan utama sedangkan al-Qur’a>n hanyalah cabangnya. Contoh Dakhi>l
yang muncul dari sekte-sekte sebagaimana berikut:
1-
Sekte Shi>’ah. Contoh dari sekte Shi>’ah ini sudah
sering kita dengarkan dari keterangan Prof. Roem Rawi. Orang-orang Shi>’ah
menafsirkan firman Allah (QS. al-Baqarah. 67)
(إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا
بَقَرَةً)
“Allah Memerintahkan kamu agar menyembelih
seekor sapi betina.”[22]
Sebagian orang Shi>’ah menafsirkan kata al-Baqarah yang ada dalam
ayat di atsa dengan Siti ‘A<ishah (istri Nabi Muhammad). Orang Shi>’ah
menafsirkan dengan penafsiran demikian, sebab mereka sangat membenci Siti
‘A<ishah yang tidak berada dipikah ‘Ali bin Abi T{a>lib, melainkan
A<ishah lebih condong pada Mu’awiyah bin Abi Sofya>n.
2-
Sekte Jahmiyah/Jabariyah.[23] Mereka menafsirkan firman
Allah (QS. al-Anfa>l. 17)
(وَما رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلكِنَّ اللَّهَ رَمى)
“Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah
yang melempar.”[24]
Dari ayat di atas, mereka menafsirkan bahwa manusia tidak memiliki
wewenang sedikitpun dalam segala urusan, melainkan semua sudah deprogram oleh
Allah. Pekerjaan baik dan buruk semua dari Allah, manusia hanya menerima tanpa
harus usaha.[25]
3-
Sekte Mu’tazilah.[26] Mereka menafsirkan firman
Allah (QS. al-Zukhruf. 72)
(وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي
أُورِثْتُمُوها بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ)
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada
kamu karena perbuatan yang telah kamu kerjakan.”[27]
Dari ayat ini sekte Mu’tazilah berideologi bahwa manusia
sendirilah yang memiliki hak dalam kesuksesan dunia dan akhirat. Allah tidak
ikut campur dalam urusan manusia, sebab Allah telah menyerahkan kepada manusia
sendiri. Sekte Mu’tazilah mengartikan huruf ‘Ba’’ yang terdapat dalam ayat di
atas dengan ‘Ba’ ‘Iwad}’, maka jika diartikan surga yang akan dimiliki oleh
orang-orang Islam merupakan ganti atas pekerjaan yang telah mereka kerjakan.[28]
Jika difahami dari keterangan di atas, Mu’tazilah
seakan-akan mentiadakan sifat Qudrat dan Ira>dad yang dimiliki oleh Allah.
V-
Penutup
Dakhi>l
dalam tafsir merupakan sesuatu yang sangat membahayakan bagi umat Islam,
bagiamana tidak? Sedangkan al-Qur’a>n itu merupakan pegangan utama umat
Islam. Oleh karena itu, tidak heren bila sekian banyak ulama berusaha untuk
membuat buku khusus yang menerangkan Dakhi>l dalam tafsir,
menjelaskan tentang Mau’d{u’a>t dan Isra>ili>ya>t, dan lain-lain.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa Dakhi>l dalam tafsir sudah berkembang biyak semenjak
al-Qur’a>n turun dan benderan Islam berkibar luas. Orang-orang yang membenci
Islam dan tidak percaya al-Qur’a>n firman Allah itulah pembawa Dakhi>l
al-Qur’a>n pertama sebagaimana contoh yang telah tertera di atas, hanya saja
pada saat itu Nabi Muhammad masih hidup sehingga umat Islam mendapatkan
mencerahan dari Nabi Muhammad.
Waktu terus bergeser
hingga datangnya era sahabat Nabi Muhammad yang menjadi pengganti penegak agama
Islam. Pada saat itu, Dakhi>l semakin berkembang terutama Dakhi>l
yang diadopsi dari Isra>ili>ya>t. Para sahabat banyak yang
menggunakannya sebagai metedo dalam menafsirkan al-Qur’a>n. Memang tidak
salah menafsirkan al-Qur’a>n dengan menggunakan Isra>ili>ya>t,
namun jika itu tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n atau
Isra>ili>ya>t itu s}ah{ih{.
Dakhi>l lebih
berkembang pesat lagi saat fenomena Tah}kim terjadi. Pada waktu itu, umat Islam
mulai terpecah bela menjadi beberapa golongan. Dari situ, setiap golongan
memberanikan diri untuk menafsirkan al-Qur’a>n hanya untuk keperluan
golongnya sendiri dan ingin mengalahkan musuh pemikirannya bukan untuk mencari
kebenaran dari kitab suci yang telah Nabi Muhammad wariskan pada umatnya.
Mereka mulai membuat hadi>th palsu dan berkata habwa hadi>th itu
datangnya dari Rasullah.
Lantas bagaimana dengan
masa yang kita injak sekarang? Pemakahal bisa menyimpulkan bahwa Dakhi>l
pada masa sekarang tetap berjalan mulus terutama dari orientalis yang ingin
menghancurkan umat Islam dan ingin memecahkan persatuan umat Islam. Realita
yang ada pada Negara kita Indonesia, umat Islam terpecah menjadi beberapa
sekte, semua sekte ini tidak menafikan jika mereka termasuk salah satu pelopor Dakhi>l
kontemporer, sebab pemakalah berideologi jika kefanatikan telah mendarah
daging, maka kebutahan akan menyelimutinya.
Referensi
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya.
Bandung: CV Diponegoro, 2008.
‘Adili> (al),
S{a>lih. “al-Dakhi>l fi al-Tafsi>r”. Tesis—Ja>mi’ah
al-Madinah al-‘A<lamiyah, ttp.
Abu al-Fida>’Ismail bin Umar bin Kathir al-Qurshi. Tafsir
al-Qur’a>n al-‘Ad}i>m. Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi’,
1999.
Ah}mad bin H{anbal. Musnad al-Ima>m Ah}mad bin
H{anbal. Kairo: Muassasah al-Risa>lah, 1999.
Arab (al), Abdulh}ami>d ‘Ali ‘Izz. Taqri>b
al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d li al-Imam Abi H{a>mid al-Ghaza>li>.
Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2011.
At}iyyah Aram, Muhammad Sa’i>d Muhammad. Al-Sabi>l
ila> Ma’rifah al-As}i>l wa al-Dakhi>l fi al-Tafsi>r. Mesir:
Da>r al-Sala>m, 1998.
Fairu>z A<ba>di, Majduddin Muhammad bin
Ya’qu>b. al-Qa>mu>s al-Muh}i>d}. Kairo: al-Haiah
al-Mis}riyah al-‘A<mah li al-Kutub, ttp.
Ghazali (al), Abu Hamid. Al-Iqtis}a>t fi
al-I’tiqa>d. Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003.
Muhammad ‘Izzat. al-Tafsi>r al-H}adi>th.
Kairo: Da>r al-Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1383.
Muhammad T{a>hir bin ‘A<shu>r. al-Tah}ri>r
wa al-Tanwi>r. Tunisia: Da>r Sah}nu>n li al-Nashr wa al-Tauzi’,
1997.
T{abari> (al), Abu>
Ja’far Muhammad bin Jari>r. Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’
al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n. Kiro: Da>r Hijr li
al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422 H.
T{a>hir Mah}mu>d
Muhammad Ya’qu>b. Asba>b al-Khat}a’ fi al-Tafsi>r Dira>sah
Ta’s}i>liyah. Saudi: Da>r Ibn Jauzi, 1425.
[2] Abu Hamid al-Ghazali. Al-Iqtis}a>t
fi al-I’tiqa>d, (Kairo: Ja>mi’at al-Azhar, 2003), 302.
[3] Majduddin
Muhammad bin Ya’qu>b Fairu>z A<ba>di, al-Qa>mu>s
al-Muh}i>d}, (Kairo: al-Haiah al-Mis}riyah al-‘A<mah li al-Kutub, ttp),
1-1290.
[4] Muhammad
Sa’i>d Muhammad At}iyyah Aram, Al-Sabi>l ila> Ma’rifah al-As}i>l
wa al-Dakhi>l fi al-Tafsi>r, (Mesir: Da>r al-Sala>m, 1998),
1-45.
[5] S{a>lih
al-‘Adili>, “al-Dakhi>l fi al-Tafsi>r” (Tesis—Ja>mi’at
al-Madinah al-‘A<lamiyah, ttp), 12-13.
[9] T{a>hir Mah}mu>d Muhammad Ya’qu>b, Asba>b
al-Khat}a’ fi al-Tafsi>r Dira>sah Ta’s}i>liyah, (Saudi: Da>r
Ibn Jauzi, 1425), 148.
[10] Muhammad ‘Izzat, al-Tafsi>r al-H}adi>th,
(Kairo: Da>r al-Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1383), 2/550.
[12] Ah}mad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin
H{anbal, (Kairo: Muassasah al-Risa>lah, 1999), 141.
[14] Abu
al-Fida>’Ismail bin Umar bin Kathir al-Qurshi, Tafsir al-Qur’a>n
al-‘Ad}i>m, (Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi’, 1999), 2-176.
[19] Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r
al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n,
(Kiro: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa
al-I’la>n, 1422 H), 11-494.
[21] Muhammad T{a>hir bin ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r
wa al-Tanwi>r, (Tunisia: Da>r Sah}nu>n li al-Nashr wa
al-Tauzi>’, 1997), 1-24.
[23] Sekte ini muncul pada akhir dari abad pertama hijriah.
Golongan ini terlahir untuk menetang sekte Qadariya. Adapun mendiri golongan
ini bernama al-Jahm bin S}ofwa>n.
[25] Abdulh}ami>d ‘Ali ‘Izz al-Arab, Taqri>b
al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d li al-Imam Abi H{a>mid al-Ghaza>li>,
(Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2011), 25.
[26] Sekte ini dijunjung oleh tokoh alim yang bernama
Wa>s}il bin ‘At}a>’. Mu’tazilah sudah berkembang sejak akhir dari abad
pertama hijriah.
No comments:
Post a Comment